JAKARTA (riaumandiri.co)-Mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, membantah dirinya menerima uang dari proyek pengadaan e-KTP atau KTP elektronik. Hal itu ditegaskannya saat tampil sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (16/3).
"Saya tidak pernah menerima uang satu rupiah pun dari proyek ini," ujar Gamawan.
Tidak hanya sekedar menegaskan, Gamawan bahkan bersumpah dengan nama Tuhan dan siap dikutuk jika menerima uang dari proyek yang disebut-sebut merugikan negara hingga Rp2,3 triliun tersebut.
"Demi Allah saya tidak menerima satu rupiah pun dari proyek ini. Saya minta didoakan agar dikutuk oleh Allah jika saya menerima uang. Tapi saya juga meminta agar orang yang memfitnah saya dibukakan hatinya," kata Gamawan.
Menurutnya, uang Rp50 juta yang disebut dalam dakwaan merupakan uang honor dirinya sebagai pembicara semasa menjabat Menteri Dalam Negeri.
"Uang itu saya terima dari hasil saya menjadi pembicara di lima provinsi. Itu honor resmi, dan saya tandatangani. Menteri kalau menjadi pembicara per jam honornya Rp 5 juta," terangnya lagi.
Berkali-kali Gamawan bersumpah dirinya tidak menilai duit proyek-e-KTP. Bila terbukti korupsi, dia siap mati hari ini juga. "Saya siap mati hari ini kalau menerima satu sen dari e-KTP," tegas Gamawan.
Dalam perkara e-KTP ini, mantan anak buah Gamawan Fauzi, Irman dan Sugiharto telah didakwa merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun. Gamawan juga disebut sebagai pihak yang menerima aliran dana dari proyek itu.
DPR Minta Pakai APBN
Selain itu, Gamawan menegaskan, DPR adalah pihak yang mendesak agar dana proyek pengadaan e-KTP diambil dari APBN. Penggantian itu juga diusulkan mantan menteri sebelum dirinya, Mardiyanto.
Proses pembiayaan proyek tersebut awalnya menggunakan dana Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), namun berubah menggunakan APBN murni.
"DPR yang meminta supaya proyek ini diupayakan dengan APBN murni. Menteri yang sebelumnya (Mardiyanto) juga sudah mengusulkan itu," tambahnya.
Ditemui usai persidangan, Gamawan menunjukkan surat yang memuat perubahan anggaran dari PHLN ke APBN tersebut. Surat itu ditandatangani oleh Mardiyanto pada November 2009.
Dalam sidang kemarin, Gamawan menyodorkan bukti berupa dokumen kepada majelis hakim. Dokumen tersebut untuk mendukung keterangan yang ia sampaikan. Sebelumnya, terjadi beda keterangan antara Gamawan dan saksi lainnya yakni, mantan Ketua Komisi II DPR, Chairuman Harahap. Perbedaan terjadi terkait keterangan soal perubahan sumber anggaran proyek e-KTP.
"Saya hanya menindaklanjuti surat sebelumnya, pada Menteri sebelum saya," ujar Gamawan kepada majelis hakim.
Sebelum menyerahkan kepada hakim, Gamawan membacakan dokumen yang ia bawa. Dokumen tersebut menjelaskan kesimpulan rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementerian Dalam Negeri, pada 11 November 2009.
Dalam poin terkahir kesimpulan itu, dijelaskan bahwa Komisi II meminta pada Kemendagri agar dalam alokasi dana untuk proyek e-KTP, anggaran diupayakan dari dalam negeri. Kemudian, Komisi II DPR meminta agar Kemendagri melakukan presentasi.
Atas perubahan pembiayaan itu, Gamawan pun melapor ke Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai presiden. Gamawan meminta pembentukan tim pengarah yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk memperlancar proses pengadaan e-KTP.
Dalam surat tersebut, lanjutnya, tercantum bahwa Komisi II DPR meminta Mendagri agar mengalokasikan anggaran untuk pembangunan dan diupayakan untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dalam negeri.
"Jadi jangan fitnah-fitnah lagi ya," katanya.
Keterangan itu diperkuat Irman, yang merupakan terdakwa dalam kasus ini. Ia membantah sejumlah pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Sekjen Kemdagri) Diah Anggraini. Salah satunya terkait pernyataan Diah yang menyebut Irman terus meminta uang kepada Andi Agustinus alias Andi Narogong yang disebut untuk Gamawan Fauzi yang saat itu masih menjabat sebagai Mendagri.
"Pernyataan Ibu Diah bahwa dia mendapat laporan dari Andi bahwa Andi melapor bahwa saya sering minta uang kepada Andi untuk Pak Gamawan, ini betul-betul sangat keji," ujarnya.
Irman menjelaskan, Andi yang berasal dari pihak swasta sempat menanyakan apakah Gamawan Fauzi mau dikasih uang atau tidak. Irman langsung menjawab bahwa Gamawan tak biasa menerima uang.
"Andi bilang, 'Pak Irman, Pak Gamawan mau nggak dikasih uang?'. Langsung saya jawab dengan tegas Pak Gamawan tidak akan mau terima uang. Dan saya tidak pernah meminta uang sama Andi," ujar Irman.
"Uang saya pernah terima pun itu tidak ke saya, dititip melalui Pak Sugiharto, saya terima, sebagian kecil. Saya disebut minta ke Andi untuk Pak Gamawan, itu betul-betul sangat merugikan saya," tuturnya.
Sebelumnya, Diah menyatakan Andi sempat dibuat pusing karena Irman terus menerus meminta uang untuk Gamawan kepadanya. Tapi Diah tak tahu menahu apakah keluhan Andi Narogong terkait dengan proyek e-KTP. Diah juga tak lagi ingat waktu persis pertemuannya tersebut dengan Andi Narogong.
Terpisah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak percaya Gamawan Fauzi terlibat dalam kasus e-KTP. Fahri menyatakan, dirinya sepenuhnya percaya pada sistem tender yang dilakukan pemerintah periode lalu tersebut.
"Yang ini saya lebih percaya kepada sistem tender yang dibuat sama pemerintah. Gamawan ini, itu orang dapat Bung Hatta Award. Kurang apalagi gitu lho," ujarnya, di Kompleks Parlemen.
Menurut Fahri, Gamawan adalah sosok yang bersih. Dia pun kemudian bertanya-tanya kenapa sosok Gamawan disebut sebagai promotor maling uang negara.
"Kalau nyari yang lebih baik dari Gamawan susah nyarinya. Tapi orang kayak Gamawan aja dianggap jadi promotor maling, susah. Orang baik sisanya siapa dong? Susah kalau orang yang sudah mendapat award dianggap menjadi konspirator," tegasnya.
Fahri kemudian kembali berbicara soal pengguliran hak angket e-KTP yang ia wacanakan. Pengguliran itu ditujukan untuk melihat kasus yang menyeret banyak nama besar ini menjadi jernih.
"Saya ingin ngajak kita ayo lihat ini secara jernih. Kalau mau jernih, mumpung ini momentum, ayo kita buka. Korupsi paling alert ya pengadaan barang dan jasa dan ini bisa jadi pansus pengadaan barang dan jasa dengan contoh e-KTP," tutur Fahri.
"Makanya nanti saya termasuk berkepentingan. Ini masalahnya apa sih? Betul nggak ada korupsi. Betul nggak ada kerugian 50 persen? Betul nggak 50 persen bagi-bagi?" sambungnya.
Wacana pengguliran hak angket ini disebut Fahri cukup menarik perhatian anggota dewan. Dia menyebut sudah ada anggota yang mengontaknya untuk menanyakan bagaimana kelanjutan angket e-KTP ini.
"Saya dikontak oleh teman-teman. Ada yang bilang sedang berbicara dengan pimpinan, ada juga pimpinan yang meminta mereka mempelaji usulan itu. Ya kita tunggu aja, ini kan baru lemparan," kata Fahri.
"Kalau saya konsennya pelajarannya besar sekali kalau kita berani membuka kasus e-KTP ini, itu efeknya pada bangsa kita, kepada sistem, pada kredibilitas lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pengadaan," imbuh dia.
Kenal Lewat Setnov
Sementara itu, mantan Ketua Komisi II DPR periode 2009-2014, Chairuman Harahap mengaku pertama kali mengenal Andi Agustinus alias Andi Narogong di Gedung DPR.
Andi merupakan pengusaha yang sudah terbiasa menjadi rekanan di Kementerian Dalam Negeri. Adalah Setya Novanto yang saat itu merupakan Ketua Fraksi Partai Golkar memperkenalkannya kepada Andi.
Mulanya, Chairuman mengaku lupa dimana dan kapan dirinya mengenal Andi. Namun, jaksa membacakan berita acara pemeriksaan saat Chairuman dimintai keterangan oleh penyidik KPK.
"Di BAP, Bapak sampaikan kenal Andi Agustinus alias Andi Narogong. Pertama saya kenal pada saat saya sedang menemui Setya Novanto di ruang rapat?" tanya jaksa.
"Iya betul," jawab Chairuman.
Namun, kata Chairuman, perkenalan itu hanya sepintas saat berpapasan.
Dalam waktu berbeda, Andi pernah ke ruangan kerja Chairuman. Menurut politisi Golkar itu, tak ada perbincangan penting dalam pertemuan itu. "Dia menawarkan macam-macam. Kaos untuk kampanye, seragam-seragam," kata Chairuman.
Ia membantah Andi membahas soal proyek e-KTP yang saat itu tengah digodok pemerintah dan Komisi II DPR RI. (bbs, lpt6, cnn, kom, ral, sis)