(riaumandiri.co)-Hakikat manusia diciptakan adalah untuk beribadah. Kondisi tersebut termaktup dalam ayat Al-Qur'an surat Adz- Dzariyat : "Dan Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu". Hal ini menunjukkan bahwa konteks manusia dalam proses penciptaan memiliki visi-misi yang sangat monumental. Posisi dan peran manusia sebagai makhluk yang 'mulia' dibandingkan dengan makhluk memberikan kuasa penuh dalam mengelola dinamika hidup dalam agama, sosial, alam, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut pun harus secara vertikal di korelasikan dengan kehendak Tuhan yang Maha Pencipta.
Manusia merupakan makhluk yang 'luar biasa', sehingga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengemban sebagai khalifah di bumi. Hal ini dijelaskan dalam ayat Al-Qur'an surat Al-Baqarah : 30 : "Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada malaikat : "Sesungguhnya aku hendak menjadikan khalifah di bumi, Mereka berkata : "Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Esensi manusia merupakan makhluk sosial (social beings) yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Hal ini selaras dengan teori zoon politicon Ariestoteles yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang bermasyarakat. Dalam Islam pun ditegaskan bahwa manusia seharusnya bermasyarakat agar saling mengenal satu sama lainnya, kondisi tersebut dijelaskan dalam surat al-Hujurat ayat 13, "Hai manusia, sesungguhnya saya menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha Mengenal".
Ayat tersebut menjelaskan bahwa signifikansi bermasyarakat sangatlah diperlukan. Hal tersebut sebagai salah satu manifestasi manusia dalam memperoleh keamanan. Selain itu, perspektif lain juga memiliki berpandangan bahwa dengan bermasyarakat tercipta sebuah kebiasaan (costum), tradisi (tradition), dan budaya (culture) yang variatif, aman, dan nyaman. Dalam konteks lain, dengan pemahaman bermasyarakat juga dijelaskan dalam teori Herarki oleh Abraham Maslow. Dalam hal ini manusia sebagai makhluk bermasyarakat yang memiliki lima dasar kebutuhan yang harus dipenuhi, diantaranya ialah fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri. Inilah salah satu gambaran yang melatarbelakangi paradigma manusia yang cenderung suka berkumpul, berkelompok, dan membentuk komunitas yang saling menjaga satu sama lain dalam satu visi-misi yang sama.
Dinamika kehidupan manusia memang sangatlah unik, keunikan tersebut dapat diaktualisasikan dalam berbagai macam bentuk sikap, prilaku, dan sifat yang dimiliki.
Selain itu, karakter dan pemahaman yang berbeda menjadi ciri khas yang terkadang cenderung berimplikasi sebuah masalah (problems). Hal ini tentu tidak akan jauh dari sebuah proses bermasyarakat atau interaksi sosial (social interaction). Bonner (2004) mendefinisikan interaksi sosial (social interaction) adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi. Sudah menjadi sebuah realitas bahwa manusia cenderung akan mempengaruhi dan bisa dipengaruhi.
Kaum difabel
Manusia diciptakan di dunia ini secara utuh penuh dengan kekurangan, baik secara naluriah maupun batin. Hal ini bertujuan agar manusia dapat menghargai manusia lainnya. Ada berbagai macam polemik terkait dengan, "memanusiakan manusia". Hal ini terjadi sejak zaman Jahilliyah yang notabenenya memperlakukan manusia seperti "binatang" ataupun budak. Kondisi tersebut terkadang masih terdapat di era modern baik dalam bentuk ujaran kebencian, tindakan, maupun sindiran sinis kepada objek ataupun manusia lain yang memiliki keterbatasan fisik atau dapat dikatakan sebagai kaum difabel.
Kaum difabel atau disabilitas merupakan sekelompok orang yang secara fisik memiliki kekurangan (cacat). Sehingga kondisi tersebut cenderung berimplikasi pada marginalisasi, diskriminasi, dan inferioritas bagi kaum difabel atau disabilitas.
Selain itu, secara psikologi kaum difabel akan cenderung memiliki jiwa inferior dalam menghadapi tantangan dunia publik. Inilah realitas nyata dari kaum difabel yang cenderung diabaikan oleh masyarakat. Paradigma masya-rakat yang akut terhadap kaum difabel atau disabilitas, beranggapan bahwa keterbatasan fisik merupakan penyakit dalam dinamika masyarakat, dan tidak berhak memiliki hak sama dengan lainnya.
Polemik tersebut sebenarnya hanya masalah klasik, apabila kita lebih peka dan memiliki keilmuan agama lebih, secara otomatis kita akan mengembalikan kondisi tersebut pada tendisi Al-Qur'an. Dalam Al-Qur'an juga menjelaskan bagaimana konsep humanisasi terhadap makhluk lainnya tanpa melihat sebuah keterbatasan fisik seseorang. Hal ini tak hanya dalam Islam, sebab ilmuan barat pun juga pernah mengkonsepkan pemikiran humanisasi bagi manusia lainnya atau kaum difabel.
Kondisi kaum difabel memang memiliki kekurangan secara fisik, akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, kaum difabel tidak hanya terkurung dalam keterpurukan. Akan tetapi justru lebih mampu menguasai hal-hal yang monumental dengan skill yang dimiliki. Seperti halnya melukis dengan kaki, berjalan dengan tangan dan lain sebagainya yang jarang sekali orang melakukannya. Proses humanisasi yang konkret harus kita bangun demi menghidupkan semangat kaum difabel atau disabilitas. Sebab pada dasarnya kita adalah saudara yang dilahirkan dengan proses yang sama. Wallahu'alam Bis- showab.*** (sumber : analisadaily.com)
* Penulis adalah Mahasiswa Program Magister UIN Walisongo Semarang, Senior 2012 of Monash Institute Semarang