Jakarta (riaumandiri.co)-Mahkamah Konstitusi (MK) membuat ambang batas persentase selisih suara Pilkada yang bisa diadili di MK. Hal itu dinilai menutup fakta adanya kecurangan di lapangan.
Untuk membuka berbagai kekurangan di atas, Kode Inisiatif menggelar acara diskusi dengan tema "Peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Mewujudkan Keadilan Substansial". Diskusi ini membahas tentang pro kontra ambang suara sengketa pilkada.
Salah satu pembicara diskusi dari Pusako FH Universitas Andalas Charles Simabura menyampaikan pendapatnya tentang ambang suara sengketa pilkada dalam rentang 0,5 sampai 2 persen. Charles menyebut ambang batas itu membuat banyak permohonan di beberapa daerah berpotensi harus terhenti dan tidak bisa diproses oleh MK.
"Kalau melihat jadwal beracara di MK, terhitung tanggal 1 Maret 2017 sebagai tanggal terakhir pengajuan permohonan, total permohonan itu ada 48 daerah. Dari 48 ini kita perkirakan yang akan diproses MK hanya 7 mengingat penerapan syarat ambang batas suara yang ditetapkan oleh MK," kata Charles dalam diskusi yang berlokasi di Fame Food Art, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/3).
Charles menyebut banyak daerah yang selisih suaranya melebihi ambang batas yang sudah ditetapkan MK sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut oleh MK. Permasalahan utama dari ambang suara itu, menurut Charles, adalah masih banyaknya praktik kecurangan yang terjadi dalam pilkada yang mengakibatkan selisih suara bisa lebih besar dari ambang batas suara yang sudah ditetapkan.
"Kita kan tidak tahu kejadian apa yang terjadi di balik selisih itu. Apalagi sekarang masih macam-macam aja kecurangan dalam Pilkada, kan sederhana aja, semuanya itu pelaku pelanggaran, mau yang menang atau kalah itu sama, pelaku pelanggaran. Jadi MK jangan tutup mata dengan hal ini," ujar Charles.
Oleh karena itu. menurut Charles, MK harus bisa lebih terbuka terkait ambang batas suara itu. Dia menyarakan agar MK tidak terlalu ketat dan terpaku dengan peraturan tersebut dan mencoba untuk melakukan pendalaman terlebih dahulu terkait permohonan yang disampaikan ke MK.
"Jadi pas pemeriksaan pendahuluan itu, masuklah sedikit ke para pemohon itu, karena bisa dilihat alat bukti segala macam, jangan tutup mata begitu aja. Apalagi sekarang orang-orang udah susah percaya panwaslu, aparat penegak hukum. Jadi MK ini adalah jalan terakhir," katanya.
Charles menegaskan bahwa dia tidak mempermasalahkan terkait ambang batas tersebut. Tapi dia ingin agar MK tidak terpaku terhadap ambang batas itu dan lebih melakukan langkah-langkah pendekatan terhadap permohanan yang dilayangkan ke MK untuk proses yang terbaik.
"Kita sebenarnya pembatasan itu tidak apa-apa, karena kita engga mau juga MK jadi tempat sampah. Jadi sebenarnya angka ini silakan saja tapi jangan ketat. Harus ada pertimbangan MK terhadap kondisi-kondisi yang tadi. Untuk bisa memberikan bukti-bukti di awal ya kecurangan itu, kenapa tidak. Silakan aja, tapi ada exceptional lah. Jangan sampai hanya pendekatan formil saja," tutupnya.
Ambang batas sengketa suara tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan peraturan MK Nomor 1 tahun 2017 tentang pedoman beracara dalam pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan umum (PHPUD). (det)