(riaumandiri.co)-KUNJUNGAN Raja Arab Saudi Salman Bin Abdul Aziz Al Saud ke Indonesia, dapat membuka babak baru bagi dunia pertambangan di Indonesia. Dan ini dapat menjadi ancaman baru bagi PT Freeport Indonesia yang tengah berseteru dengan Pemerintah Indonesia.
Sejak Presiden Soeharto berkuasa tahun 1967 Perusahaan pertambangan Emas milik Amerika Serikat (AS) ini di Papua mendapat konsesi untuk mengeruk kekayaan bumi Cendrawasih mealui kontrak karya 1 berdurasi selama 30 Tahun. Dan PT Freeport- Mc Moran Copper & Gold Inc dengan anak usahanya PT Freeport Indonesia menjelma menjadi raja tambang didunia, setelah mendapatkan kontrak karya itu.
Selama 30 tahun pertama PT Freepot Indonesia menjalankan operasionalnya, masyarakat Indonesia diluar Papua, tidak mengetahui secara pasti jika tambang dipengunungan Jaya Wijaya itu, memiliki deposit emas yang cukup banyak, hampir dua kali lipat dibanding Perak dan Tembaga.
Lokasi pertambangan PT Frepotpun tertutup untuk umum. Hal ini membuat para pengelola tambang dan beberapa pejabat tinggi Indonesia yang berada dijakarta dengan mudah melakukan tipu tipu kepada bangsa Indonesia, terutama terhadap masyarakat Papua yang tidak menerima apa apa dari hasil tambang yang ada didaerahnya.
Di bawah rezim Soeharto tipu tipu itu pun berjalan mulus, perpajangan kontrak karya jilid ke 2 pun direalisasikan. Kontrak karya jilid 2 itu selama 30 tahun ditanda tangani oleh Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahun 1991 dan akan berakhir pada tahun 2021.
Sepanjang penantian berakhirnya kontrak PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia, Tidak ada yang dapat untuk diperbuat oleh Pemerintah Indonesia, Kendatipun Presiden Indonesia telah silih berganti, sejak jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto, sampai kepada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PT Freeport dengan mulus menjalankan operasional penambangan di Papua, tidak ada yang berani untuk mengusiknya.
Walaupun SBY pernah mencoba untuk mengusik PT Freeport, dan juga usaha penambangan lainnya melalui kewajiban hilirisasi. Dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bata, yang mewajibkan perusahaan tambang untuk membangun smelter.
PT Freeport Indonesia juga diwajibkan untuk membangun smelter pengolahan biji emas dan tembaga, sebelum diekspor ke AS. PT Freeport pun tidak keberatan dengan peraturan Pemerintah tersebut. Namun Peraturan Pemerintah itu baru bisa dieksekusi apa bila pengusaha tambang mengingkari atas peraturan pemerintah tersebut, setelah 5 tahun penandatanganannya.
PT Freeport pada awalnya terlihat akan mematuhi kewajiban yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah itu. PT Freeport akan membangun smelter di Gersik Jawa Timur. Akan tetapi sampai batas waktu yang telah ditentukan Smelter yang dijanjikan oleh PT Freeport itupun tidak juga kunjung dioperasikan. PT Freeport Indonesia, tetap melakukan ekspor biji emas, tembaga dan perak kenegara AS.
Pada hal jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor : 23 Tahun 2010 itu. PT Freeport Indonesia seharusnya dilarang untuk mengekspor konsentrat. Tetapi dengan dalih operasional tambang harus berjalan, karena menyangkut kehidupan para kariyawannya, PT Freeport pun meminta keringanan agar diperbolehkan mengekspor biji mentah dari hasil yang mereka tambang, sebelum smelternya benar benar sudah bisa dioperasionalkan.
Pemerintahan SBY pun memberikan keringanan, karena kemungkinan SBY tidak berani untuk mengambil resiko yang bakal dihadapi jika bersikap terlalu keras terhadap PT Freeport Indonesia.
SBY tentu membaca sejarah, kudeta yang terjadi terhadap pemerintahan Rizim Soekarno, tidak terlepas dari campur tangannya AS. Begitu juga dengan PT Freeport Indonesia, yang tidak terlepas dari campur tangan AS terhadap pertambangan itu.
Dari kontrak karya ke IUPK
Keringanan yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada PT Freepot sebanyak dua kali. Ter-baca oleh Presiden Jokowi sebagai adanya niat yang tidak baik dari PT Freeport. Karena keringanan yang telah diberikan oleh Pemerintah itu, hanya dijadikan sebagai pengulur waktu dalam pembangunan smelter. PT Freeport tidak benar benar serius untuk membangun smelter.
Presiden Joko Widodo pun melalui Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengubah Kontrak Karya menjadi hanya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah memperbolehkan Freeport mengekspor konsentrat asal mau menandatangani perubahan kontrak tersebut. Jika tidak mau, Freeport harus membangun smelter dan dilarang melakukan ekspor hasil tambang yang masih mentah.
Adanya kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi, jelas membuat para petinggi PT Freeport merasa terusik. Dengan adanya perobahan kontrak tersebut posisi PT Freeport tidak lagi sejajar dengan Pemerintah Indonesia, tapi melainkan berada dibawah kekuasaan Pemerintah Indonesia. PT Freeport harus tunduk dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dan juga terhadap peraturan dan perundang undangan tentang pertambangan yang berlaku.
PT Freeport juga harus menyerahkan lahan konsesi yang luasnya mencapai 90 ribu hektar, karena pemegang IUPK hanya diperbolehkan menguasai areal pertambangan seluas 25 ribu hektar.
Merasa masih unggul, PT Freeport pun mulai mengambil langkah langkah, untuk menantang kebijakan Pemerintah dengan mengerahkan kariyawannya untuk melakukan aksi unjuk rasa dan mengancam untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Mendapat ancaman dari PT Freeport Pemerintah sedikitpun tidak bergeming. Akhirnya Pt Freeport mengancam akan membawa permasalahan ini kebadan Arbitrase Internasional, karena PT Freeport merasa masih memiliki kontrak hingga 2021. Freeport menuduh Pemerintah Indonesia memutus kontrak tersebut secara sepihak.
Lagi lagi Pemerintah Indonesia tidak merasa gentar dengan adanya ancaman itu. Malah Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, mengeluarkan ucapan yang merendahkan PT Freeport dengan kata Kampungan.
Tidak saja Menko Kemaritiman yang mengeluarkan kata ejekan kepada para petinggi PT Freeport. Menetri ESDEM Ignatius Jonan, malah mengatakan kontribusi PT Freeport sangat kecil. Jonan juga mengatakan PT Freeport merupakan perusahaan kecil tidak lebih besar dari PT Telkom Indonesia,Tbk.
Ancaman baru bagi freeport
Kedatangan Raja Arab Saudi Salman Bin Abdul Aziz Al Saud Keindonesia, tentu dapat menjadi ancaman baru bagi PT Freepot Indonesia, jika PT Freepott tetap membandel dengan Peraturan Pemerintah Indonesia.
Kunjungan Raja Arab Saudi itu, bukan hanya sekedar kunjungan kenegaraan, tapi melainkan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi berminat untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Termasuk untuk mempromosikan penawaran saham perdana Saudi Arabian Oil Co atau yang lebih dikenal dengan nama Aramco.
Aramco akan melepas sahamnya sebesar 5 % dengan target pengumpulan dana sekitar US$ 100 milyar dengan estimasi nilai Saudi Aramco mencapai US$ 2 triliun. Penawaran saham perdana dari perusahaan minyak ini akan menjadi initial public offering (IPO) terbesar dan memecahkan rekor baru mengalahkan saham Alibaba. Selama ini IPO terbesar dimiliki oleh Alibaba dengan pencapaian US$ 25 Milyar.
Pemerintah tentu dengan bijak untuk memamfaatkan saham Saudi Aramco, untuk menggantikan PT Freepott Indonesia, sebagai pengelola Pertambangan Emas di Papua, jika PT Freeport tetap membandal dengan peraturan Pemerintah. Walaupun Saudi Aramco, adalah perusahaan tambang minyak plat merah di Saudi Arabia.
Masuknya Saudi Aramco dalam pengelolaan tambang Emas di Papua, tentu akan membuat AS berpikir untuk mencampuri urusan Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia. Apa lagi untuk melakukan intimidasi dengan pemerintah Indonesia. Namun semuanya terpulang kepada Presiden Jokowi, apakah Jokowi tetap dalam pendiriannya, mengalih pungsikan Kontrak Karya kepada IUPK dengan segala resiko yang ada?. Mari kita tunggu.