Gonjang-ganjing perpolitikan di negeri kita akhir-akhir ini telah berada pada titik sangat berbahaya, sudah melampaui batas akal sehat. Pelaku-pelaku politik sudah tidak lagi menghiraukan etika, sopan santun. Agama dan moral seolah-olah terpisah dari politik. Rambu-rambu agama dilabrak, agama hanya formalitas.
Setiap hari kita mendengar dan membaca tentang kemungkaran dan selalu muncul orang-orang baru sebagai tersangka dan terdakwa. Pelakunya orang-orang berpendidikan dan orang-orang beragama dengan segala simbol yang melekat padanya. Ada jabatan menteri, ada ketua umum partai Islam, ada yang berjilbab malah ada ustaz dan seterusnya.
Semua lembaga-lembaga pemerintah bermasalah. Lembaga hukum saling cakar-cakaran, saling tuding, malah sudah saling fitnah. Begitu pula departmen-departmen, termasuk departemen agama dan departemen pendidikan. Padahal kedua departmen tersebut seyogianya menjadi lembaga terdepan dalam mempertahankan nilai-nilai moral dan ternyata terpeleset pula ke arah amoral. Depdiknas yang bertujuan mencetak anak bangsa dan generasi penerus agar menjadi manusia beradab dan berakhlak mulia justru menjadi sarang korupsi. Begitu pula di kalangan penegak hukum, jaksa, hakim dan kepolisian terlibat dengan penuh bergelimang dosa.
Lembaga-lembaga pemerintahan saling curiga, saling tidak percaya termasuk lembaga antikorupsi (KPK) dituding oleh lembaga penegak hukum sebagai lembaga yang tidak bersih. Tarik menarik antara penganjur kebaikan dengan penganjur kejahatan sedang berlangsung dengan sengitnya di negeri kita. Sayangnya yang menang hampir selalu penganjur kejahatan.
Seolah-olah di negeri kita ini ada gerakan terselubung menganjurkan Indonesia ini hancur dengan slogannya: "Mari kita hancurkan negeri ini dengan cara masing-masing". Legislatif dengan cara dia, eksekutif dan yudikatif dengan cara mereka pula.
Legislatif sepertinya tidak lagi lembaga perwakilan rakyat, sudah menjadi perwakilan partai dan selalu mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat. Kualitas DPR periode ini banyak pakar dan pengamat mengatakan lebih gawat dari periode sebelumnya.
Tipe politisi DPR disebut sebagai politisi ikan lele, senang hidup di air keruh. Makan gaji buta, poduktivitas rendah dan yang menonjol hanyalah mengusik pemerintah dan mengkerdilkan KPK. Sedihnya lagi politisi-politisi dari partai Islam lebih parah, lisannya tak terkontrol, bicara seenaknya, tak ada etika dan sopan santun. Namun politisi seperti ini dipelihara oleh partai. Pengacara tak mau kalah, menegakkan benang basah, hampir selalu kalah berperkara tapi tak punya rasa malu bicara bertubi-tubi di media bak dia manusia sempurna. Kita tahu prinsip pengacara: "Mulutku adalah ladangku".
Begitupula lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mahasiswa, tak mudah membedakan LSM dan pendemo yang murni dengan yang dibayar. Malah sudah menjadi profesi. Para birokrat termasuk penegak hukum terutama polisi tidak lagi dihormati rakyat. Mereka telah tebal muka, segala bentuk kritik lisan maupun tulisan tidak mempan. Semua telah rancu dan rentan terhadap godaan.
Begitulah profil anak bangsa akhir-akhir ini di mana kita sedang berada di dalamnya. Besar harapan kita terhadap KPK, tapi sampai saat ini lembaga tersebut selalu dihujat dan malah dikerdilkan oleh politisi-politisi tertentu. Kenapa kondisi ini bisa terjadi? Jawabannya tentu variatif, tapi dari sekian pendapat ada tiga penyebab yang sama yaitu:
Pertama, karena politik dijadikan panglima. Segala-galanya melalui politik sehingga lembaga tersebut seolah-olah telah menjadi lembaga setengah dewa.
Kedua, lembaga penegak hukum impoten, hanya sibuk untuk kepentingan pribadi, hukuman tidak membuat efek jera dan hukum bisa diperjualbelikan.
Ketiga, gagalnya lembaga pendidikan dan dakwah. Lembaga pendidikan pada umumnya hanya seperti lembaga pencetak ijazah. Belum mampu melahirkan manusia-manusia berkualitas yang berakhlak mulia. Pengawasan dari pemerintah lemah dan rekrutmen guru dan dosen amburadul. Bila lembaga pendidikan, lembaga agama, telah menanggalkan posisinya sebagai rujukan moral, tumpuan harapan, begitupula lembaga peradilan (hukum, kejaksaan dan kehakiman) tidak dipercaya, lembaga politik (legislatif) tidak lagi berpihak pada rakyat, ke mana lagi harapan mau di usung? Ke mana bangsa ini mau dibawa? Hanya Allah Yang Maha Tahu.
Kita hanya berdoa semoga Allah menyelamatkan bangsa ini dari keinginan manusia-manusia biadab. Kita berdoa semoga manusia-manusia tersebut dibuka hatinya untuk kembali ke jalan Allah, amin.***
Ketua STISIP Persada Bunda.