Artikel hikmah ini bermula dari pertanyaan seseorang kepada seorang ulama Pertanyaannya adalah bagaimana bila seorang hamba yang masih menuruti hawa nafsu kemudian mohon ampun dan bertaubat kepada Tuhan tapi tetap saja kembali maksiat? Dan bagaimana pula kaitannya dengan pernyataan ampunan/rahmat Allah swt sangat luas meliputi langit dan bumi?
Maka dijawablah pertanyaan itu secara analogetik:”bagaimana perasaan seorang ayah apabila kedapatan anaknya mencuri uangnya lalu si anak berjanji tidak akan berbuat lagi di hadapan ayahnya tapi di lain waktu si anak masih mengulangi perbuatannya dan berjanji lagi tidak akan mengulanginya lagi ?”meskipun si anak berbuat demikian, tapi si Ayah tetap memberinya makan dan membelinya pakaiaan yang menjadi kebutuhan dasarnya.
Melalui jawaban ini pesan yang ingin disampaikan bahwa meskipun perasaan si Ayah sangat kecewa terhadap anaknya karena anaknya memiliki prilaku buruk dan telah membohonginya tapi si Ayah tetap menaruh perhatian dan kasih sayang terhadap anaknya.
Demikian pula halnya Ibu, tidak sedikit anak yang telah menyakiti perasaan seorang Ibu tapi ibu tetap saja menyayangi dan mengasihi anaknya.
Allah swt memang Maha Penyayang dan Maha Pengampun tapi Allah swt tidak suka dengan sikap hambanya yang selalu mengingkari janjinya dan tidak suka dengan perbuatan durhaka dan melampaui batas.
Disinilah letak pentingnya manusia sebagai hambanya untuk berupaya mencari keridhoan-Nya. Keridhoan Allah swt itu bisa diperoleh dengan cara bersikap tunduk dan patuh pada perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bila Allah swt telah ridho kepada hamba-Nya, maka rahmat dan ampunan Allah swt akan mengalir deras atas kehidupannya. Dan keberkatan akan bertambah dan mengalir dari segala penjuru.
Segala sesuatu yang terjadi atas kehidupan ini baik itu sesuatu yang buruk (tidak menyenangkan) atau sesuatu yang baik (menyenangkan) tidak terlepas dari izin (kehendak) Allah swt. Kalau sesuatu yang buruk (tidak menyenangkan) atau sesuatu yang baik (menyenangkan) itu terjadi dalam kehidupan hamba atas keridhoaan Allah swt itu, maka kedua-duanya mengandung makna kebajikan (positif).
Keadaan buruk (tidak menyenangkan) akan menyelamatkan hambanya dan keadaan baik (menyenangkan) merupakan anugerah untuknya. Sebaliknya kalau sesuatu yang buruk (tidak menyenangkan) atau sesuatu yang baik (menyenangkan) itu terjadi dalam kehidupan hamba karena ketidak sukaan Allah SWT terhadapnya, maka kedua-duanya boleh jadi mengandung makna keburukan (negatif).
Keadaan buruk (tidak menyenangkan) bisa dimaknai sebagai sanksi atas hamba-Nya dan keadaan baik (menyenangkan) bisa jadi akan menyesatkannya.
Disinilah letak bedanya antara “izin” dan “ridho”. Allah swt melalui firmannya telah menjelaskan bahwa dalam kehidupan ini dibentangkan dua jalan ; ada jalan ketakwaan (kebaikan) dan adapula jalan keburukan (kefasikan) dan Allah swt ingatkan juga konsekuensi yang akan diterima seorang hamba sebagai akibat dari pilihannya. Ketika manusia memilih jalan keburukan (kefasikan) yang dengannya boleh jadi ia memperoleh kesenangan-kesenangan duniawi itu semua terjadi pada hekekatnya atas izin Allah swt tapi sebenarnya Allah swt tidak restu. Sebaliknya ketika manusia memilih jalan ketakwaan (kebaikan) yang dengannya barangkali ia mengalami kekurangan dari segi harta benda, maka sesunggunya ia menjadi mulia karena Allah swt meridhoinya (merestuinya).
Satu hal yang perlu diingat bahwa ketika seseorang berbuat dosa (kesalahan) lalu ia berusaha untuk bertaubat (kembali kepada Allah swt) tapi Allah SWT belum tahu mau kembali pula kepadanya. Bukankah menurut satu riwayat Nabi Adam as bertaubat menangis selama 200 Tahun, tidak makan dan minum 40 hari, dan tidak mendekati Hawa 100 Tahun, sampai beliau thawaf di ka'bah dan Allah swt menerima taubatnya. Dan taubatnya Nabi Adam as hanya dari satu kesalahan, yaitu memakan buah terlarang.
Karena itu jangan “bermain-main” dengan dosa dan maksiat dengan alasan Allah SWT Maha Pengampun dan Rahmat (kasih sayang) Allah swt sangat luas. Allah SWT memang mengampuni semua dosa jika hambanya mau bertaubat.
Tapi adakah jaminan bahwa Allah SWT akan menerima taubat kita?.
Bukankah ada ayat yang menyatakan,” bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan (ketidak tahuan) kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan Mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-An’am: 54)
Artinya bagi yang ketat dalam memahami ayat di atas ia akan berpandangan bahwa dosa yang diampuni oleh Allah swt hanyalah dosa yang dilakukan karena ketidaktahuannya. Jikalau seseorang hamba sudah mengetahui suatu perbuatan itu dosa tapi dilakukannya juga, maka menurut pendapat kelompok ini dosanya tidak diampuni.*
Wallahu a'lam