RIAUMANDIRI.co - Usai sholat subuh berjamaah di mushola yang sudah bertahun-tahun tak berdinding itu, datang menyelinap di hati Datuk Abdullah (Tuk Dulo) tuk mengurungkan langkah kakinya menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) guna memilih walikota di daerahnya tersebut, yang dihelat beberapa jam lagi.
"Apa penting saya memilih?, satu lembar surat suara tidak akan mempengaruhi hasilnya nanti," guman Tuk Dulo dalam hatinya.
"Lagi pula cara memilih pemimpin seperti ini sudah ada sejak puluhan abad silam, apa tidak ada cara yang lebih baik lagi?. Saya yang hanya lulusan Sekolah Rakyat ini punya suara yang sama dengan guru besar dengan segala wawasan dan pengetahuan yang mereka miliki, padahal mereka lebih tau pemimpin seperti apa yang dibutuhkan saat ini," Tuk Dulo sedikit berpikir keras.
"Apatah lagi kebanyakan dari mereka jika sudah terpilih nanti mendadak amnesia," Bisikan ini semakin menguatkan dirinya hari itu tuk berdiam diri saja di rumah.
Padahal, tidak terhitung berapa kali sudah laki-laki tua yang lahir zaman pendudukan Jepang ini sumbangkan satu suara yang pastinya jadi penentu terpilihnya ketua RT hingga kepala negara di republik ini.
Setelah melantunkan beberapa ayatNya, dan beranjak meninggalkan mushola tersebut, kakinya menginjak banyak sekali kerikil-kerikil kecil yang menyatu dengan lantai di Rumah Pemilik Alam Semesta tersebut.
Ya, selain tak berdinding, dana sumbangan warga belum bisa buat mushola tersebut lantainya berkeramik seperti rumah pejabat-pejabat di negeri ini. Sejak pertama dibangun, tak satu rupiah pun mengalir bantuan dari instansi pemerintah, walaupun pengurus sudah beberapa kali mengajukan.
Entah apa yang membuat cara berpikir Tuk Dulo kembali melingkar karena kejadian yang sebenarnya setiap lima waktu dia rasakan ini. Simpul-simpul kompromi mendominasi akalnya.
"Jika banyak orang berpikiran sama seperti saya, satu suara tidak mempengaruhi, wah, bisa-bisa banyak yang tidak memilih dari pada yang memilih. Dan jangan-jangan mereka yang memilih pun motivasinya hanya karena beberapa lembaran rupiah," Tuk Dulo menilai jika seperti itu, pastinya pemimpin yang terpilih nanti menguras uang rakyat, sebab sebelumnya sudah menggelontorkan dana yang tidak sedikit.
Dan jika hak suara hanya diserahkan kepada mereka yang memiliki segudang titel atau yang sudah disematkan kepadanya sebagai pakar, apa mungkin mereka bisa dipercaya sepenuhnya. Sebab, Tuk Dulo baru saja mendengar seorang pakar hukum tata negara yang dulu sebut kepala daerah haram statusnya tersangka, sekarang malah mengeluarkan 'fatwa akademis' yang berbeda 180 derajat. Mungkinkah menjadi lacur karena kepentingan sesaat.
Tuk Dulo kembali membangun asanya, bimbang memang, namun dengan istiqarah, dia memantapkan diri tuk melangkah tentukan pemimpinnya 5 tahun kedepan. Setidaknya ini memilih pemimpin yang baik dari kumpulan yang kurang baik. Atau, yang sedikit mudhoratnya mungkin jadi pilihan.
Oleh : Alwira Fanzary, S.Sos, Ketua Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) Lingkar Anak Negeri (LAN) Riau
Editor: Nandra F Piliang