(riaumandiri.co)-Saat traveling ke Beijing ibu kota Tiongkok, pada akhir musim semi 2014, saya membawa bekal makanan dan minuman hanya cukup untuk 2 hari, dimana sebagian saya beli di Bandara KLIA2, Kuala Lumpur. Sebuah cooker kecil juga ikut diboyong sebagaimana biasa.
Tujuannya untuk memasak mi instan, lontong instan maupun bubur ayam instan.
Bekal selama dua hari itu tentu tidak cukup karena seminggu berada di ibu kota negeri tirai bambu itu mengingat banyaknya destinasi wisata dan luasnya wilayah Tiongkok.
Sampai kemudian bekal tinggal sedikit, sayapun harus bergerilya mencari makanan. Berkat bantuan mesin pencari Baidu (di Beijing dilarang menggunakan Google dan Yahoo), saya akhirnya menemukan Muslim Supermarket sekaligus juga Food Court Muslim di lantai duanya di zona pemukiman warga Muslim Tiongkok di sekitar Masjid Niujie.
Bagi wisatawan Muslim seperti saya, mencari makanan halal sudah kewajiban. Maka itu tak jarang harus membawa bekal dari Indonesia. Walaupun mendapat fasilitas breakfast di hotel, tetapi tak mudah kecuali hotel tersebut menyediakan makanan halal. Akhirnya breakfast selama ini lebih banyak memilih yang semi vegetarian, seperti buah segar dan telur rebus saja. Ada juga beberapa restoran halal di Beijing, tetapi rasanya tidak cocok di lidah.
Adanya makanan halal di zona wisata sebenarnya sangat menolong serta juga membahagiakan wisatawan Muslim. Betapa tidak, di saat menikmati keindahan alam pun atraksi wisata, tiba-tiba perut merasa lapar tetapi apa jadinya jika di sekitar tak ada makanan halal?
Hal seperti ini pernah saya rasakan di Jepang. Saat berbelanja di Takhesita, Tokyo, Agutus 2013, tak terasa sudah jam 1 siang waktu setempat. Perutpun sudah keroncongan. Mau mencari resto halal tidak ketemu. Namun Alhamdulillah, di sebuah pedestrian, di seberang stasiun kereta, saya bersua dengan penjual kebab orang Turki di atas kios motor. Kebahagiaan juga saya rasakan saat menghadiri konser Summersonic 2013 - konser rock musim panas di Tokyo - di stadion di kawasan Ciba, diantara outlet makanan terdapat dua oulet makanan Muslim menu India dan Timur Tengah. Padahal even itu digelar oleh orang Jepang yang non Muslim. Sayapun betah menonton sampai malam dimana diantara lineupnya band besar dunia seperti Metallica, dan Linkin Park.
Kenangan berwisata ke Negara Jepang dan Tiongkok itu kembali mengemuka menyusul statemen Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang berencana menjadikan Zona Halal di KawasanDanau Toba, destinasi wisata alam kebanggaan Sumut dan Indonesia. Rencana ini bertujuan mengakomodir wisatawan muslim yang selama ini mengeluh kesulitanmencari kuliner halal, terutama dari wisatawan Malaysia yang termasuk terbesar masuk ke Sumut.
Namun, belum apa-apa rencana baik dan mulia itu sudah ditanggapi miring dan keliru oleh sejumlah pihak, antara lain elemen mahasiswa dan anggota dewan.
Dalam pernyataan di sejumlah media, mereka menyebutkan wacana itu akan menimbulkan konflik horizontal, dan pengkotakan masyarakat. Wacana ini juga dinilai anggota dewan bagian dari sesat berpikir dan kesadaran diskriminatif dan pernyataan ini bisa membahayakan.
Hmm, berpendapat sih wajar saja. Namun, menurut saya pernyataan itu keliru dan justru yang menyesatkan. Mengapa demikian?
Saat ini, sudah banyak negara-negara yang memandang industri pariwisata sebagai penyumbang devisa negara yang besar. Oleh sebab itu, mereka menggalak-galakkan wisata halal karena mereka menyadari jumlah wisatawan Muslim kian hari kian banyak yang berkunjung kenegaranya.
Salah-satunya adalah Thailand. Negara dengan mayoritas penduduk beragama Budha ini kini sedang memanjakan wisatawan muslim melalui pengembangan wisata halal. Pada tahun 2015 lalu, negara itu menggelar Thailand Travel Mart (TTM) yang bertemakan wisata Halal di Thailand dan dihadiri partisipan travel agent dan hotel dari seluruh dunia. Konvensi itu kemudian ditandai dengan peluncuran aplikasi online Halal Tourism Thailand yang bisa diakses di smartphone dan Tablet yang berisi petunjuk akomodasi dan kuliner halal di seluruh destinasi wisata di Thailand.
Data yang dirilis World Travel Tourism Council (WTTC), menyebutkan Thailand mampu meraup keuntungan dari bisnis wisata halal mencapai US$ 47,4miliar sementara Malaysia US$15 miliar, Singapura US$ 16 miliar dan Indonesia hanya 11,9 US Dolar.
Indonesia sendiri juga kini sedang menggalakkan wisata Halal dan penetapan zona halal karena pemerintah tampaknya menyadari industri pariwisatamerupakan industri jasa yang memberikan kontribusi penting bagi perekonomian nasional. Konsep Halal-Tourism kini dikembangkan di Aceh, Sumbar dan Lombok (NTB).
Mnteri Pariwisata, Arief Yahya di Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan setiap kota, setiap daerah, boleh saja membuat kawasan halal, hotel halal, restoran halal, kafe halal, dan sebagainya karena secara bisnis, memang ada pasarnya, dengan daya beli yang sangat kuat.
Peluang
Dalam acara World Islamic Economic Forum (WIEF) ke-12 yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, 2-4 Agustus 2016 lalu terungkap bahwa berdasarkan studi Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, jumlah total kedatangan wisatawan muslim mencapai angka 117 juta pada 2015. Angka ini diperkirakan terus bertambah hingga 168 juta wisatawan pada tahun 2020, dengan total nilai pengeluaran diatasi US$200 miliar. Apalagi populasi masyarakat muslim diperkirakan mencapai 26 persen dari keseluruhan populasi masyarakat dunia pada tahun 2030.
Ini tentu sebuah peluang bagi setiap negara yang ingin mendongkrak pemasukan dari industri pariwisata. Apalagi bagi Sumatera Utara yang lewat Danau Toba meyakini sedang di gadang-gadang oleh pemerintah Pusat.
Janganlah kita menjadi katak dalam tempurung, Mari move on, keluar dari tempurung untuk melihat dunia ini secara luas. Di negara negara non muslim saja kini berlomba memanjakan zona halal dalam arti restoran halal, hotel syariah, kuliner halal, fasilitas ibadah, dan selama ini tidak memicu masalah, mengapa kita disini justru berfikir sebaliknya? Justru pernyataan pernyataan sebagian pihak itu di awal tulisan ini yang menyesatkan karena berpotensi memprovokasi umat yang sudah hidup damai.
Negara Tiongkok yang katanya komunis saja di ibukota Bejing mempunyai supermarket dan food court Muslim. Di Jepang, di bandara International di Tokyo, baik Narita dan Haneda, Anda akan mendapatkan mushola untuk umat Islam dan menemukan restoran halal.
Demikian juga di negara mayoritas penganut agama Budha, Thailand. Di mall MBK, terdapat mushola yang jauh lebih baik dari mall favorit di Kota Medan. Bahkan mushola di bandara internasional Suvarnabhumi Bangkok jauh lebih baik besar dari di Bandara Kuala Namu Medan. Di Soi 7 Nana, di downtown Bangkok, didominasi penginapan dan resto muslim yang mayoritas dihuni wisatawan Muslim dari Timur tengah. Suasananya bukan lagi seperti di Bangkok melainkan di Arab.
Bahkan, di dalam pesawat Thai Airways tujuan domestik Bangkok-Chiang Mai para penumpang diberi snack berlabel Halal dari Majelis Ulama Thailand. Begitulah bagaimana mereka memanjakan wisatawan Muslim supaya tidak ragu ragu datang kenegeri mereka.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya berpendapat Pemerintah provinsi Sumut maupun Pusat dalam hal ini Kementerian Pariwisata tampaknya perlu lebih banyak mensosialisasikan Zona Halal ini supaya bisa dipahami oleh semua pihak dan meluruskan stigma-stigma yang terlanjur keliru pun negative thinking.
Kasihan Danau Toba jika dipoles-poles, dipromo-promo, tetap saja tidak mampu mendongkrak wisatawan hanya karena wisatawan kesulitan menemukan kuliner halal. Padahal potensi wisatawan itu mayoritas wisatawan Muslim selama ini, terutama dari Malaysia dandomestik. *** (sumber: analisa.com)
Penulis jurnalis, alumni Pariwisata USU, senang traveling, tinggal di Medan.