RIAUMANDIRI.co - "Rumah Makan Legokan Ngancar".pengelola rumah makan menyambut kami sembari memberikan daftar menu ketika kami menginjakkan kaki di bangunan utama. Keberuntungan sedang bersama kami hari ini, karena hampir semua menu tersedia kecuali sayur asam. Aneka olahan ikan air tawar, sayur dan berbagai macam pilihan sambal mengisi deretan menu di Rumah Makan Legokan Ngancar.
Setelah menentukan pesanan, kami menunggu,Beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda pesanan kami diantar. Saya memutuskan blusukan di sekitar rumah makan hingga secara tak sengaja saya bertemu Bu Surat, istri Pak Basri yang sedang memetik daun ketela.
Dari Bu Surat juga saya tahu jika semua sayur yang diolah di rumah makan ini berasal dari kebun sendiri dan dipetik ketika akan dimasak. Jadi bisa dipastikan sayurannya masih segar.
Sebuah papan yang tampak seperti denah sederhana menarik perhatian saya.
"Peta Wisata Desa Mangir" tertulis dengan huruf kapital di bagian atasnya. Jalanan desa dan situs-situs yang menjadi saksi sejarah Desa Mangir seperti situs Batu Gilang, Batu Lumpang, Lembu Andini, Linggayoni serta petilasan Ki Ageng Mangir Wonoboyo menjadi objek utamanya. Sejarah Desa ini memang tak pernah lepas dari sosok pemimpin wilayah perdikan Mangir di zaman Kerajaan Mataram, Ki Ageng Mangir Wonoboyo.
Kisah cintanya dianggap tragis karena berakhir ditangan mertuanya sendiri, Panembahan Senopati sang penguasa Kerajaan Mataram. Awal cerita Ki Ageng Mangir Wonoboyo dianggap sebagai pembangkang dengan segala pemikirannya yang menolak sistem kasta dan tak mau tunduk pada penguasa termasuk Kerajaan Mataram. Hingga akhirnya dengan pernikahan rekayasa, trah Majapahit ini bisa ditaklukkan.
Cukup lama saya menjelajah di sekitar tempuran Ngancar, saya kembali ke gubuk tempat kami makan tepat ketika Bu Surat menyajikan pesanan. Ternyata waktu yang kami habiskan untuk menunggu pesanan hampir satu jam.
Tak heran jika perut kami mulai menjerit kelaparan. Memesan makanan di rumah makan ini memang perlu kesabaran, karena Bu Surat memang hanya memasak makanan ketika ada pesanan. Jika tak ingin menunggu terlalu lama seperti kami, rumah makan ini juga melayani pesanan via telepon. Sehingga ketika datang, makanan sudah siap untuk dinikmati.
Di atas meja, sederet sajian ikan air tawar yang digoreng dan dimasak mangut tampak menggugah selera. Beberapa jenis sambal dan olahan sayur juga memenuhi meja makan kami. Semangkuk sajian mangut berkuah kuning terlihat menonjol di antara ikan-ikan yang digoreng. Sekilas tak jauh berbeda dengan mangut lele. Namun ketika dicicipi, rasa dagingnya agak lebih liat ketimbang lele.
Belakangan saya tahu mangut yang dimasak Bu Surat adalah mangut ikan gabus dari Sungai Progo. Pak Basri dan Bu Surat tampaknya menganggap mangut lele sudah terlalu mainstream hingga si Channa Striata dijadikan sebagai pengganti ikan berkumis tersebut.
Menu selanjutnya yang menggelitik rasa penasaran adalah semangkuk sayur lompong berkuah kuning. Setahu saya tak banyak tempat makan yang menyediakan menu masakan dari batang tanaman caladium ini.
Terbayang rasa geli dan gatal di lidah ketika mencicipi potongan batang lompong. Namun alih-alih gatal, sayur lompong yang dimasak Bu Surat rasanya lezat dengan perpaduan pedas, sedikit manis dan segar. Menu sayuran yang langka ini pun seketika menjadi primadona di lidah kami.(yc/lan)