SIAK (RIAUMANDIRI.co) - Tanjak akhir-akhir ini menjadi tren baru di Kabupaten Siak. Setiap hari, pengrajin tanjak lokal di Pasar Seni Kesturi dibuat kerepotan dengan ramainya pesanan yang datang. Ikat kepala khas orang melayu itu menjadi populer setelah orang nomor satu Negeri Istana Bupati Syamsuar menerapkan kebijakan pemakaian tanjak dikalangan ASN.
Tanjak dianggap lambang kewibawaan dikalangan masyarakat melayu. Semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula status sosial sipemakainya. Menurut Ketua Majlis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Siak Zulkifli ZA, tanjak biasa dipakai masyarakat melayu diseluruh lapisan strata sosial, baik dilingkungan kerajaan kalangan bangsawan maupun masyarakat awam.
“Begitu meninggalkan rumah, orang melayu biasa mengenakan tanjak. Fungsinya sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun ranting, awalnya berbentuk ikat biasa, namun oleh oleh orang melayu dahulu yang aktif dibidang gerak tangan muncul kreasi bentuk dengan nama tebing runtuh, belalai gajah, pial ayam, elang menyongsong angin dan lain sebagainya” kata Zulkifli. Sayangnya kata pria yang lama bergelut dengan kesenian dan kebudayaan melayu Riau ini, beberapa nama ikat dizaman kerajaan tersebut bentuknya sudah sulit ditemukan.
Bentuk-bentuk tanjak disebut juga dengan ikat, misalnya ikat sebelit. “Di lingkungan Kerajaan Siak dulu yang cukup populer diantaranya ikat pial ayam yang biasa dipakai para panglima, dan ikat elang menyongsong angin yang biasa dipakai datuk lima puluh. Khusus datuk pesisir ciri khasnya ikat hangtuah,” jelasnya. Ikat elang menyongsong angin ini kata dia, melambangkan kebijaksanaan dan kecermatan elang memainkan gerak angin, sementara ikat hang tuah melambangkan ketegasan.
Sementara untuk warna sebut Zulkifli, tanjak adat biasanya berwarna hitam dan untuk pengantin disesuaikan dengan pakaian. “Biasanya ikat pengantin itu ikat hangtuah, namun sekarang banyak yang meniru ikat dendam tak sudah yang populer di Malaysia,” kata dia.
Terkait kebijakan Bupati Siak yang menggagas pemakaian tanjak di lingkungan ASN, Zulkifli memberikan dukungan penuh. Sebab kata dia, pada dasarnya pemakaian tanjak dan baju melayu akan memberikan kewibawaan dan dampak psikologis bagi pemakainya. Namun demikian, ia mengingatkan agar pemakaian tanjak di lingkungan ASN tersebut tetap disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan adat berlaku.
“Saya mendukung ide Kabupaten Siak sebagai pioner menggalakkan kembali budaya bertanjak di Provinsi Riau, sebab kita sudah punya Grand Design Kebudayaan Melayu. Namun demikian nantinya, untuk ASN saya sarankan agar jangan terlampau tinggi tanjaknya, supaya dapat dibedakan mana yang tanjak adat dengan pakaian harian. Ikatnya bisa ikat pial ayam atau elang menyongsong angin yang disederhanakan” sebutnya.
Sementara Bupati Siak Syamsuar mengatakan, tanjak ini digalakkan untuk menghidupkan kembali identitas kebudayaan melayu ditengah masyarakat. Sebelumnya gerakan berbusana dan berbahasa melayu sudah diterapkan di Kabupaten Siak.
“Saya teringat dulu Tokoh Riau Datuk Tenas Effendi pernah berpesan kepada saya. Beliau bilang pak Bupati jagelah Siak tu elok-elok. Sebab kalau habis Melayu di Siak, maka habislah melayu di Riau” ungkapnya. Datuk Setia Amanah Kabupaten Siak itu juga mengatakan, gerakan bertanjak ini adalah salah satu cara untuk mempopulerkan kembali kebudayaan melayu(adv/hms)