Keinginan orang Indonesia belajar di luar negeri sangat besar, baik atas biaya sendiri karena mampu atau mendapat beasiswa, baik dari Pemerintah Indonesia, pemerintah negara lain atau lembaga-lembaga lain yang menyediakannya. Menurut Duta Besar Amerika Serikat Robert O Blake dalam tulisannya di rubrik "Opini" harian Republika (5/2) menyebutkan, tahun lalu ada 8.000 pelajar Indonesia yang belajar di AS dan diharapkan meningkat pada 2015 dan tahun-tahun berikutnya.
Pelajar yang dimaksudkan oleh Dubes AS tersebut dalam tulisannya adalah mahasiswa, baik untuk program diploma, sarjana, maupun pascasarjana. Mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri tidak hanya di AS, tetapi juga di negara-negara lain di dunia, misalnya, di Eropa, Kanada, Australia, Jepang, Singapura, dan lain-lain.
Tidak dapat dimungkiri, lulusan hasil didikan dari luar negeri tersebut sebagian ada yang berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan Indonesia dan memengaruhi arah pembangunan Indonesia, misalnya dalam masa Orde Baru dikenal dengan kelompok Barkeley yang sangat berpengaruh dalam pembangunan ekonomi.
Dalam menyelesaikan belajarnya di luar negeri, seharusnya kita harus kritis terutama kalau sudah menyangkut riset mengenai Indonesia yang terkait masalah poleksosbudhankam. Banyak penyandang dana yang memberikan beasiswa dari luar negeri tentunya tidak diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Mereka mempunyai keinginan atau kepentingan mendapat keuntungan dari pemberian beasiswa tersebut, secara langsung maupun tidak langsung. Tidak ada makan siang yang gratis.
Menarik perhatian membaca buku Catatan Ringan Diplomat Perempuan. Pengalaman Diplomasi di Lima Benua (2014) oleh Dubes Musma Musa SH mengenai masalah belajar di luar negeri ini, khususnya di Australia pada waktu yang bersangkutan bertugas sebagai wakil kepala Perwaklian atau DCM (Deputy Chief of Mission) di KBRI Canberra. Penulis kutipkan agak panjang untuk memberikan gambaran yang lengkap dan utuh mengenai mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia.
Dikatakan, "Selama saya bertugas di Australia kurang lebih 30 mahasiswa S-3 Indonesia mengikuti pendidikan program doktor yang mendapat beasiswa dari Pemerintah Australia dan kuliah di Australian National University (ANU). Termasuk juga perwira-perwira tinggi Indonesia yang mengikuti pendidikan di Joint Staff College. Pada waktu itu saya berpikir bahwa setiap mahasiswa Indonesia yang mengambil program doktor di Australia, tesis mereka selalu mengenai topik-topik yang agak rawan di Indonesia, antara lain masalah Aceh pada waktu itu dan juga mengenai Timtim."
"Khususnya bagi mahasiswa Indonesia akan lebih mudah mendapatkan bahan-bahan penelitian karena dilakukan di Indonesia. Tetapi dari segi kerahasiaan negara, Pemerintah Australia akan mendapatkan bahan-bahan mutakhir yang kadang kala sangat rahasia untuk disampaikan kepada Pemerintah Australia. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, ada baiknya Pemerintah Indonesia selalu memberi arahan kepada mahasiswa yang akan belajar di Australia terutama untuk program doktor jangan sampai tesis mereka nantinya mengenai masalah-masalah di Indonesia, dan mereka harus bisa menolak dengan baik."(halaman 89).
Penulis juga mempunyai informasi pada waktu bertugas di KBRI Den Haag. Seorang mahasiswa program doktor mengambil tesis masalah hutan tropis dan untuk keperluan tesisnya harus mengadakan riset di hutan Kalimantan. Ini sama artinya memberikan isi perut kita secara telanjang kepada pihak Belanda padahal Belanda tidak mempunyai hutan tropis.
Tetapi ada satu mahasiswa program doktor yang menolak masalah tesis yang diminta oleh promotornya karena dianggap akan membahayakan Indonesia karena diminta mengadakan riset, yang menurutnya akan menyangkut kerahasiaan negara. Karena tidak ada titik temu dengan promotor, akhirnya mahasiswa program doktor tersebut memutuskan lebih baik pulang ke Indonesia tanpa menyandang gelar doktor daripada akan merugikan Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu penulis pernah melihat naskah tesis mahasiswa program doktor di mana dicantumkan tulisan copyright untuk menerbitkan maupun mengimplementasikan tesis tersebut pada universitas yang bersangkutan menyelesaikan kuliah dan memberikan beasiswanya. Ini berarti pihak Indonesia tidak dapat atau dilarang untuk mengimplementasikan hasil riset untuk program doktor tersebut.
Melihat realitas tersebut, penulis berpendapat dan sesuai dengan harapan Dubes Musa Abbas SH, sudah waktunya Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi membuat pedoman bagi mahasiswa Indonesia yang akan belajar di luar negeri dan agar bersifat kritis terhadap penyelesaian kuliahnya untuk tidak melakukan riset yang dapat merugikan Indonesia, baik langsung maupun tidak langsung.
Pedoman ini agar disebarluaskan ke seluruh perguruan tinggi di Indonesia, instansi-instansi pemerintah dan kedubes/konsulat jenderal/konsulat RI di luar negeri. Kebebasan ilmiah bukan tidak ada batasnya, apalagi kalau sudah menyangkut kepentingan atau kerahasiaan negara. Di sini kesadaran mahasiswa bernegara diuji, antara untuk memperoleh gelar doktor dengan biaya pihak asing atau faktor melindungi kepentingan dan kerahasiaan negara. (rol)
Mantan Diplomat.