JAKARTA (riaumandiri.co)-Pengamat hukum tata negara, Refly Harun menilai, peran Dewan Etik Mahkamah Konstitusi belum berjalan maksimal dalam menjaga kehormatan hakim konstitusi. Alasannya, karena pembentukan dan pembiayaan operasionalnya masih difasilitasi oleh MK.
"Sehingga ada perasaan ewuh pakewuh, sehingga justru terlihat bahwa Dewan Etik itu banyak melindungi hakim-hakim yang melanggar kode etik," ujar Refly, dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (1/27).
Ia mencontohkan, pada penanganan kasus memo/katebelece pada April 2015 lalu. Saat itu, Ketua MK, Arief Hidayat dinilai melanggar kode etik hakim karena mengirim pesan kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Widyo Pramono.
"Itu malah dikasih sanksi ringan, padahal kan pelanggaran berat," kata Refly.
Oleh karena itu, lanjut Refly, perlu ada lembaga tersendiri yang berada di luar MK. Namun, lembaga tersebut sebaiknya tak disebut sebagai pengawas.
"Bahasanya itu menjaga keluhuran dan martabat hakim, termasuk hakim konstitusi. Kalau menjaga keluhuran dan martabat maka pendekatannya positif, bahwa hakim itu adalah luhur dan bermartabat. Agar dia tidak terjerembab, maka harus dijaga keluhuran dan martabatnya," ujarnya.
Terpisah, Ketua MK Arief Hidayat sependapat dengan Refly. Menurut Arief, jika nantinya ada lembaga lain yang perannya menjaga kehormatan MK maka jangan disebut sebagai lembaga pengawas. Makna kata "pengawas" berbeda dengan "menjaga".
Ia berpendapat, makna pada kata "pengawas" memunculkan asumsi adanya sub-ordinat atau bertingkat antara MK dengan lembaga tersebut. Di sisi lain, lembaga peradilan harus berdiri sendiri. Oleh karena itu, harus bersifat Independen dan tidak memihak atau dipengaruhi.
Kata "pengawasan" dan asumsi memunculkan sub-ordinat itu dianggap bisa bertentangan dengan independensi peradilan karena seakan-akan diawasi. "Jadi itu namanya lembaga menjaga. Paradigmanya beda," ujar Arief. (kom/sis)