JAKARTA (riaumandiri.co)-Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma'ruf Amin mengatakan, ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok soal Surat Al Maidah ayat 51 sebagai penghinaan terhadap Alquran dan ulama. Pendapat MUI tersebut diambil setelah dilakukan kajian. Hal itu dilontarkannya saat tampil sebagai saksi, dalam sidang dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok. Sidang kedelapan tersebut digelar di Ketum auditorium Kementerian Pertanian, Jalan RM Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (31/1).
"Kita melakukan penelitian, investigasi di lapangan, dan menyimpulkan bahwa ucapannya itu mengandung penghinaan terhadap Alquran dan ulama," ujar Ma'ruf. Lebih lanjut Ma'ruf mengatakan, penelitian terhadap ucapan Ahok saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016 itu dilatarbelakangi adanya keresahan dari masyarakat.
"(Ada) permintaan dari masyarakat ada yang lisan, ada yang tertulis. Supaya masalah ini ada pegangannya. Ada forum-forum, banyaklah saya lupa," imbuhnya.
Dari desakan itu, MUI melakukan rapat internal, yang diikuti komisi fatwa, pengkajian, hukum dan perundang-undangan serta bidang komunikasi informasi. MUI kemudian mengeluarkan pernyataan sikap soal ucapan Ahok tersebut, yang kini menyeret Ahok sebagai terdakwa penodaan agama.
"Iya ada penghinaan, itu melecehkan. Dari memposisikan Alquran sebagai alat kebohongan. Dibahasakan bahwa terdakwa itu ada mengandung penodaan karena Alquran dipakai alat berbohong. Dari segi bahasa, Alquran dipakai sebagai alat kebohongan. Tinjauannya ini ayat-ayat," terang Ma'ruf.
"Keputusan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia. Karena ini produknya bukan komisi fatwa, dikeluarkan MUI meski hakikatnya fatwa jadi pendapat dan sikap keagamaan MUI," ujar Ma'ruf.
Ditambahkannya, hasil investigasi tim MUI menunjukkan adanya kemarahan warga Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, soal ucapan Ahok tersebut. Namun kemarahan ini disebut hanya dipendam, tak disuarakan.
"Dari hasil investigasi sebenarnya mereka marah, cuma tidak menyatakan pendapatnya," tambahnya.
"Sebelum MUI mengeluarkan pendapat itu sudah gaduh. Mestinya terdakwa sebelum ngomong pikir dulu. Artinya, mestinya gitu kan," ujarnya lagi.
Ditegur Hakim
Dalam sidang kemarin, majelis hakim juga sempat menegur pengacara Ahok, karena dinilai mengajukan pertanyaan yang tidak relevan.
Teguran itu terjadi ketika pengacara Ahok menanyai saksi pelapor, Ibnu Baskoro, tentang latar belakang pendidikannya yang tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Tim pengacara Ahok mempertanyakan jenjang pendidikan saksi, yang disebut melanggar aturan.
Tak ayal, hal itu langsung mengundang protes dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pasalnya pertanyaan itu sudah melenceng dan tidak substantif.
Setelah berdiskusi, majelis hakim menilai pertanyaan yang diajukan tim kuasa hukum Ahok tidak substantif dan tak terkait dakwaan.
"Kalau penasehat hukum tidak terima dengan gelar saksi pada berita acara pemeriksaan, tempuh jalur hukum saja. Kalau dibahas di sini, tidak ada penyelesaiannya. Langsung masuk dakwaan, pertanyaan saja, daripada buang waktu," kata hakim Dwiarso.
Selain Ma'ruf Amin dan Ibnu Baskoro, sidang juga memeriksa keterangan saksi lain yakni Komisioner KPU DKI Jakarta Dahliah Umar.
Ahok didakwa telah melakukan penodaan agama karena mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 saat berpidato pada kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu pada September 2016. JPU mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Kurang Manusiawi
Sementara itu, pemeriksaan terhadap KH Ma'ruf Amin, mendapat sorotan tajam dari Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin. Ia menilai, ada yang tidak pantas dalam persidangan tersebut. Karena Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin dimintai keterangannya selama tujuh jam. Padahal, para saksi terdahulu tidak sampai menghabiskan waktu sedemikian lama.
"Tanpa bermaksud mengintervensi proses peradilan, saya sangat menyayangkan perlakuan atas beliau (KH Ma’ruf Amin) yang menjadi saksi sampai tujuh jam. Pada hemat saya, hal itu kurang manusiawi. Apalagi, mengingat beliau kan orang tua," ujarnya.
Din mempertanyakan mengapa KH Ma'ruf Amin harus menjadi saksi sampai tujuh jam lamanya. Padahal untuk saksi-saksi lain, ia mencatat paling lama bersaksi dua hingga tiga jam saja.
"Kalaupun kurang cukup waktunya, kan bisa diundang pada kesempatan lain. Ini terkesan ada tendensi memberikan tekanan psikologis atas Kiai Ma’ruf Amin. Apalagi, pertanyaannya berputar-putar saja. Tidak mengangkat substansi baru," tegasnya.
Menurut Din, seharusnya dalam persidangan tersebut fokus pada peran saksi sebagai ketua umum MUI. Misalnya, bagaimana pendapat keagamaan lembaga tersebut tentang kasus penistaan Alquran.
Karena itu, dia berharap, majelis hakim dapat mengadili kasus Ahok ini dengan memerhatikan rasa keadilan masyarakat. Dewan Pertimbangan MUI Pusat telah memutuskan untuk mengawal perkembangan kasus ini agar diproses secara berkeadilan. Dewan ini terdiri atas para ketua umum ormas-ormas Islam,
"Apalagi, kasus ini diikuti masyarakat. Jangan sampai, kalau tak berkeadilan, justru akan mengundang reaksi, protes terhadap kezaliman," tegasnya lagi.
Keberatan
Sementara itu, dalam sidang kemarin, Ahok sempat menyatakan keberatannya terhadap kesaksian Ma'ruf, karena dinilai menyudutkan dirinya.
Hal itu terkait tuduhan menghina ulama, serta kemarahan warga Pulau Seribu. Dia juga mempertanyakan tidak adanya klarifikasi langsung soal surat Al Maidah.
"Saya tidak pernah menafsirkan Al-Maidah 51. Saya keberatan, semua terserah pada hukum," ujarnya.
"Terkait niat, Anda bilang niat hanya Allah yang tahu, tapi Anda tidak tahu niat saya. Anda sebagai saksi tidak objektif lagi karena mengarah pada dukungan paslon 1. Semua pelapor saya tidak pernah kuorum di rapatnya, jadi ini menzalimi saya," ujarnya lagi.
"Saya tidak ada hubungan apapun dengan calon mana pun," tegas Ma'ruf saat dimintai tanggapan atas keberatan Ahok dalam sidang. (bbs, dtc, kom, rol, ral, sis)