JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi salah satu poin krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang tengah bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Sejumlah fraksi mengusulkan agar angka presidential threshold diubah menjadi 0 persen. Dengan begitu, semua partai peserta pemilu 2019 berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.
Adapun usulan pemerintah dalam draf RUU Pemilu, presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya. Namun, Reni Suwarso dari Pusat Kajian Pemilu dan Parpol Universitas Indonesia (UI), menilai jika situasi justru akan menjadi kacau jika nantinya semua parpol mengajukan capres."Lebih banyak pilihan, betul. Tapi pada saat yang sama lebih kacau. Karena lebih fragmented (terfragmentasi)," ujar Reni dalam Program Satu Meja di salah satu televisi swasta, Senin (23/1) malam.
].
Menurut dia, dalam pengalaman pemilihan presiden di negara-negara lain, belum pernah ada jumlah capres yang maju sama dengan jumlah parpol peserta pemilu. Bahkan, di atas tiga pasangan calon pun tak ada. Dua hal, menurut Reni, yang perlu diperhatikan. Pertama, terkait efektivitas kinerja negara. Reni menilai, kondisi pemerintahan nantinya akan menjadi tidak efektif dan program pembangunan tidak berjalan sesuai ekspektasi. Sebab, nantinya akan banyak parpol yang berseberangan atau berada di posisi oposisi dengan pemerintahan terpilih.
Pada akhirnya, alih-alih bergerak menuju cita-cita bangsa, negara justru malah berjalan mundur."Misalnya program-program pemerintah kurang jalan karena tidak didukung oleh parlemen. Seorang kepala negara kalau tidak didukung parpol yang cukup banyak atau yang bertentangan banyak, itu menyebabkan inisiatif eksekutif tidak cepat bergerak karena butuh proses," tuturnya. Selain itu, jika banyak calon muncul maka konflik akan rawan terjadi. Padahal dalam pencalonan presiden, Reni menilai, idealnya pembicaraan ada pada tingkat internal partai."Sekarang konflik ada di luar, kita dorong ada di dalam partai. Jadi kita membiasakan diri ketika punya perbedaan pendapat itu (perdebatannya) ada di internal," ucap dia.