Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 akan digelar serentak di 101 daerah, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Pilkada tersebut akan memperebutkan sebanyak 7 kursi gubernur dan wakil gubernur, 76 kursi bupati dan kursi bupati, serta 18 kursi walikota dan wakil walikota. Di antara tujuh provinsi yang menggelar hajatan Pilkada 2017 tersebut, termasuk pula ibukota negara, yakni Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Sebanyak tiga calon pasangan gubernur dan wakil gubernur yang akan bertarung di Pilkada DKI Jakarta.
Sebagai etalase negara Indonesia, hajatan Pilkada 2017 di Provinsi DKI Jakarta adalah yang paling banyak menyedot perhatian publik. Pemberitaan untuk ketiga calon pasangan gubernur dan wakil gubernur ini pun mendominasi semua corong dan jalur pemberitaan lini masa yang tersedia. Semua gerak-gerik, jadwal keseharian, dan strategi kampanye mereka pun diulas dan dibahas setiap hari. Alhasil, kita kadang lupa, kalau masih ada 100 daerah diluar DKI Jakarta yang juga punya agenda Pilkada 2017 serupa.
Masifnya pemberitaan Pilkada 2017 di DKI Jakarta tentu tidak lepas dari kepedulian masyarakat Indonesia itu sendiri. Sebagai ibukota negara juga pusat pemerintahan dan pusat ekonomi, masyarakat tentu menaruh harapan besar pada pemimpin DKI Jakarta yang terpilih. Bagi masyarakat, pemberitaan yang terbuka ini seyogianya menjadi ajang pertarungan visi, misi, ide, dan gagasan dari ketiga pasangan calon yang semuanya sudah berkelas kaliber nasional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya atau harga yang harus dikeluarkan untuk memperoleh jabatan kepala daerah sangatlah besar. Semakin tinggi posisi kepala daerah yang menjadi sasaran, semakin besar pula biaya yang dikeluarkan. Ada yang menyebut angka belasan milyar hingga ratusan milyar. Syukur-syukur bila pasangan calon tersebut sanggup membiayai sendiri pengeluaran sebesar itu. Bila tidak, besar kemungkinan terjadinya aksi barter kepentingan ketika akhirnya menjabat. Biaya yang sedemikian besar itu pula yang kerap kali dituding sebagai asal muasalnya terjadi korupsi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya sudah mengatur dengan jelas terkait batasan besaran sumbangan dana kampanye baik perorangan maupun badan usaha swasta. Begitu pula dengan batasan maksimal dana kampanye pasangan calon yang boleh dihabiskan. Untuk Pilkada 2017 di DKI Jakarta misalnya, sumbangan dana kampanye ditentukan maksimal sebesar 75 juta untuk perorangan dan 750 juta untuk badan usaha swasta. Selain itu, ditentukan pula setiap pasangan calon wajib melaporkan dana kampanye ke KPU DKI Jakarta (KPUD) selama 3 kali. Lebih jauh, selama berkegiatan ketika kampanye, masing-masing pasangan calon tidak boleh menghabiskan uang lebih dari 203 miliar rupiah.
Marilah kita intip bersama Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye yang dirilis KPU DKI JAKARTA tertanggal 20 Desember 2016 yang bisa diunduh di kpujakarta.go.id.
Pasangan nomor urut 1, yakni Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni melaporkan sumbangan dana kampanye sebesar 9,147 milyar rupiah. Rinciannya, sumbangan perorangan sebesar 4,442 miliar, sumbangan perusahaan sebesar 1,5 milyar, sumbangan gabungan parpol pendukung sebesar 3 miliar, sumbangan kelompok sebesar 175 juta, dan sumbangan pribadi pasangan calon sebesar 30 juta. Adapun rincian pengeluaran pasangan nomor urut 1 ini belum dipublikasikan.
Pasangan nomor urut 2, yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat melaporkan sumbangan dana kampanye sebesar 48 milyar rupiah. Rinciannya, sumbangan perseorangan sebesar 18,5 milyar, sumbangan perusahaan sebesar 4,752 miliar, sumbangan gabungan parpol pendukung sebesar 208 juta, sumbangan yang berkas formulir data penyumbangnya yang belum lengkap sebesar 24,7 miliar, dan sumbangan pribadi pasangan calon sebesar 1 juta. Adapun rincian pengeluaran pasangan nomor urut 2 ini sebesar 5,98 miliar rupiah.
Pasangan nomor urut 3, yakni Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno melaporkan sumbangan dana kampanye sebesar 35,6 milyar rupiah. Rinciannya, sumbangan gabungan parpol sebesar 1,1 miliar dan sumbangan pribadi pasangan calon sebesar 34,5 milyar. Belum ada sumbangan perseorangan, kelompok ataupun perusahaan yang dilaporkan. Adapun rincian pengeluaran pasangan nomor urut 1 ini belum dilaporkan.
Ada beberapa fakta menarik bila mencermati laporan penerimaan sumbangan setiap pasangan calon diatas. Pertama, hampir semua pasangan calon melaporkan sumbangan perorangan yang cukup besar, kecuali pasangan nomor urut 3. Sumbangan perorangan pada pasangan nomor urut 1 mendominasi hampir setengah dari total sumbangan. Begitu pula dengan nomor 2, bila sumbangan yang berkas formulirnya belum lengkap dikesampingkan dulu, maka sumbangan perseorangan juga mendominasi sekitar 39 persen dari total sumbangan.
Kedua, sumbangan pribadi pasangan calon juga sangat kecil bila dibandingkan dengan total sumbangan dana kampanye yang telah diterima dan dilaporkan. Kembali, pengecualian harus diberikan kepada pasangan nomor urut 3. Terakhir, jumlah sumbangan pasangan nomor urut 1 yang dilaporkan paling sedikit dibandingkan para pesaingnya bahkan dibawah 20 persen dari pasangan nomor urut 2 yang terbesar.
Lewat gambaran laporan penerimaan sumbangan dana kampanye ini kita patut berbesar hati. Bagaimana tidak, nyatanya uang pribadi yang dikeluarkan untuk mencalonkan diri tidaklah besar-besar amat. Terlebih pula, ada suntikan semangat gotong royong dari gabungan parpol dan sumbangan rakyat yang cukup besar dalam penggalangan dana (Crowdfunding). Khusus sum-bangan perorangan ini, ada pihak pasangan calon yang mengklaim mendapat sumbangan masyarakat dari ujung Aceh hingga Papua.
Semangat gotong royong crowdfunding dalam konteks Pilkada 2017 di DKI Jakarta ini bolehlah dinilai sebagai bentuk kepedulian masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam mencari pemimpin yang terbaik. Bahkan crowdfunding ini bisa jadi sebuah alternatif untuk memunculkan seorang calon pemimpin terbaik di setiap daerah di Indonesia. Terinspirasi oleh model kampanye Obama pada 2008, crowdfunding berupa Gala Dinner yang telah dilaksanakan beberapa kali oleh pasangan calon urut 2 juga merupakan salah satu contoh terbaik dalam kisah ini. Mereka mengklaim bisa memperoleh tambahan dana kampanye paling tidak 500 juta rupiah sekali acara. Fantastis!
Penutup
Kisah crowdfunding di Pilkada 2017 DKI Jakarta tentulah tidak serta merta terjadi. Setiap pasa-ngan calon yang dimunculkan memang adalah tokoh yang sudah populer atau sudah dikenal masyarakat. Selain populer, setiap pasangan calon juga dikenal mumpuni di bidangnya, bersih, dan mau mengabdi. Sifat-sifat baik inilah yang rasa-rasanya menjadi prasyarat besarnya elektabilitas dan partisipasi rakyat.
Berangkat dari Pilkada 2017 di DKI Jakarta sebagai contoh, besar harapan kita bahwa di Pilkada-Pilkada berikutnya akan muncul semangat serupa atau bahkan lebih baik. Bukankah partisipasi aktif dan kepedulian masyarakat adalah esensi utama dari nilai demokrasi itu sendiri. Tentu bukan sebuah kebanggaan jika pemenang Pilkada lahir dari besarnya apatisme masyarakat dan kecilnya partisipasi masyarakat.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial.