Awal tahun 2017 terjadi lonjakan kenaikan sejumlah pelayanan publik akibat kebijakan baru pemerintah, diantaranya naiknya harga BBM, biaya administrasi untuk pengurusan STNK, BPKB, dan Tarif Dasar Listrik. Keputusan ini mendapat respon beragam dari masyarakat. Bahkan sejumlah aksi unjuk rasa digelar mahasiswa yang mengatasnamakan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI).
Mereka mendesak agar pemerintah mengevaluasi kebijakan yang ditempuh dengan menimbang kondisi masyarakat saat ini. Hal ini wajar mengingat mahasiswa merupakan kekuatan kritis yang penting bagi demokrasi dan menjadi corong suara masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya. Namun demikian, tentu saja bagi siapapun yang memberi tanggapan terhadap kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah perlu untuk terbuka dan memahami secara utuh latarbelakang dan substansi kebijakan yang diputuskan. Hal ini penting agar tidak timbul persepsi yang keliru sehingga justru kontraproduktif bagi kepentingan masyarakat luas.
Meluruskan Pemahaman
Keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM non subsidi ini cukup beralasan mengingat lonjakan harga minyak dunia. Direktur Eksekutif Refor Miner, Komaidi Notonegoro dalam Diskusi Energi Kita di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, 15 Januari 2017, menyatakan harga minyak dunia tahun 2017 ini akan lebih tinggi dibanding 2016. Pada awal 2015, harga minyak turun ke level US$ 44 per barel. Penurunan harga minyak terendah terjadi pada Februari 2016, yakni mencapai US$ 26,2 per barel. Sedangkan tahun 2017 ini harga minyak kembali naik sekitar US$ 50-55 per barrel dan karenanya Pertamina perlu melakukan penyesuaian kembali. Menurutnya, pemerintah dihadapkan pada dua opsi pilihan, yaitu menaikkan harga bahan bakar minyak atau membiarkan neraca keuangan PT Pertamina (Persero) tergerus.
Pemerintah akhirnya mengambil langkah menyesuaikan dengan fluktuasi harga minyak dunia. Merujuk SK Direktur Pemasaran PT Pertamina Nomor Kpts-002/F00000/2017-S3 dan 003/F00000/2017-S3 tanggal 4 Januari 2017, harga baru BBM yang telah disesuaikan untuk periode Januari-Maret 2017 berlaku efektif sejak pukul 00.00 tanggal 5 Januari 2017. Harga BBM non subsidi ditetapkan naik Rp. 300, Pertamax menjadi Rp. 8.050/ liter dari semula Rp7.750/liter, Pertalite menjadi Rp.7.350/liter dari sebelumnya Rp.7.050/liter. Pertamina Dex menjadi Rp. 8.400 per liter untuk wilayah DKI Jakarta, Banten, danJawa Barat, serta Rp. 8.500 per liter untuk DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan Dexlite yang menjadi pilihan baru untuk produk diesel ditetapkan menjadi Rp7.200 per liter untuk Jawa-Bali-Nusa Tenggara.
Kenaikan harga BBM memang bukan keputusan populis, pengalaman menunjukan selalu ada opini kritis dari masyarakat karena kekhawatiran dari dampak domino yang biasanya diikuti lonjakan harga Sembako. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pemahaman yang tidak utuh terhadap kebijakan pemerintah. Perlu diluruskan bahwa yang naik hanya BBM non subsidi, sedangkan jenis BBM khusus penugasan harganya tetap, untuk premium sebesar Rp.6.450/liter, solar bersubsi ditetap Rp.5.150/ liter, dan minyak tanah Rp.2.500/ liter. Hal ini menunjukan bahwa tanggungjawab pemerintah melalui subsidi bagi BBM yang dikonsumsi bagi masyarakat kurang mampu tetap menjadi pertimbangan prioritas pemerintah. Kenaikan harga BBM non subsidi ini tidak hanya menghindarkan kerugian negara, tetapi juga memberi kesempatan pada negara untuk tetap memiliki sumber pendapatan dari industri Migas guna membiayai pembangunan, termasuk subsidi bagi yang kurang mampu.
Salah pemahaman juga terjadi dengan pencabutan subsidi pelanggan 900 va yang berdampak pada pengenaan tarif dasar listrik yang normal. Hal ini dikesankan bahwa harga Tarif Dasar Listrik naik sehingga akan membebani masyarakat. Menurut penjelasan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN), Sofyan Basir, selama ini pelanggan 900 va hanya membayar Rp. 585/kilowatt jam (kWh), kurang dari separuh tarif normal yang berlaku, yakni Rp. 1.352/kWh. Karena itu, dengan dicabutnya subsidi 900 va, maka pelanggan akan membayar dengan tarif normal dan negara memperoleh kesempatan meningkatkan pendapatannya. Meski demikian, pemerintah tetap berkomitmen untuk memberikan subsidi untuk sebagian pelanggan 900 va dan 450 va sebagai tanggungjawab publik terhadap rumah tangga kurang mampu. Dengan pemberlakuan tarif normal bagi pelanggan 900 va, maka pemerintah memiliki kesempatan untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur listrik bagi 12.000 desa yang hingga saat ini belum tersentuh oleh listrik.
Fakta bahwa pemerintah telah menurunkan 12 golongan tarif tenaga listrik yang mengikuti mekanisme tariff adjustment (TA) pada Januari 2017 justru tidak diketahui oleh publik. Penurunan tarif dilakukan karena menurunnya harga Indonesian Crude Price (ICP) dan biaya pokok produksi (BPP) walaupun nilai tukar rupiah mengalami pelemahan. Pemerintah menetapkan bahwa tarif listrik pada Januari di tegangan rendah (TR) menjadi Rp. 1.467,28/kWh, tarif listrik di tegangan menengah (TM) menjadi Rp. 1.114,74/kWh, tarif listrik di tegangan tinggi (TT) menjadi Rp. 996,74/kWh, dan tarif listrik di layanan khusus menjadi Rp. 1.644,52/kWh. Dengan demikian, sejak Januari 2017 telah terjadinya penurunan tarif rata-rata sebesar Rp. 6,-untuk 12 golongan tarif tenaga listrik.
Kebijakan lain yang juga menimbulkan reaksi publik adalah naiknya biaya pengurusan STNK dan BPKB. Pada awalnya berkembang persepsi yang keliru bahwa seolah-olah pemerintah menaikan pajak hingga 300% bagi kendaraan bermotor. Hal ini telah memicu antrian panjang di berbagai kantor Samsat karena warga ingin melunasi pajak kendaraannya sebelum kebijakan tersebut diberlakukan. Kenaikan sesungguhnya adalah biaya administrasi bagi pengurusan STNK dan BPKB yang memang harus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan yang ada. Kenaikan tarif tersebut diteken oleh Presiden Jokowi pada 2 Desember 2016, dan berlaku mulai 6 Januari 2017 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian.
Menurut Boy Rafli Amar, Kadiv Humas Mabes Polri, pemerintah telah menetapkan target PNBP di lingkungan Polri naik sekitar Rp 2 triliun, dari realisasi 2016 Rp. 5,37 triliun menjadi Rp. 7,406 triliun pada tahun 2017 setelah PP 60 tahun 2016 diberlakukan. Kenaikan ini dimaksudkan guna meningkat pendapatan negara dari sektor PNBP juga guna menutupi harga material yang meningkat, kenaikan tarif itu juga bertujuan meningkatkan pelayanan sistem online untuk pembuatan SIM, STNK, dan BPKB, serta insentif bagi petugas sebagai upaya meminimalisasi praktik pungutan liar dan korupsi di sektor pelayanan publik Polri.
Munculnya berbagai salah pemahaman terkait kebijakan pemerintah juga harus menjadi pembelajaran bahwa selama ini sosialisasi dan komunikasi politik, komunikasi sosial dan komunikasi massa belum dimaksimalkan untuk mendukung suksesnya kebijakan tersebut. Ke depan, pemangku kepentingan di bidang kehumasan diseluruh K/L termasuk jajaran Kominfo di K/L perlu lebih mengeratkan kerjasama lagi dalam menyukseskan apapun kebijakan pemerintah.
Langkah Tidak Populis Tapi Rasional
Jika hanya mempertimbangkan aspek politik dari gebrakan pemerintah dengan tiga kebijakan publik sekaligus yang berkonsekuensi terhadap meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat dalam menikmati layanan publik, maka sebetulnya kebijakan tersebut terkesan tidak populis dan dapat menjadi bumerang bagi dukungan pemerintahan. Kebijakan tersebut dapat diperlintir sedemikian rupa oleh kelompok tertentu guna mendelegitimasi pemerintahan seolah bahwa pemerintah tidak peka terhadap kondisi masyarakat dan mencari jalan yang instan guna meningkatkan pendapatan negara. Hal ini potensial terjadi karena seperti halnya dua sisi dari sekeping mata uang, selalu ada pro-kontra dalam kebijakan publik. Apalagi jika kelompok kritis tersebut tidak memahami secara utuh substansi dari kebijakan pemerintah tersebut.
Keputusan pemerintah baik dalam hal naiknya harga BBM nonsubsidi, TDL maupun layanan STNK dan BPKB merupakan keputusan rasional yang perlu disikapi secara positif. Keberanian pemerintahan Jokowi untuk mengambil kebijakan yang tidak populis ini patut diapresiasi. Selain keputusan ini dapat menjadi sumber peningkatan pendapatan negara yang penting bagi pembiayaan pembangunan yang sedang digalakan oleh pemerintah, langkah tersebut juga menjadi terobosan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor. Pemerataan akses infrastruktur pembangunan seperti jaringan listrik, transportasi dan energi menjadi semakin nyata untuk dapat diwujudkan. Karena itulah, perlu pemahaman yang utuh dari seluruh masyarakat dan sinergi dengan para pemangku kebijakan pemerintahan. Kebijakan yang tidak populis ini harus dipandang sebagai pil pahit yang membawa kesehatan bagi bangsa dan negara, sekaligus pembelajaran bagi semua untuk saling mengingatkan bagaimana pentingnya ketahanan energi bagi eksistensi bangsa ini di masa depan.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia dan salah satu pendiri Center of Risk and Strategic Intelligence Assessment (Cersia). Tinggal di Jakarta.