DAPAT dipastikan bahwa, penerimaan pajak tahun ini (2016) akan meleset dari target. Sederhananya, target penerimaan pajak sebesar Rp 1.355,2 triliun, tidak akan tercapai. Lihat saja, realisasi penerimaan pajak Januari sampai November 2016 ini, baru mencapai Rp 965 triliun atau sekitar 71 persen saja. Jika ditambah dengan asumsi kekurangan penerimaan pajak (shortfall) sebesar Rp 218 triliun, maka perkiraannya DJP mesti berhasil memungut pajak sekurang-kurangnya Rp 175,2 triliun, sehingga target minimal pencapaian pada akhir tahun sebesar 84 persen dapat dipenuhi.
Kendati pun demikian, optimisme untuk menggenjot penerimaan pajak pada akhir tahun, demi memenuhi target masih terbuka lebar, walaupun rentang waktu yang dimiliki DJP hanya tinggal menghitung hari. Lihat saja, berdasarkan tren penerimaan pajak secara month to month, penerimaan pajak di November (Rp 93,8 triliun) lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya mencapai Rp 78,5 triliun. Apalagi, pada akhir tahun, stimulus yang diberikan oleh perayaan natal dan tahun baru, yang artinya konsumsi masyarakat akan lebih terdorong, akan berdampak kepada penerimaan pajak. Hal tersebut juga didorong oleh kebiasaan Pemerintah untuk belanja pada akhir tahun, walaupun belanja Pemerintah yang begitu getol diakhir tahun biasanya hanya sekedar mengejar spending belaka, dengan dalih terjadinya peningkatan penyerapan anggaran.
Selain mengejar target penerimaan pajak, DJP juga dituntut bekerja lebih keras dua kali lipat. Pasalnya, periode kedua (1 Oktober - 31 Desember 2016) program Amnesti Pajak (Tax Amnesti) sama sekali tak menunjukkan gairah. Berdasarkan data yang dihimpun DJP hingga kamis (8/12/2016), pukul 17.31 WIB, terpantau penerimaan dari program Amnesti Pajak mendekati Rp3.992 triliun.
Dari angka tersebut, nilai deklarasi dalam negeri mendominasi peraihan dengan Rp 2.861 triliun, sedangkan nilai repatriasi harta mencapai Rp 144 triliun atau sekitar 14,4% dari target Rp 1.000 triliun. Dengan merujuk pada data statistik amnesti pajak yang dilangsir laman resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, harta yang dilaporkan itu mayoritas bersumber dari deklarasi harta bersih dalam negeri (71,67%) yakni Rp 2.861 triliun, diikuti oleh deklarasi harta bersih luar negeri (24,72%) yakni Rp 987 triliun, dan repatriasi aset dari luar negeri (3,61%) Rp 144 triliun.
Pencapaian ini tentu belum dapat dikatakan memuaskan karena, masih terbilang jauh dari target yang ingin dicapai, dimana target yang dipasang dalam program Amnesti Pajak ini yakni Rp 4.000 triliun untuk deklarasi, Rp 1.000 untuk repatriasi, dan Rp 165 triliun untuk uang tebusan. Tentu, pencapaian periode dua sangat jauh dari pencapaian periode sebelumnya, yang ditutup dengan Rp 950 triliun untuk deklarasi luar negeri, Rp 2.518 triliun untuk deklarasi dalam negeri, dan Rp 136 triliun untuk repatriasi. Pencapaian ini sangat tidak bergairah, terutama pada aliran dana yang masuk dari luar seperti deklarasi luar negeri dan repatriasi. Lihat saja, untuk deklarasi luar negeri hanya bertambah dengan kisaran Rp. 32 triliunan atau berkisar 3,3 % saja. Sedangkan repatriasi hanya bergerak Rp. 6 triliun lebih atau ber-kisar 4,4 % saja.
Secara keseluruhan, berdasarkan data WP yang mengikuti program amnesti pajak tiap daerah, yakni, dari 2.068.747 WP terdaftar di DKI Jakarta yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT), hanya 155.295 WP atau berkisar 7,4 persen saja. Sementara itu untuk kawasan Jawa (tidak termasuk DKI Jakarta), partisipasi WP baru mencapai 179.406 atau berkisar 1,9 persen. Untuk Sumatera, pengampun pajak yang telah mengikuti mencapai 83.652 WP atau berkisar 2,2 persen.
Kalimatan, sebesar 23.144 WP atau berkisar 1,8 persen. Sulawesi, mencapai 17.467 WP atau berkisar 1,1 persen. Sedangkan untuk Bali, Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, partisipasi program Amnesti pajak baru mencapai 23.955 WP atau berkisar 1,9 persen.
Jika diakumulasikan jumlah WP di Indonesia yang lebih dari 20 juta orang, maka WP yang mengikuti program Amnesti pajak terbilang sangat sedikit, yakni baru mencapai pada kisaran 481 ribu WP atau sekitar 2,5 persen saja. Apabila benar apa yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa, ma-sih ada sekitar Rp 11 ribu triliun uang wajib pajak yang belum dilaporkan, maka benar jika selama ini, minimnya kesadaran untuk membayar pajak masih sangat rendah.
Kesadaran Atas Pajak
Tidak dapat dipungkiri bahwa, minimnya kesadaran membayar pajak masih menjadi salah satu pe-nyebab target demi target penerimaan pajak sulit untuk tercapai. Kegagalan Pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak tahun lalu (Rp1.294,3), dengan kenyataan bahwa Pemerintah hanya mampu mengumpulkan 81,5 persen, atau sebesar Rp1.055 triliun, harus menjadi motivasi agar target kali ini tidak melesat. Jika meleset, walhasil, Pemerintah nantinya harus lagi-lagi melakukan rasionalisasi anggaran, penundaan transfer ke daerah, atau pun terus berhutang agar defisit anggaran tidak semakin melebar.
Beberapa opsi tersebut dinilai sangat tepat, namun dampaknya tentu juga tidak sedikit. Misal, opsi penundaan transfer ke daerah, akhirnya membuat banyak proyek pembangunan di daerah malah mangkrak. Semua itu jelas, dikarenakan banyak daerah yang masih ketergantungan terhadap dana transfer pusat.
Benar apa yang dikatakan Presiden Jokowi pada sosialisasi program Amnesti pajak di Nusa Dua, Bali silam (8/12) bahwa, apabila progam Amnesti pajak sukses, bisa jadi Pemerintah tak perlu pinjam uang untuk menambal defisit anggaran.
Namun apakah masyarakat adalah satu-satunya tersangka dalam kasus lesunya penerimaan pajak? Tentu tidak. Bisa jadi banyak hal yang menyebabkan kecendrungan masyarakat untuk enggan membayar pajak.
Dalam hal ini, kita harus mencermatinya secara objektif, baik dari sisi Pemerintah sendiri maupun masyarakat. Untuk Pemerintah, enggannya masyarakat membayar pajak disebabkan oleh prilaku Pemerintah yang kurang bersahabat.
Pertama, banyaknya kasus korupsi Pemerintah yang membuat masyarakat tidak menaruh respect. Lihat saja, belum lama ini, DJP sebagai pemungut pajak tersandung kasus yang menjerat Handang Soekarno terkait suap 1,9 miliar pada Senin (21/11) lalu. Belum lagi, masalah pelayanan publik yang sampai seka-rang masih terbilang sangat buruk, terutama bagi para pelayan publik di daerah. Beratnya ongkos belanja pegawai di banyak daerah, nyatanya tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik.
Akibat prilaku Pemerintah yang kerap keluar dari koridor, akhrinya membuat banyak masyarakat enggan bayar pajak, atau pun kerap tidak jujur ketika membayar pajak dengan menyalahgunakan penerapan sistem self assessment.
Fenomena tersebut sesungguhnya merupakan salah satu motivasi untuk melaksanakan program Amnesti Pajak. Maka dari pada itu, program Amnesti Pajak dapat diartikan sebagai program Pemerintah untuk meminta maaf kepada para wajib pajak dengan mengampuni segala pelanggaran pajaknya, lalu berbenah diri. Sedangkan bagi masyarakat, program ini merupakan jalan untuk kembali menjadi wajib pajak yang taat.
Semua elemen harus sadar bahwa, pajak merupakan bagian teramat penting bagi keberlangsungan roda Pemerintahan. Dalam komposisi anggaran Negara, pajak selalu menjadi penyumbang terbesar, yakni berkisar 70-85 persen setiap tahunnya. Pasalnya, untuk sektor migas, penerimaan Negara sangat minim dan tidak dapat diprediksi akurat, salah satu penyebabnya, karena harga minyak dunia selalu terguncang.
Oleh karena itu, pajak begitu penting. Maka dari pada itu pula, sangat penting untuk menjadi wajib pajak yang taat. Itulah upaya sederhana yang dapat kita lakukan untuk terus menggenjot penerimaan pajak. ***
Penulis adalah Peneliti Economic Action (EconAct) Indonesia