Waktunya masih dua tahun lagi, tetapi pemanasan politik tampaknya sudah dimulai untuk pileg dan pilpres 2019. Partai Gerindra sudah terang-terangan meminta Prabowo Subianto untuk kembali maju dalam pemilihan presiden. Sementara itu Jokowi sudah terlebih dahulu dilamar Partai Golkar walaupun diakui manuver itu lebih banyak ditujukan untuk kembali mendongkrak dukungan dan perolehan suara partai berlambang beringin tersebut.
Hal itu wajar karena memang begitulah politik. Pemanasan politik juga terlihat pada pilkada DKI Jakarta. Tiga poros politik besar yang bersaing hebat menggambarkan prospek rivalitas politik 2019. Poros Megawati Soekarnoputri bersaing dengan poros Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
PDIP didukung setidaknya oleh dua partai nasionalis, yakni Partai Golkar dan Nasdem. Di kubu yang lain Partai Gerindra masih tetap bersama PKS. Sedangkan Partai Demokrat didukung PAN. Muncul spekulasi tentang konfigurasi koalisi pada pilpres. Pidato politik Megawati pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-44 PDI Perjuangan dinilai cukup keras dalam merespons perkembangan politik dewasa ini.
Ketua Umum PDIP itu dengan tegas akan membela pemerintahan yang terpilih secara demokratis dari pihak-pihak yang akan mengganggu. Juga diingatkan adanya kelompok-kelompok yang berusaha memaksakan kehendak dan cenderung mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Mega mengajak the silent majority untuk tak tinggal diam. Tentu banyak yang akan menafsirkan bahwa pidato politik itu juga memanfaatkan momentum, walaupun memang diakui waktunya sangat tepat. Seperti diketahui, kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah memicu munculnya aspirasi dari kalangan umat Islam yang pada akhirnya mempunyai dimensi politik, karena seakan-akan berhadapan dengan pemerintah.
Padahal semua haruslah menghormati proses hukum. Harus diakui banyak kekuatan politik yang memanfaatkan momentum itu, walaupun risikonya besar kalau kita tidak berhati-hati dalam mengelola isu SARA. Dari satu sisi dinamika itu wajar dan menghangatnya suhu politik pun tidak bisa dihindari ketika isu makar pun merebak sampai ada tindakan represif aparat kepolisian. Namun menjadi tidak produktif kalau sampai memicu konflik horisontal dan memicu perpecahan. Berpolitik harus tetap berada pada koridor hukum dan demokrasi. Kita perlu merawat dan menjaga esensi serta hakikat demokrasi. Juga perlu ada kesantunan dan etika dalam berpolitik.
Betapapun politik adalah kompetisi dan kompetisi itu sangat ketat. Namun ada yang lebih penting, yakni menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibarat sebuah bangunan, maka konstitusi, demokrasi, dan hukum adalah pilar-pilar penopangnya. Tak boleh melangkah mundur dalam berdemokrasi, bahkan sebaliknya haruslah bertambah dewasa dan matang.