JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Tersangka dugaan makar Rachmawati Soekarnoputri menemui Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Kompleks DPR RI di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/1). Rachmawati didampingi Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dan kuasa hukum para terduga makar laiannya.
Dalam pertemuan tersebut, putri Presiden RI pertama Soekarno itu menyampaikan keluhan (curhat) soal penangkapan dan penetapan dirinya sebagai tersangka dugaan makar oleh pihak kepolisian tanggal 2 Desember 2016 lalu.
"Kami mau ke MPR menyerahkan petisi, mana persinggungannya? Kalau makar kami akan kepung Istana, tapi kami ke sini, yang katanya rumah rakyat," ucap Rachmawati sembari terisak yang tak kuasa menahan tangisnya.
Adik kandung Megawati Soekarnoputri itu, menilai penangkapan dirinya memang sudah direncanakan. Bahkan, menurut dia, justru hal inilah yang bisa memecah belah bangsa Indonesia.
"Saya sudah melihat ini by design. Ini yang digembor-gemborkan persatuan dan kesatuan mau dipecah-belah, baik dari golongan nasionalis dan golongan agama. Saya tahu kelompok agama dibilang kelompok radikalis, golongan nasionalis dibilang makar," ujarnya.
Karena itu, Rachmawati meminta kepada pimpinan DPR, agar kasus ini tidak berlanjut. Ia meminta dikeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan makar tersebut.
"Untuk tidak berlarut-larutnya perkara ini supaya segera di-SP3-kan. Ini jalan terbaik, sebaiknya melakukan rembug nasional untuk kepentingan nasional," pinta Rachmawati.
Menanggapi keluhan Rachmawati, Fadli Zon mengatakan bahwa apa yang disampaikan Rachmawati dan para kuasa hukum jelas sekali bukti-bukti masih sangat sumir dan bahkan dalam persoalan diksi, etimologi kata makar saja orang bisa berbeda interpretasi.
“Masa orang berniat bisa dikatakan makar. Saya kira apa yang disampaikan Ibu Rachmawati tadi disampaikan oleh hati beliau apa yang terjadi di peristiwa tahun 1965 dan sebagainya, dimana ada kekerasan fisik, senjata, itu jelas makar. Disini senjatanya mana, tidak ada senjata, ini penyampaian aspirasi bahkan penyampaian aspirasinya ke tempat yang tepat yaitu ke MPR, ke DPR sebagai rumah rakyat yang dijamin konstitusi,” jelasnya.
Ditegaskan Fadli, konstitusi ditetapkan 18 Agustus 1945 atau perubahannya, menjamin hak untuk berbicara, hak untuk berkumpul, hak untuk berserikat, dan hak untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Dengan alasan itulah, Fadli Zon berpendapat bahwa tidak ada terpenuhi unsur makar pada kasus dugaan makar terhadap Rachmawati dan kawan-kawan yang ditangkap menjelang aksi damai tanggal 1 Desember 2016 lalu.
“Saya berpendapat, tidak ada terpenuhi unsur makar di situ dan ini pasal yang seharusnya betul-betul dibuat dengan hati-hati dan harus juga diperhatikan dengan hati-hati tidak sembarangan. Kalau tidak ini akan membuat demokrasi kita terancam, karena negara kita bukan negara polistate”, kata Fadli.
Karena itu, dia berjanji akan minta Presiden Jokowi, Kapolri dan Kapolda untuk menutup perkara ini dugaan makar tersebut atau di SP3-kan.
“Saya kira ini harus ada satu langkah, perkara ini ditutup. Permintaan dari pada bapak-bapak dan ibu-ibu akan segera kami sampaikan kepada Presiden dan juga kepada Kapolri, Kapolda agar masalah ini tidak berlarut-larut dan energi kita sebagai bangsa juga tidak tersedot oleh perkara yang sebetulnya omong kosong, kalau tidak ada bukti-bukti yang kuat,” kata Fadli Zon.
Fadli Zon yang turut didampingi anggota Komisi III Supratman Andi Agtas dan Wenny Warrouw, meminta data ataupun petisi-petisi yang lengkap sebagai bahan untuk mendalami adanya dugaan melanggar hukum.
“Karena ini kami baru mendengar dari sepihak dimana proses interogasinya seperti sebuah dagelan. Dan saya kira itu menunjukkan ketidakprofesionalan, dan kita tidak ingin ada polisi yang tidak professional,” tukasnya.
Apakah kemudian ada unsur pelanggaran hak asasi manusia termasuk didalam hal ini penahanan tanpa proses BAP, lanjut Fadli, dan kalau benar tadi apa yang disampaikan pengacara dalam kasus Sri Bintang Pamungkas, Zamran dan Ruslan.
Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan yaitu tentang proses yang begitu cepat, tidak ada suatu kehati-hatian. Dalam kesempatan itu, Fadli menyayangkan, kenapa tidak ada satu gelar perkara yang terbuka, yang transparan terhadap kasus dilakukan Ahok, dalam hal ini polisi sangat hati-hati mengistimewakan Saudara Ahok untuk menjadikan dia kemudian tersangka.
Tetapi tidak dalam kasus ini, begitu cepat, tiba-tiba dan ada semacam satu ketergesaan yang bisa membuat tindakan itu tidak profesional bahkan bisa dianggap abuse of power atau melanggar hukum itu sendiri. Dan semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum.
Seperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 11 aktivis dan tokoh nasional ditangkap hampir bersamaan di lokasi berbeda, pada Jumat pagi, 2 Desember 2016, atau sesaat sebelum aksi damai 212 di Monas digelar. Beberapa aktivis dan tokoh nasional itu diduga akan melakukan upaya makar dengan memanfaatkan massa aksi 212.
Setelah menjalani pemeriksaan intensif di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dugaan makar dan permufaktan jahat berdasarkan Pasal 107 Jo 110 Jo 87 KUHP. Mereka yakni Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvin Indra, dan Rachmawati Soekarnoputri. Namun tujuh orang ini tak ditahan.
Sementara, tiga aktivis lainnya, yakni Sri Bintang Pamungkas, Jamran, dan Rizal Kobar dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 107 juncto Pasal 110 KUHP tentang Makar dan Permufakatan Jahat. Ketiganya masih ditahan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya.
Terakhir, musikus Ahmad Dhani yang turut ditangkap pada 2 Desember 2016, tak dijerat dengan pasal makar. Pentolan grup band legendaris Dewa 19 itu ditetapkan sebagai tersangka dugaan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo, sesuai Pasal 207 KUHP. Dhani juga tidak ditahan setelah 24 jam diperiksa di Mako Brimob.
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 11 Januari 2017
Reporter: Syafril Amir
Editor: Nandra F Piliang