PEKANBARU (riaumandiri.co)-Tercatat sepanjang 2016, Riau mengalami inflasi dengan share 4 plus 1 persen. Kondisi ini tentunya cukup mengkhawatirkan bagi pertumbuhan ekonomi Riau kedepan. Apalagi dari jumlah inflasi tersebut, share inflasi pangan menjadi penyumbang terbesar dengan angka 9 persen.
Demikian diungkapkan Kepala Bank Indonesia Perwakilan Riau, Ismet Inono kepada Haluan Riau, Senin (9/1) di kantornya.
Menurutnya, angka inflasi Riau disepanjang tahun 2016 masih dipicu karena tingginya harga kebutuhan pokok. Jika dilihat dari waktu ke waktu, kenaikan harga cukup signifikan, ini disebabkan karena tingginya biaya produksi dan kondisi cuaca yang ikut memberikan dampak kurangnya suplay.
"Inflasi tetap menjadi perhatian kita, karena kondisi ini memang tidak memberikan kabar baik bagi pertumbuhan ekonomi. Tingginya angka inflasi ini, masih disumbang oleh komoditi pangan dengan share hampir 9 persen disepanjang 2016," ujar Ismet.
Dijelaskannya, kenaikan harga pangan seperti cabe, daging ayam, daging sapi dan bawang merah masih mendominasi terhadap angka inflasi Riau. Dari kenaikan harga komoditi tersebut, masih terus memberikan share dengan angka terbesar dan tercatat hingga November angka inflasi pangan sudah berada diangka 7,6 persen.
Selain itu, kenaikan harga komoditas lainnya juga turut memberi andil yakni kenaikan tarif listrik dan juga tarif transportasi. Apalagi jelang momen libur, harga transportasi seperti angkutan udara mengalami kenaikan.
Sementara jelang awal tahun, diperkirakan angka inflasi masih rendah seiring dengan masih belum tingginya kebutuhan masyarakat karena masih melakukan penataan baru.
Sementara itu, Ismet juga memastikan kenaikan tarif listrik yang dilakukan oleh pemerintah bagi pengguna daya 900 VA, terhitung awal 2017 dianggap wajar dan tepat. Karena jika melihat momennya, masyarakat masih baru memulai kehidupan di awal tahun dan dampaknya belum begitu terasa, walaupun cukup berdampak pada angka inflasi.
"Tentunya dengan kenaikan tarif ini, pemerintah memiliki tujuan jangka panjang. Seperti penambahan pembiayaan pada pembangunan infrastruktur, yang pastinya akan memakan biaya sangat besar. Apalagi selama ini, tercatat pengguna daya 900 VA mendapatkan subsidi terbesar, sehingga berdampak terhadap defisitnya anggaran," pungkas Ismet.