Hati-hati dengan perilaku di media sosial (medsos). Peringatan ini perlu dicamkan karena pemerintah sudah memberikan warning akan mengambil langkah represif terhadap mereka yang disebut berperilaku menyimpang. Perilaku dimaksud adalah menyebar berita-berita tendensius, fitnah, bohong, menyesatkan, menanamkan kebencian, atau ujaran-ujaran kebencian.
Ancaman tindakan tegas kali ini tampaknya bukan main-main. Tidak kurang Menko Polhukam Wiranto sudah menyampaikan peringatan tersebut dua kali, yakni usai sidang kabinet paripurna yang digelar di Istana Bogor (4/1/2017) dan setelah rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta (29/12/2016). Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki sudah menyampaikan woro-woro serupa (30/12/2016).
Dalam pandangan mereka, medsos kini telah menjadi ajang fitnah, termasuk mendeligitimasi pemerintah. Mereka menyangkal langkah tersebut sebagai bentuk antikritik dan antidemokrasi, tapi sebagai upaya menjadikan medsos di Tanah Air lebih etis, bermartabat, dan tidak merugikan kepentingan nasional.
Dengan demikian, siapa yang melanggar norma seperti mereka maksud, kini tinggal masalah eksekusi saja. Secara hukum sudah diatur Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19/2016. Siapa yang mengeksekusi pun Mabes Polri sudah mempunyai Subdirektorat Cyber Crime yang akan dimekarkan menjadi Direktorat Cyber Crime.
Sekilas, jika melihat latar belakang seperti disampaikan Wiranto dan Teten, kebijakan represif terhadap penyimpangan medsos merupakan hal wajar. Hoax, dalam aneka variannya, memang harus ditertibkan. Masyarakat harus mendapat jaminan kebenaran informasi sehingga mereka tidak disesatkan oleh informasi atau opini bertendensi bohong dan fitnah.
Akan tetapi, apakah benar kebijakan represif tersebut semata ditujukan untuk menertibkan medsos atau tujuan lain? Pertanyaan ini patut kita sampaikan karena muncul nada sumbang dari sejumlah kalangan politisi DPR bahwa langkah tersebut membungkam kritik dan kebebasan berpendapat. Langkah pemerintah tidak lebih dari wujud sikap paranoid akan ancaman kekuasaan.
Pandangan tersebut bisa dipahami jika melihat dinamika politik belakangan ini. Keluarnya ancaman represif tentu merupakan satu paket dari kebijakan politik pemerintah, termasuk di dalamnya tudingan makar yang diiringi sejumlah penangkapan terhadap sejumlah orang terkait dinamika Aksi 411 dan Aksi 212 lalu. Hingga kini ancaman makar seperti itu belum sepenuhnya dipahami publik.
Cap makar juga tidak mempunyai bobot sama sekali jika dibandingkan dengan dinamika politik selama pemerintah KH Abdurrahman Wahid, yang kemudian berujung pada berakhirnya kekuasaan akibat impeacment terhadap tokoh yang akrab disapa Gus Dur itu di tengah jalan. Pun melihat tokoh-tokoh yang ditangkap, yang notabene tidak mempunyai kekuatan yang secara teoretis perlu dikhawatirkan bisa menggerakkan massa untuk makar.
Sebenarnya, sudah jamak terjadi, jika kebijakan pemerintah tidak menguntungkan masyarakat, misalnya, kenaikan bahan bakar minyak, kenaikan biaya penerimaan negara bukan pajak, tentu mengundang banyak kritikan terhadap pemerintah. Namun yang penting, tentu kritikan itu disampaikan dengan baik, beretika dan tidak menanamkan kebencian kepada seseorang.