Apa yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini merupakan bencana besar bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak, lembaga yang didirikan pada masa pemerintahan PDIP ini (Megawati), hari ini mendapatkan serangan yang begitu bertubi-tubi juga pada masa pemerintahan PDIP (Jokowi) dari orang-orang yang anti terhadap pemberantasan korupsi.
Celakanya lagi mereka berlindung dan mengatasnanamakan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Untuk itu, maka KPK harus diselamatkan. Menyelamatkan KPK sama halnya menyelamatkan Indonesia.
Menggunakan pandangan Hukum Tata Negara, cara yang paling elegan untuk meyelamatkan KPK dari orang-orang yang ingin merontokkan pemberantasan korupsi di negeri ini adalah melalui abolisi yang dikeluarkan oleh presiden, bukan dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
Kendatipun banyak ahli hukum berpendapat bahwa andaikata semua pimpinan KPK ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, untuk menyelamatkan KPK, maka presiden mengeluarkan perppu. Bahkan hal itu juga datang dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM). Saya berpendapat, hal itu tidak tepat.
Presiden mengeluarkan perppu andaikata kasus yang dihadapi oleh pimpinan-pimpinan KPK hari ini dimulai dengan proses hukum yang sehat, artinya tidak tercium adanya balas dendam, permainan kotor, tidak mengusik rasa keadilan masyarakat, dan yang paling utama adalah tidak menuai kemarahan publik “yang jelas” (bukan publik yang “gak jelas” karena mereka dibayar).
Nah, kalau proses hukumnya itu berjalan sesuai dengan apa adanya, bukan karena diada-adakan, untuk menyelamatkan KPK, barulah presiden mengeluarkan perppu. Kalau tidak, Hukum Tata Negara menyarankan Presiden Jokowi untuk mengeluarkan abolisi.
Berdasarkan konstitusi, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Harus dipahami, posisi presiden dalam memberi abolisi adalah presiden dalam kapasitas sebagai kepala negara. Jadi bukan sebagai kepala pemerintahan.
Sebab sebagai kepala pemerintahan presiden tidak boleh intervensi penegakan hukum. Sama halnya juga grasi. Di mana Presiden Jokowi hari ini menggunakan hak tolak untuk terpidana narkotika. Dan itu Presiden Jokowi sebagai kepala negara. Jadi kalaupun Presiden mengeluarkan grasi bukan berarti meintervensi MA.
Sebab sebelumnya MA telah memutuskan akan hal itu. Begitu juga abolisi. Kalau presiden Jokowi memberi abolisi, bukanlah intervensi terhadap Polri atau Kejaksaan.
Apa itu abolisi? Di dalam literatur disebutkan bahwa: “Abolisi merupakan hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau proses hukum. Melalui abolisi putusan hukum atau proses hukum tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.
Abolisi bisa dilakukan terhadap proses hukum yang kacau (misal, akibat sarat rekayasa atau di bawah bayang-bayang kekuasaan, atau tercium adanya permainan kotor), yang dinilai tidak adil serta yang mengusik rasa keadilan masyarakat.
Terlebih lagi dalam hal ini abolisi dikeluarkan dalam perkara yang menuai kemarahan publik. (Hendarmin Ranadireksa, 2009: 199).
Berdasarkan urain di atas, pertama, bukankah kasus yang dihadapi oleh pimpinan KPK hari ini berangkat dari proses hukum yang kacau? Berikut uraiannya.
Apa yang terjadi pada pimpinan KPK hari ini terutama Bambang Widjojanto sulit diterima oleh akal sehat kalau itu bukanlah kriminalisasi, proses hukum yang kacau terutama adanya permainan kotor sebagai bentuk balas dendam.
Mengapa? Penetapan tersangka oleh Polri itu sulit untuk tidak mengaitkan dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Berselang hari, Bambang Widjojanto pun ditetapkan sebagai tersangka. Dan itu bukan berkaitan dengan kewenangannya di KPK. Tapi kapasitasnya sebagai advokad pada tahun 2010.
Pertanyaannya adalah mengapa harus sekarang diproses? Mengapa hanya berselang hari dengan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka? Bukankah dulu Bambang Widjojanto juga menjalani fit and proper test calon pimpinan KPK di DPR? Bukankah kasus Bambang ini sudah ditutup Polri tahun 2010 yang lalu?
Ironisnya lagi bahwa penangkapan Bambang Widjojanto pun jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Bambang diborgol. Kabareskrim berkilah bahwa Bambang Widjojanto bukanlah malaikat, bukanlah orang yang tak bisa melakukan kesalahan.
Kabareskrim juga mengatakan bahwa bisa saja Bambang Widjojanto melarikan diri atau melakukan perlawanan terhadap penyidik atau melukai dirinya. Ironisnya Kabareskrim ini pun mencontohkan Tessy yang melakukan perlawanan ketika hendak ditahan dan meminum cairan berbahaya. Segitukah seorang Bambang Widjojanto?
Hal yang sama pun juga dirasakan oleh Abaraham Samad hari ini. Insya Allah akan dialami juga oleh dua pimpinan lainnya baik itu Adnan Pandu maupun Zulkarnain yang hanya menunggu waktu. Semuanya itu adalah berkaitan dengan masa lalu mereka yang sama sekali tidak berkaitan dengan mereka sebagai pimpinan KPK.
Pertanyaan yang sama, mengapa dulu tidak diproses? Terlebih lagi mengapa proses hukum semua pimpinan KPK itu dalam waktu yang bersamaan?
Kemudian sempat juga melintas di benak saya bahwa andaikata Busjro Muqaddas masih di KPK, mungkin saja mereka juga menetapkannya sebagai tersangka.
Kedua, bukankah juga penetapan pimpinan KPK sebagai tersangka menuai kemarahan dari publik atau rakyat yang tidak hanya di Jakarta, namun juga di daerah-daerah? Berikut penjelasan.
Rakyat yang mendukung KPK hari ini bukanlah “rakyat yang tak jelas” kalau meminjam bahasa Menko Polhukam Tedjo. Rakyat tidak sebodoh yang dikira oleh orang-orang yang anti terhadap pemberantasan korupsi. Rakyat tahu mana yang sedang berbohong dan mana yang betul-betul serius mencintai ibu pertiwi.
Kalau dilihat pasca penetapan Bambang Widjojanto sebagai tersangka, “rakyat yang jelas” secara spontan marah. Dan itu dibuktikan dengan “berbondong-bondong” ke Gedung KPK sampai larut malam sambilan berteriak “save KPK”. Jadi sulit untuk dibantah kalau ini tidak menimbulkan kemarahan dari publik.
Menariknya lagi yang hadir di KPK pada waktu itu dihiasi terutama anak-anak muda aktivis anti korupsi dan tokoh-tokoh negeri ini. Misalkan Saldi Isra (Guru Besar Faklutas Hukum Universitas Andalas), Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM), Haris Azhar (Koordinator Kontras), Ade Irawan (Koordinator ICW), Emerson Yuntho (Peneliti ICW), Denny Idrayana (mantan Wakil Menkumham), Todung Mulia Lubis (Advokad Senior), Magnis Suseno (tokoh agama), dan lain-lainnya.
Bahkan tak hanya sampai di situ, besok harinya aktivis-aktivis di berbagai daerah juga turun ke lapangan dan juga menyuarakan “save KPK”. Bukankah proses hukum yang dijalankan oleh orang-orang yang mengatasnamakan Polri terhadap pimpinan-pimpinan KPK hari ini dapat dikategorikan sebagai proses hukum yang “menuai kemarahan dari publik”?leh karena itu Pak Presiden, selamatkan KPK!***