PEKANBARU (riaumandiri.co)-Pemerintah Provinsi Riau, telah menerima laporan dividen dari tujuh Badan Usaha Milik Daerah Riau, terhitung sejak tahun 2002 hingga tahun 2016.
Dari seluruh perusahaan plat merah tersebut, hanya Bank Riau Kepri yang bisa dibilang subur karena telah memberikan dividen Rp1,154 triliun lebih. Sedangkan BUMD yang sama sekali tidak memberikan dividen adalah PT Riau Petroleum.
Selain itu, masih ada satu BUMD yang masih berpolemik dengan hukum, yakni PT Riau Air. Hingga saat ini, perusahaan ini belum juga menyelesaikan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) dan masih terbelit utang.
Namun sejak awal didirikan, PT Riau Air pernah sekali memberikan deviden pada tahu 2007 sebesar Rp655,942 miliar.
"Sejak didirikan memang BRK memberikan dividen terbesar, terhitung sejak 2002 sampai 2016, itu devidennya sudah mencapai satu triliun lebih," ujar Kepala Biro Ekonomi Setdaprov Riau Rudyanto, Sabtu (26/12).
Dijelaskannya, dividen yang diberikan BRK, terus meningkat meski terkadang fluktuatif. Pada tahun 2003, dividen sebesar Rp37 miliar lebih, kemudian 2003 Rp67 miliar lebih. Namun pada 2005 sempat menurun menjadi Rp36 miliar. Pada tahun 2010, dividennya meningkat lagi menjadi Rp82 miliar lebih dan tahun 2011 menjadi Rp100 miliar lebih.
Tapi 2012, kembali terjadi penurunan menjadi Rp84 miliar lebih. Selanjutnya, pada tahun 2014 meningkat Rp111 miliar lebih dan terus meningkat pada tahun 2015 menjadi Rp130 miliar lebih. Sementara pada tahun 2016 kembali terjadi penurunan menjadi Rp73 miliar lebih.
Sedangkan untuk PT RA, dijelaskan Rudyanto, sudah berkonsultasi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Riau untuk mengaudit kembali perusahaan itu.
Tujuannya tidak lain, untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi dengan maskapai penerbangan plat merah, yang awalnya sempat menjadi kebanggan masyarakat Riau tersebut.
Ada beberapa hal yang akan diaudit. Mulai dari aset, inventaris kantor, pengelolaan keuangan yang dijalankan manajmen RA dulu, termasuk soal sisa utang yang kini masih membelitnya.
"Untuk menetapkan status perusahaa pailit atau tidak, itu ada aturan, ada syarat-syaratnya, harus ada pertanggungjawabannya. Makanya harus diaudit dulu atau diperiksa untuk melihat apa sesungguhnya terjadi. Contoh asetnya sekarang dimana. Pegawainya di mana, belum lagi masalah gaji dan utang. Kalau pun ada kecurangan, inilah yang ingin dilihat," jelasnya.
Sedangkan untuk BUMD lainnya, seperti, PT Riau Investment Corporation (RIC) atau biasa juga disebut dengan PT Pengembangan Investasi Riau (PIR), sudah tidak pernah memberikan keuntungan sejak 2014 lalu. Begitu juga dengan PT Sarana Pembangunan Riau (SPR) sejak 2013 juga tak memberikan keuntungan, kecuali pada 2011 sebesar Rp3 miliar serta tahun 2012 sebesar Rp7 miliar.
Sementara untuk PT Bumi Siak Pusako (BSP), PT Penjaminan Perkreditan Daerah (Jamkrida) serta PT Askrida, PT Permodalan Ekonomi Rakyat (PER) terus berkelanjutan memberikan devidennya, meski yang diberikan tidak terlalu besar. (nur)