JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, atau yang kerap disebut GNPF MUI, akan menggelar aksi damai jilid III. Menurut rencana, aksi damai tersebut akan digelar pada 2 Desember mendatang.
Menurut Panglima Lapangan GNPF MUI, yang juga Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), Munarman, aksi damai dilakukan karena Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, hingga kini belum ditahan pasca ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
"Aksi damai berdoa untuk negeri. Kami akan punya tagline bersatu dan berdoa untuk negeri. Aksi ini untuk mempersatukan Indonesia dan mendoakan Indonesia agar selamat, tidak tercerai berai," ungkapnya, Jumat (18/11).
Menurut rencana, aksi damai tersebut akan dilakukan dengan salat Jumat bersama dengan posisi imam berada di Bundaran Hotel Indonesia. Sebelum salat Jumat, akan dilakukan doa bersama sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin.
"Kami meminta ulama dan umat Islam bersatu. Seluruh elemen dan ormas Islam yang ada di Indonesia dengan menggunakan berbagai macam satgasnya agar mengikuti aksi damai ini," ujar Munarman.
Terkait hal itu, Ketua Dewan Pembina GNPF MUI, Muhammad Rizieq Syihab, mengatakan, aksi damai diputuskan secara aklamasi. Tema aksi damai itu adalah penegakan hukum terhadap penistaan agama.
"Bentuk aksi adalah gelar ibadah, gelar sajadah. Bukan lagi sekedar aksi damai. Tapi super damai," ujar Rizieq. Ditambahkannya, siapa pun yang ingin ikut dalam aksi harus memiliki komitmen terhadap perdamaian.
"Siapa pun yang ingin bergabung ikut serta dalam aksi harus punya komitmen tetap jaga perdamaian dan tetap berjalan di koridor konstitusi," ingatnya.
"Bentuk aksi yang akan kami gelar ini adalah istighosah dan akan ada agenda membaca Al Quran kemudian berzikir dan memperbayak shalawat karena ini adalah aksi ibadah," ujarnya lagi.
Rizieq mengundang seluruh masyarakat Indonesia lintas agama, suku, dan budaya untuk ikut berpartisipasi dalam aksi damai tersebut.
Menuntut Keadilan Menyikapi rencana GNPF MUI tersebut, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, berharap aksi tersebut betul-betul aksi unjuk rasa menuntut keadilan.
"Sebab harus kita pisahkan betul antara demonstrasi yang betul-betul menuntut keadilan, dengan demonstrasi yang punya arah yang lain, mengganggu ketenangan, ketertiban dan eksistensi negara," ujarnya.
Wiranto menjelaskan, kalimat "arah lain" yang dimaksud adalah soal penggulingan pemerintahan. Situasi tersebut pernah mewarnai sejarah Indonesia. "Pengalaman itu menyadarkan kita untuk jangan sampai mengulangi lagi," lanjut Wiranto.
Wiranto telah menginstruksikan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian untuk bersikap tegas terhadap aksi unjuk rasa lanjutan aksi unjuk rasa 4 November 2016 yang lalu itu.
Tegas yang dimaksud adalah soal syarat-syarat unjuk rasa tersebut. "Jadi tatkala demonstrasi dilakukan di tempat umum dan masyarakat umum sampai terganggu aktivitasnya, itu tidak diperbolehkan. Polisi berhak membubarkan itu," ujar Wiranto.
Wewenang Penyidik Terpisah, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Awi Setiyono mengatakan, penahanan terhadap Ahok merupakan hak prerogatif penyidik.
"Kalau penahanan itu kan prerogatif dari penyidik," Kombes Awi Setiyono dalam diskusi bertema 'Pasca Ahok Tersangka: Apa Kata Mereka?' di Warung Daun Cikini, Jumat kemairn.
Kombes Awi yang berbicara mewakili Mabes Polri mengatakan, penahanan tersangka harus memenuhi syarat subyektif dan obyektif yang diatur dalam Pasal 21 KUHAP.
"Kita akan berpatokan kepada Pasal 21 KUHAP di sana mengatur bahwa seseorang itu bisa ditahan karena memang bukan wajib tapi dapat, karena dasar subyektif dan obyektif," jelas dia.
Awi mencontohkan kasus pembunuhan yang bisa langsung terpenuhi syarat penahanannya. Namun khusus untuk Ahok, penahanan tidak dilakukan karena penyelidik tidak bulat saat mengambil keputusan meningkatkan laporan dugaan penistaan agama dari penyelidikan ke penyidikan. (bbs, kom, dtc, ral, sis)