DI saat semua pihak ingin meningkatkan persaudaraan disaat itu pula manusia-manusia perpikiran primitive kembali berulah, apakah ini jihad? Tidak ada jihad seperti ini, apapun alasannya pelakunya harus dihukum seberat-beratnya jika perlu hukuman mati untuk menjadikan efek jera kepada pihak yang berniat melakukan aksi berikutnya.
Yang menjadi sasaran adalah sebuah pengeboman Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur. Peristiwa itu terjadi minggu 13 November 2016 sekitar pukul 10.00 Wita. seperti diungkapkan beberapa media nasional seperti tempo.co, detik.com dan lain-lain.
Menurut Presiden Jokowi telah mendapat laporan ihwal insiden pelemparan bom di Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur. Dari laporan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jokowi meminta agar kasus itu segera ditangani. (Sumber: tempo.co 13/11).
Sedangkan menurut Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin menjelaskan, pelaku kini sedang diperiksa personel dari Kepolisian Resor Samarinda. Diduga pelaku bernama Juhanda, yang sebelumnya pernah ditahan karena kasus terorisme.
Sedangkan menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan bahwa ia mengutuk keras ledakan bom yang terjadi di sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur tersebut. Dimana menurutnya bahwa ledakan itu merupakan bentuk teror terhadap masyarakat.
Mendagri juga telah menginstruksikan kepada kepala daerah, dari gubernur sampai camat, agar terus menjalin komunikasi dengan semua tokoh agama, adat, hingga aparat keamanan. Tujuannya untuk mencegah berbagai aksi kekerasan. Ia berharap semua pihak bisa melakukan deteksi dini.
Memang penggunaan isu agama dalam mewujudkan targetnya, bukan hanya di Indonesia. Hampir semua masyarakat di negara manapun di dunia, menggunakan isu-isu sensitif untuk melawan dan mengalahkan pihak lain. Termasuk isu yang sering dipergunakan ialah isu agama. isu agama masih sangat menonjol dalam setiap pemilu maupun pilkada di indonesia.
Dalam perspektif ini, Agama hanya dijadikan alat pengobar semangat dan agresivitas untuk melawan, mengalahkan dan menghancurkan lawan. Dalam kenyataan, konflik di Indonesia dan konflik di seluruh dunia, penyebab utamanya adalah persoalan kepentingan perut yaitu kepentingan perebutan sumber-sumber ekonomi, yang diekspresikan dalam bentuk konflik agama dan politik.
Karena untuk menarik emosi publik dan dukungan yang luas dari masyarakat, agama ditonjolkan, seolah-olah konflik yang terjadi adalah konflik agama. Semoga hal ini tidak kembali terjadi di daerah-daerah lain yang ada di Indonesia. Lelah rasanya mendengar keriuhan orang-orang dalam menanggapi isu SARA.
Apalagi sampai terjadi kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul tersebut. Dan yang menjadi pertanyaan adalah mengapa segala permasalahan tersebut harus diselesaikan dengan emosional, hati panas, kepala panas, walau pun dari mulut terucap teriakan kalimat-kalimat suci. Kenapa kalimat-kalimat suci tersebut tidak dapat meredakan emosi dan mendewasakan sikap kita.
Melihat kondisi masyarakat kita yang sangat mudah terprovokasi seperti ini, apalagi ditambah dengan adanya aksi teror kemarin berupa sebuah bom meledak di Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda, Kalimantan Timur.
Sangat diperlukan kedewasaan sikap dan berpikir dari kita semua dalam menerima dan mencerna berbagai informasi, apalagi yang menyangkut isu SARA, makar dan fitnah. Jangan sampai kita ikut menyebarkan berbagai isu tersebut dan menjadi bagian dari provokator.
Sampai kapan kita harus bertikai sendiri. Kerugian besar terjadi bila diantara kita sesama elemen bangsa saling menghujat, menggunakan kekerasan dan menghasut masyarakat kita sendiri untuk berbuat anarkis karena isu-isu tersebut. Jangan sampai semua permasalahan harus diselesaikan dengan demo besar-besaran dan anarkis.
Kita bangsa yang besar dan masyarakat yang beragama dan beradab yang seharusnya bisa menyelesaikan semua masalah dengan kepala dingin, sikap dan pikiran yang bijaksana dan dewasa. Masih banyak hal-hal positif yang bisa dikerjakan bersama secara arif dan bijak oleh semua komponen bangsa. ****
Wartawan Haluan Riau