JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) -Tim penasehat hukum mantan Ketua DPD RI Irman Gusman membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (15/11).
Dalam eksepsi tersebut disebutkan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) cacat secara prosedural. Cacat prosedur dalam dakwaan Jaksa dimulai dari tingkat penyidikan Irman sebagai tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Cacat prosedur itu membuat hak-hak Irman sebagai tersangka diabaikan dan tidak ditegakkannya kewajiban hukum oleh penyidik.
"Dalam rangka penyidikan perkara terdakwa yaitu error in procedure yang mengabaikan hak-hak tersangka dan kewajiban hukum penyidik kepada tersangka," kata anggota Tim Penasehat Hukum Irman Gusman, Yusril Ihza Mahendra saat membacakan eksepsi Irman Gusman.
Menurutnya, penyidik mengabaikan hak Irman sebagai tersangka tanpa didampingi oleh penasihat hukum. Padahal hal sudah diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP yang mewajibkan tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan pidana dengan ancaman pidana mati atau 15 tahun penjara atau lebih wajib didampingi penasehat hukum.
Selain itu, sebagaimana Pasal 114 KUHAP, hak Irman sebagai tersangka wajib untuk diberitahu oleh penyidik tentang mendapatkan bantuan hukum atau wajib didampingi penasehat hukum.
Hal penting lain yang menyangkut hak Irman sebagai tersangka, lanjut Yusril, juga diabaikannya soal Irman diperiksa sebagai tersangka. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP. "Kemudian pengabaian prosedur yang mempersiapkan untuk mempersiapkan pembelaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan b KUHAP," katanya.
Yusril menyebutkan, bahwa tanpa adanya pemeriksaaan Irman sebagai tersangka sebagaimana dimaksud Pasal 117 ayat (1) dan (2) KUHAP, penyidik KPK melakukan pemberkasan perkara tanpa adanya hasil penyidikan. Padahal hal itu sesuai dan mengacu kepada Pasal 121 KUHAP.
Pada tahap penuntutan, juga terjadi pengabaian tentang Irman untuk mendapatkan Surat Pelimpahan Perkara yang juga memuat surat dakwaan yang seharusnya diterima pada tangga 28 Oktober 2016 atau saat bersamaan dengan pelimpahan perkara ke pengadilan.
Dengan rangkaian error in procedure yang terjadi dalam tahap penyidikan dan tidak dilaksanakannya kewajiban penyidik untuk memberitahukan hak-hak Irman menyebabkan surat dakwaan menjadi cacat yuridis. Karena berkas perkara dibuat berdasarkan hasil penyidikan yang cacat atau Error in Procedure yang menyebabkan surat dakwaan tidak dapat diterima.
"Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, 'dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan," katanya.
Karena itu, Yusril meminta majelis hakim untuk membatalkan surat dakwaan jaksa demi hukum dan menerima eksepsi pihaknya. "Maka mohon Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa perkara dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan sela dengan menerima eksepsi terdakwa, menyatakan terdakwa telah didakwa tidak berdasarkan hukum yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan, menyatakan surat dakwaan tidak memenuhi syarat formil dan syarat materiil dengan memutus surat dakwaan tidak dapat diterima, membebaskan terdakwa dari tahanan, serta menyatakan sidang tidak dilanjutkan," kata Yusril.
Merusak Martabat Irman
Saat menyampaikan eksepsi tersebut, Yusril juga menyebut KPK berniat merusak martabat kliennya melalui jerat kasus suap terkait pengurusan distribusi kuota gula impor di wilayah Sumatra Barat. Karena KPK seharusnya mencegah penyerahan bingkisan dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi kepada Irman.
"Bahwa KPK memang berniat merusak harkat dan martabat terdakwa dan menghancurkgan integritas DPD tampak dengan tidak diberikan waktu bagi terdakwa untuk menyikapi buah tangan yang diberikan oleh Xaveriandy dan Memi, sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana diatur Pasal 12 C UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Yusril.
Ditegas Yusril, berdasarkan pasal 12 huruf C UU No 20 Tahun 2001, pemberian dalam keadaan tertentu tidak serta merta masuk dalam kategori suap atau korupsi dan yang harus dilakukan adalah memberikan waktu kepada penyelenggara negara yang menerima gratifikasi tanpa niat untuk melaporkan hadiah kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan hadiah yang dimaksud. Namun KPK tidak memberikan waktu kepada Irman untuk melaporkan pemberian Rp100 juta itu kepada KPK.
Yusril juga mencontohkan bahwa Presiden Joko Widodo pun sempat menerima hadiah dari perusahaan minyak milik Rusia Rosneft dan melaporkannya ke KPK. "Presiden Jokowi telah melaporkan tiga hadiah atau gratifikasi dari perusahaan minyak swasta Rusia Rosneft ke KPK. Saat itu Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan langkah Presiden Jokowi harus diikuti oleh pejabat negara lainnya padahal pemberian gratifikasi ke Presiden Jokowi itu diberikan secara bertahap melalui Pertamina pada saat kunjungannya ke Rusia pada Mei 2016," ungkap Yusril.
Kemudian Yusril juga mengatakan, selain melakukan penindakan, KPK juga memiliki wewemang melakukan pencegahan. Namun, dalam perkara Irman, KPK tidak melakukan fungsi pencegahannya, melakukan pengintaian penyadapan percakapan telepon antara Irman dan Memi sejak 24 Juni 2016.
"Jika pimpinan KPK beritikad baik melakukan pencegahan korupsi, paling tidak sampaikan kepada terdakwa bahwa berdasarkan penyadapan Memi, Xaveriandy Sutanto, Sukri dan Willy Hamdi Sutanto ada dugaan mereka akan memberikan hadiah ke terdakwa. Semestinya masih ada waktu untuk menghentikan penyerahan uang yang tidak diketahui Irman bila ada itikad baik KPK untuk melakukan pencegahan.," ujar Yusril.
Sebaliknya, kata Yusril, yang dilakukan penyidik KPK adalah menginterogasi Xaveriandy dan Memi soal bingkisan uang Rp 100 juta yang diberikan Irman. Padahal, Yusril menegaskan Irman tidak mengetahui isi bingkisan dari Memi. "Mengingat terdakwa tidak mengetahui isi buah tangan dan Memi serta Xaveriandy tidak menjelaskan isi buah tangan kepada terdakwa," tegas Yusril.
Toko Kelontong
Yusril Ihza Mahendra juga menilai KPK sebagai toko kelontong yang genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. "Fakta yang kita lihat, KPK ternyata lebih genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hampir seperti toko kelontong yang menjual segala hal," kata Yusril.
Yusril menilai KPK tidak lagi fokus pada kegiatan untuk mencegah kerugian keuangan negara, tetapi lebih senang dengan pemberitaan yang luar biasa besar dengan liputan media cetak dan elektronik dan dengan penggunaan bahasa yang sarkastis, diucapkan sambil terbata-bata untuk menarik perhatian, karena telah melakukan penangkapan, yang selama ini dipublikasikan sebagai Operasi Tangkap Tangan.(sam)
Selengkapnya di Koran Haluan Riau edisi 16 November 2016
Editor: Nandra F Piliang