KASUS dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok bergulir sangat cepat, bahkan sudah mengarah menjadi kasus hukum. Tidak hanya itu saja, kasus Ahok juga telah memicu terjadinya aksi ratusan ribu massa pada 4 November 2016.
Sebenarnya, Ahok secara pribadi sudah pergi ke Bareskrim Mabes Polri untuk memberikan keterangan sebagai saksi, sebelum unjuk rasa 4 November 2016 terjadi, bahkan Ahok juga telah meminta maaf atas pernyataan blundernya yang salah terkait Surat Al Maidah 51 dalam sebuah acara di Kepulauan Seribu.
Namun, “manuver” Ahok ternyata tidak dapat meredam kemarahan umat Islam yang sudah membludak, sehingga beberapa Ormas keagamaan dan beberapa LSM atau aktivis mahasiswa tetap menuntut Ahok diproses secara hukum.
Presiden Jokowi sendiri sudah memberikan arahan kepada jajarannya agar kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok dilakukan secara transparan dan terbuka untuk dapat menciptakan kepastian hukum serta akhirnya dapat menjadi indikasi terjadi tidaknya rencana Aksi Bela Islam (ABI) III.
Dasar gelar perkara terbuka dan dilakukan pada tahap penyelidikan juga secara implisit dimungkinkan sebagaimana diatur pada Pasal 71 Peraturan Kapolri No 14/ 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Rencana menggelar perkara kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok juga telah menimbulkan sikap pro dan kontra. Kelompok yang pro menilai bahwa kebijakan Jokowi agar kasus Ahok diproses secara terbuka justru menunjukkan indikasi bahwa pemerintah ingin netral dan tidak akan mengintervensi kasus ini.
Gelar perkara terbuka adalah kreasi teknik kerja institusi Polri untuk menepis keraguan publik atas independensi Polri dalam kasus ini dan tidak melanggar hukum.
Rencana Polri menggelar perkara (ekspos) terbuka kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, sebagai bentuk transparansi Polri dalam menangani kasus sehingga penanganannya bisa disaksikan seluruh Indonesia secara terbuka.
Oleh karena itu, video asli dan transkrip asli harus ditayangkan secara terbuka, serta dikaji bersama melibatkan saksi ahli bahasa, ahli keagamaan, ahli hukum pidana dan saksi lainnya.
Hasil gelar perkara itu akan mendapatkan apakah pernyataan Ahok mengandung unsur tindak pidana penistaan agama atau tidak. Kepada seluruh pihak bisa menerima hasil gelar ini sehingga mendapatkan hukum yang seadil-adilnya.
Kelompok yang kontra menilai bahwa gelar perkara secara terbuka akan menyulitkan penyidik dalam membuat keputusan, bahkan hanya menjadi “entertainment” saja. Gelar perkara terbuka itu bisa menjadi preseden buruk ke depannya. Pihak-pihak yang terjerat hukum bisa menuntut presiden untuk membuka proses gelar perkara.
Jika gelar perkara ingin dilakukan terbuka maka cukup dihadir oleh para pelapor, pemuka agama, dan pihak terkait, sehingga tidak perlu disiarkan secara langsung ke masyarakat.
Kelompok yang tidak setuju menilai gelar perkara tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Gelar perkara merupakan prosedur internal yang diatur secara tersendiri di lembaga penegak hukum.
Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, meminta gelar perkara tidak menjadi perdebatan. Sebab, itu bagian dari kinerja Kepolisian dalam melakukan penyelidikan.
Sebenarnya, pada tahap penyelidikan tidak ada dasar hukum penyelenggaraan gelar perkara, meskipun praktiknya Kepolisian sering melakukan gelar perkara. Dengan demikian, ada atau tidak adanya dasar hukum gelar perkara pada tahap penyelidikan tidak perlu menjadi perdebatan, karena pada dasarnya gelar perkara hanyalah teknik kerja penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana.
Karena itu, menurut Ismail, jika masih diperdebatkan, justru itu hal yang keliru. Sebab, keadaan Ahok yang terlihat "dihakimi" secara terbuka oleh sebagian masyarakat, maka dengan gelar perkara terbukalah untuk membuktikan segala tudingan.
Gelar perkara terbuka nanti, hanya melibatkan unsur-unsur yang relevan seperti pelapor, terlapor, penyidik, dan bagian pengawasan penyidik (Wasidik) Polri, sehingga rencana pelibatan anggota Komisi III DPR yang juga akan dilibatkan dalam gelar perkara adalah kekeliruan, karena Komisi III bukan penyidik dan bukan penegak hukum.
Fungsi pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan dalam menjalankan perintah UU bukan mengawasi kasus-kasus secara spesifik. Keterlibatan Komisi III DPR hanya akan mengundang potensi politisasi lebih jauh dan mengikis independensi penyidik.
Hormati Hasilnya Dalam perkembangan terakhirnya, gelar perkara terbuka batal disiarkan secara langsung (live) oleh media massa. Hal ini disampaikan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar. Gelar perkara diawasi juga Komisi Kepolisian Nasional, Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil gelar dicatat dalam notulensi untuk disampaikan kepada publik.
Apapun mekanisme yang ditempuh Polri untuk menuntaskan kasus Ahok tetap harus diapresiasi dan dihormati hasilnya, karena pemerintah sebenarnya juga menyadari dalam kasus ini bahwa profesionalisme aparat penegak hukum sangat diuji dalam kasus Ahok. Disamping itu, dalam kasus ini kepastian hukum dan reformasi hukum di Indonesia juga sedang dipertaruhkan.
Kemungkinan, langkah Polri tidak menyiarkan siaran langsung di TV terkait kasus Ahok tidak akan memuaskan kalangan anti Ahok, sehingga kelompok ini dikhawatirkan tidak akan menerima atau tidak menghormati hasil atau keputusannya, sehingga mereka akan mempolitisir masalah ini.
Terkait dengan hal ini, penulis menyarankan agar pihak yang berwenang melakukan penggalangan atau pendekatan secara persuasif terhadap banyak tokoh-tokoh utama baik dari kelompok pro dan kontra dalam kasus Ahok ini.
Disamping itu, banyak kalangan juga mengkhawatirkan hasil akhir kasus Ahok akan menjadi faktor penentu memanas atau tidaknya situasi nasional, termasuk sudah mulai ada rumors yang berkembang bahwa ada rencana unjuk rasa bela Islam ketiga, yang konon akan digelar pada 25 November 2016 mendatang. ***
*) Penulis adalah alumnus Udayana, Bali.