PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Setelah sukses me-launching tax amnesty, Pemerintah diminta melahirkan land amnesty di bidang pertanahan. Program ini sejalan dengan tujuan Pasal 33 UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Ida Nurlinda setuju bila Pemerintah juga menggagas land amnesty untuk memberi kemudahan kepada rakyat menguasai tanah-tanah mereka. Di samping program tersebut sesuai dengan semangat UUD, land amnesty juga sesuai dengan Pasal 3 dan 5 Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung itu saat menjawab pertanyaan salah seorang peserta Seminar Internasional bertajuk,
“Perbandingan Kewenangan Penguasaan Tanah dalam Sistem Hukum Pertanahan antara Negara Indonesia dengan Malaysia” yang dilaksanakan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, Sabtu (12/11).
Seminar internasional yang dimoderatori H. Husnu Abadi itu juga dihadiri nara sumber Rohimi Shapiee dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan H Arifin Bur, Dosen Fakultas Hukum Fakultas Hukum UIR.
Menurut Ida Nurlinda, salah satu problem pertanahan yang dihadapi masyarakat saat ini adalah status kepemilikan. Satu sisi Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) menuntut pemilik agar menguasai tanahnya secara deyure agar mereka memiliki kepastian hukum. Akan tetapi,
di lapangan masyarakat juga menghadapi kendala memperoleh status kepemilikan. Dalam konteks ini, kata Ida Nurlinda, konflik pertanahan tak bisa dihindari terutama saat pemilik tanah berhadapan dengan investor yang menginginkan tanahnya dijadikan areal industry. “Saya setuju ada program land amnesty untuk membantu masyarakat. Fokus Pemerintah selama ini baru sebatas reformasi agraria,” ujar Ida Nurlinda.
Pandangan senada juga disampaikan Arifin Bur. Peraih doktor dari Malaysia ini berpendapat, Negara bertugas mengatur pertanahan seperti diamanatkan UUPA. “Negara sendiri tidak memiliki tanah,
dan apabila negara memerlukan sebidang tanah untuk tujuan tertentu, ia tak dapat langsung menguasai fisik tanah itu. Melainkan memohonkannya kepada Badan Pertanahan apakah dalam bentuk hak pengelolaan atau hak pakai khusus,” tegas Arifin Bur.
Arifin Bur menambahkan, hak pakai khusus merupakan hak yang diberikan kepada badan hukum public untuk melaksanakan tugas-tugas public, misalnya kepada lembaga agama dan social,
serta perwakilan Negara asing. Jadi, lanjutnya, Negara memiliki kewenangan mengatur pertanahan, dan kewenangan tersebut diserahkan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah atau masyarakat hukum adat.
Di tempat yang sama Rohimi Shapiee dari UKM menyebut, banyak persamaan hukum pertanahan antara Malaysia dengan Indonesia, baik menyangkut penguasaan hak public maupun hak perseorangan (persendirian). “Dinamik kepada keadaan dan kehendak masyarakat semasa dan masa hadapan,” kata guru besar itu dalam logat bahasa Melayu yang kental.
Seminar internasional ini juga dihadiri Direktur Pascasarjana UIR Saipul Bahri, Ketua Prodi Ilmu Hukum, Effendi Ibnu Susilo dan sejumlah dosen Fakultas Hukum seperti H Syafrinaldi, Ellydar Chaidir, H Thamrin, Abdullah Sulaiman H Syafriadi.(rls)