MOMENTUM peringatan hari pahlawan yang dirayakan pada tanggal 10 November setiap tahunnya menjadi sebuah momentum bagi segenap rakyat Indonesia untuk merenungkan makna filosofi dari hari pahlawan dimaksud.
Tak jarang sebagian dari kita masih memaknai hari pahlawan hanya sebagai hari peringatan atas ‘kepahlawanan’ dari tokoh-tokoh pejuang dalam memperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesia sebelum proklamasi pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan di atas bumi persada Indonesia.
Padahal selain dari itu, peringatan hari pahlawan semestinya juga dapat dijadikan sebagai sebuah momentum untuk menilik kembali kiprah ‘kepahlawanan’ sang tokoh atau golongan dan bahkan kaum lain yang terkesan terlupakan untuk tetap mendapat penghormatan atas kiprah mereka yang senantiasa tetap berjuang sampai detik ini meskipun kemerdekaan telah dirangkul oleh bumi pertiwi, dan salah satu karakter pahlawan tersebut adalah kaum tani.
Kaum tani adalah pahlawan pangan bagi negeri. Hal tersebut tidak terlepas dari peran kaum tani yang senantiasa memenuhi kebutuhan pangan bagi anak negeri sebagai hasil kerja keras kaum tani untuk senantiasa berproduksi.
Bung Karno pernah berkata; “pangan adalah soal hidup dan mati”, bayangkan jika para petani mogok menanam padi satu musim saja, itu artinya petanilah yang memberi makan dunia (dalam www.kompasiana. com).
Oleh karenanya selain bergantung pada iklim dan cuaca dan berbagai gangguan teknis pertanian dalam bercocok tanam, petani juga membutuhkan campur tangan pemerintah melalui berbagai regulasinya untuk mendukung, menunjang atau bahkan melindungi kaum tani dalam upaya peningkatan produksi dan juga kesejahteraan duniawi para petani.
Regulasi tersebut setidaknya bertalian kebijakan-kebijakan pemerintah sehubungan dengan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian bagi para petani untuk berproduksi, sarana seperti ketersediaan berikut jaminan kepastian hukum atas lahan pertanian bagi petani, dan pra-sarana seperti alat-alat produksi pertanian, penunjang teknis produksi pertanian, antara lain; bibit, pupuk dan lain sebagainya sampai dengan jaminan stabilitas harga pasar hasil pertanian yang mendatangkan keuntungan dan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan para kaum tani.
Bertalian dengan jaminan ketersediaan lahan dan kepastian hukum atas tanah-tanah pertanian, pada prinsipnya founding father bangsa ini telah meletakkan dasar pembangunan hukum keagrariaan di Indonesia dalam rangka menjadikan tanah/permukaan bumi beserta sumber daya alam lainya yang terkandung di dalam bumi untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat, sebagaimana terjabar dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Kehadiran UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) selain sebagai pengejawantahan perintah konstitusi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga merupakan tonggak sejarah awal pengembangan politik hukum agraria nasional berusaha memutus mata rantai pengelolaan agraria (termasuk tanah) dari cara-cara haram kolonialisme yang sangat bersifat feodal pada masa itu ke arah pensejahteraan masyarakat Indonesia terutama para kaum tani.
Sehingga momentum kelahiran UUPA juga dijadikan sebagai semangat peringatan Hari Tani Nasional yang tidak terlepas dari ‘tapak tilas’ sejarah dari sebuah upaya mengembalikan esensi perjuangan para petani yaitu menjadi tuan di negerinya sendiri.
Sebab, jauh sebelum Indonesia merdeka, para petani hanyalah bagian dari buruh pekerja dari para cukong dan tuan tanah, sehingga pasca-berlaku UUPA mendatangkan secerca harapan terhadap peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan kaum tani dengan menjadikan tani sebagai produsen di atas tanahnya sendiri.
Kini, Bangsa Indonesia telah tujuh puluh satu tahun merdeka, dan kemerdekaan tersebut selain sebagai sebuah hasil kerja keras dan pengorbanan para pejuang yang angkat senjata dan gugur di medan perang, juga merupakan hasil pengorbanan kaum tani yang senantiasa tertindas oleh karena hasil pertaniannya dirampas oleh penjajah.
Pertanyaanya, apakah petani telah benar-benar merdeka? Atau malah justru petani saat ini masih berjuang untuk merebut kemerdekaan pangan bagi negerinya sendiri? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan Petani? Dan banyak pertanyaan lain yang masih miris terjawab oleh nasib kaum petani masa kini.
Hal demikian jelas tergambar dari sejumlah ironi terkait dengan nasib para petani sebagai pahlawan pangan bagi negeri, diantaranya; Pertama, belaian mesra pemerintah kepada petani masih dinilai kurang menyentuh hasrat petani dalam kerangka mengantispiasi munculnya permasalahan kerawanan pangan baik yang disebabkan oleh perubahan iklim global, kekeringan, maupun impor bahan pangan. Kondisi faktual menunjukkan bahwa petani Indonesia belum menerima perlindungan yang layak dari pemerintah terhadap serbuan produk impor.
Minimnya anggaran dan permodalan yang disediakan pemerintah terkesan belum memberikan harapan yang sesuai bagi petani, bahkan rendahnya empati pemerintah dalam hal menciptakan swasembada pangan berkelanjutan dan diversifikasi pangan menimbulkan keraguan tersendiri terhadap keseriusan pemerintah terkait program reforma agraria yang selama ini telah digulirkan sebagai salah satu solusinya.
Kedua, legalisasi asset kaum tani berupa tanah masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Tingginya dan belum tertuntaskannya angka sengekta, konflik dan perkara pertanahan yang masih mendominasi kepada asset-aset tanah petani menjadi sebuah tragedi memilukan tersendiri dalam rangka mempertanyakan nasib kaum tani terkini.
Beragam fenomena-pun terlihat; dimulai dari perselisihan hak antara petani dengan pihak perkebunan, bahkan sampai dengan perampasan hak yang dilakukan oleh para mafia tanah dari tangan para petani di seluruh penjuru negeri.
Kondisi demikian seolah memposisikan para petani kembali pada jaman kolonial, bahkan nasibnya lebih buruk, pada saat ini petani seakan berhadapan dengan kelompok feodal yang lebih fedoal dari kelompok feodal yang pernah ada.
Ironi petani sebagaimana tergambar dari berbagai aksi dan demonstrasi yang kerap dipertontonkan oleh para aktivis pejuang kaum tani di setiap momen peringatan Hari Tani Nasional adalah merupakan bentuk lain dari kekecewaan kaum tani terhadap gagalnya upaya pemerintah dalam merealisasikan tanah untuk ruang hidup yang memakmurkan dan menentramkan rakyat di negeri agraris ini.
Seyogianya, momentum peringatan hari pahlawan menjadi momen perayaan kesuksesan para petani dalam ‘menafkahi’ seluruh warga negeri. Bukan malah sebaliknya, hanya sebagai sebuah momen pertunjukkan akbar yang menggelar opera mini bertajuk ‘ironi pahlawan pangan bagi negeri’.***
Penulis adalah Dosen Hukum Agraria di Fakultas Hukum Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara (FH – UMSU).