Penataan Kembali Umrah

Senin, 16 Februari 2015 - 11:29 WIB
ilustrasi

Pada Senin (9/2), Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Prof Dr Abdul Djamil mengadakan konferensi pers terkait dengan pemberian sanksi berupa teguran tertulis kepada para penyelenggara umrah yang terindikasi melanggar peraturan perundang-undangan.

Dirjen PHU juga melaporkan tujuh perusahaan penyelenggara umrah yang melakukan hal serupa kepada Bareskrim Polri.

Langkah di atas diambil Dirjen PHU Abdul Djamil setelah semaraknya pelanggaran demi pelanggaran dilakukan oleh para penyelenggara umrah yang banyak diliput media massa akhir-akhir ini. Hal itu dipandang tidak bisa ditoleransi lagi.

 Berbagai seruan dan desakan agar PHU menertibkan para penyelenggara umrah sudah cukup masif datang dari banyak pihak.

Pemberian sanksi yang diambil PHU merupakan langkah berani dan maju, tapi hal itu akan semakin lebih efektif jika disinkronkan dengan hajat faktual (factual needs) dalam praktik pelayanan yang ada.

Advokasi, komunikasi, dan fasilitasi yang dilakukan oleh KUH dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah sering kali berangkat dari laporan dan pengaduan masyarakat secara langsung perihal kesulitan yang mereka hadapi.

Sebagai contoh dalam kasus jamaah Business Air (Thailand), United Airways (Bangladesh), dan Jordan Aviation (JAV), dan kasus-kasus lainnya pada Desember 2014-Januari 2015 semua berangkat dari pengaduan masyarakat secara langsung ke KJRI, KUH via SMS-center, atau media massa yang di-follow-up oleh KUH.

Tidak ada mekanisme pengawasan dan perlindungan yang bisa dilakukan oleh KUH atau KJRI dalam hal ini mengingat KUH tidak punya anggaran berkaitan dengan umrah. KUH atau Atase Haji hanya mendapat alokasi anggaran Rp 1,5 miliar per tahun yang sebagian besar atau sekitar Rp 800 juta untuk honor pegawai.

 Adapun anggaran dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sekitar Rp 3,5 triliun diperuntukkan khusus bagi pelayanan langsung kepada jamaah haji berupa akomodasi, konsumsi, transportasi, dan operasional haji serta fasilitas persiapan penyelenggaraan haji.

Memang nomenklatur direktorat mengidentikkan haji dan umrah, tetapi karena pelayanan yang diberikan oleh PHU kepada jamaah umrah bukan bersifat langsung, melainkan dilakukan oleh pihak swasta, maka ia hanya menjadi bagian kecil dari postur PHU. Umrah berada di bawah Direktorat Pembinaan Haji dan Umrah yang level eselonnya hanya eselon III, yaitu Subdit Pembinaan Umrah.

 Sementara, haji yang menjadi core-business, PHU menempatkan tiga orang eselon II di Direktorat Pengelolaan Dana Haji (Dirlolah), Direktorat Pelayanan Haji Dalam Negeri (Diryanda), dan Direktorat Pelayanan Haji Luar Negeri (Diryanlu). Kondisi riil ini yang menjadikan umrah berada di wilayah peripheral PHU.

Bisa jadi karena posisi umrah yang demikian marginal di PHU, Subdit Pembinaan Umrah diduga menghadapi banyak hambatan, baik dari sisi anggaran maupun kebijakan secara umum. Fakta ini membuka ruang lebar bagi PPIU untuk leluasa memanfaatkannya sehingga peluang supervisi dan pengawasan bagi penyelenggaraan menjadi minimalis sekali.

Wajar bila tahun lalu (2014) data penyelenggara yang melapor ke KUH hanya 136.872 orang jamaah. Padahal, total jamaah umrah ditaksir 650-700 ribu orang. Sekarang saja, dari total 135 ribu orang jamaah pada Januari 2015 ini, hanya 9.669 jamaah yang dilaporkan 123 PPIU dan 22 travel haji dan umrah.

Komunikasi KUH-KJRI Jeddah dengan Wakil Menteri Haji bidang Umrah Dr Isa Rawas, Ahad (8/2), memberikan kesan dan harapan Arab Saudi yang sangat besar agar keberhasilan pengelolaan haji dapat ditransfer pada pelaksanaan umrah mengingat animo masyarakat untuk menunaikannya kian meningkat dari waktu ke waktu. Kendatipun penyelenggaraan haji dipandang berbagai pihak masih jauh dari sempurna.

Isa Rawas menyitir salah satu praktik rekayasa yang dilakukan oleh PPIU dalam pemberangkatan jamaah haji di mana 20 jamaah umrah wanita dimahrami oleh satu orang laki-laki. Banyak lagi hal lain yang dipandang tidak seharusnya dilakukan dalam praktik ibadah sakral ini sehingga tidak ada kesan dilakukan sebagai bentuk praktik bisnis murni yang tidak ada unsur pelayanan ibadah sama sekali.

Sesungguhnya, Kementerian Haji bidang umrah Arab Saudi tidak mengetahui posisi Direktorat PHU Kementerian Agama RI dalam penyelenggaraan ibadah umrah. Maka, pertanyaan yang kurang pas terdengar diucapkan Wakil Menteri Isa Rawas ketika mempertanyakan kepada KUH apakah Kementerian Agama punya peran dan tanggung jawab dalam umrah?
Pertanyaan ini diduga muncul dari ketidaktahuan atau informasi misleading yang sampai kepada Wakil Menteri Haji sehingga perusahaan apa pun ketika sudah mendapatkan izin dari Kementerian Pariwisata RI dapat dianggap sah untuk menyelenggarakan ibadah umrah.

 Jika demikian, wajar bila tidak semua penyelenggara umrah memiliki izin prinsip dari PHU dapat membawa jamaah umrah karena secara hukum Saudi dianggap legal.

Secara regulasi, Kementerian Haji bidang umrah telah menetapkan aturan yang ketat, baik dari proses visa, paket pelayanan, kesiapan perusahaan mitra Saudi, monitoring, maupun pengawasan dilakukan secara ketat.

Bahkan, Sistem Manajemen Pelayanan Umrah yang diterbitkan oleh keputusan Perdana Menteri No 93 tanggal 10/06/1420 H diamendemen tanggal 09/10/2014 dengan memasukkan beberapa poin penting, termasuk jaminan bank senilai 2 juta riyal Saudi (SR) dan sanksi mencabut sistem online perusahaan atau muasasah yang terbukti ada pelanggaran dari jamaah umrah yang dilayani.

 Kendati demikian, tetap saja praktiknya masih ada yang luput dengan bukti keterlantaran ratusan jamaah umrah Indonesia sebagaimana disinggung di atas.

Untuk itu, Wakil Menteri Haji bidang umrah meminta pihak KUH memberikan surat dari eksekutif atau legislatif menegaskan otoritas yang dimiliki oleh Kementerian Agama atau PHU dalam penyelenggaraan umrah.

 Harapannya, seluruh perusahaan PPIU atau travel yang menyelenggarakan umrah akan "dipaksa" berinteraksi dengan KUH sebagai bagian dari syarat i’timad (reliance) dalam sistem yang dibangun kementerian.

Bila saja apa yang dimintakan Rawas dapat diwujudkan, paling tidak satu kesulitan yang selama ini dihadapi KUH dapat teratasi di mana setiap PPIU atau travel secara willy-nilly memberikan informasi yang dibutuhkan demi tercapainya target pengawasan dan perlindungan jamaah umrah yang lebih baik ke depan.

Hal itu akan menjadi lengkap jika saja atensi publik terkait kasus-kasus umrah belakangan mengerucut pada seruan lembaga-lembaga berwenang untuk memberdayakan direktorat umrah sehingga lebih powerful dan gesit-lincah.

 Semoga konferensi pers pemberian sanksi kepada PPIU menjadi momentum bagi urgensi penataan umrah pada masa mendatang. Wallahu a’lam!. (rol)
Konsul Haji di Konsulat Jenderal RI-Jeddah.

Editor:

Terkini

Terpopuler