“KAMI Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia“. Poin ketiga penggalan Sumpah Pemuda ini menyatakan lahirnya bahasa Indonesia serta sebuah pengakuan dan kecintaan rakyat terhadap bahasa persatuan.
Sebagai bangsa Indonesia, kita pantas berbangga karena mampu melahirkan bahasa negaranya sendiri. Di dunia ini banyak negara yang tak mampu melahirkan bahasa negaranya sendiri sehingga negara itu menggunakan bahasa negara lain atau menggunakan bahasa ganda. Misalnya Amerika Serikat, negara adidaya ini tidak bisa melahirkan bahasa negaranya yang mengakar pada identitas negeri tersebut.
Demikian juga dengan Singapura. Walaupun terletak di kawasan Asia Tenggara yang identik dengan kawasan Melayu, tetapi Singapura gagal menghasilkan bahasa sendiri. Malaysia juga demikian. Negeri Malaysia ini juga memiliki bahasa abu-abu, alias menggunakan dua bahasa negaranya, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Inggris.
Bangsa Indonesia bersyukur mampu melahirkan bahasa di negaranya yang berakar dari budaya bangsanya sendiri. Bahasa Indonesia merupakan lambang identitas nasional dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia.
Indonesia memiliki keragaman etnik dan budaya yang tak ternilai harganya, salah satunya adalah bahasa. Peta bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (2008) mengidentifikasi 442 bahasa daerah di Indonesia. Bertolak dari keragaman itu, bangsa Indonesia menjadi lebih paham akan arti persatuan. Meskipun beragam latar bahasanya, bangsa Indonesia terhubung melalui bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Kesadaran berbahasa yang satu ini tercetus dari ikrar Sumpah Pemuda. Para pemuda saat itu (1928) melihat perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaannya selalu gagal. Perbedaan bahasa dilihat para pemuda menjadi salah satu faktor kegagalan perjuangan kemerdekaan negara Indonesia.
Pemuda Indonesia saat itu baru sekedar mencanangkan bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia belum sampai pada tahap kajian dan dasar-dasar isi dari kosa kata bahasa Indonesia. Barulah pada tahun 1938 dilakukan kongres bahasa yang pertama di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres ini Ki Hajar Dewantara mengatakan bahasa Indonesia berasal dari dialek baku bahasa Melayu Riau.
Hal ini dipertegas kembali pada Kongres Bahasa Indonesia II pada 1954 di Medan, Sumatera Utara. Pada kongres ini disimpulkan asal (dasar) bahasa Indonesia dari bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia.
Adapun pertimbangan pertama dasar bahasa Indonesia itu dari bahasa Melayu Riau, sebab jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di RI. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibanding dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa; halus, biasa, kasar.
Pertimbangan kedua, suku Melayu berasal dari Riau, bahkan Sultan Melaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Melaka direbut oleh Portugis. Ini memperkuat dan memperjelas bahwa kawasan Asia Tenggara saat itu mengenal kejayaan Kesultanan Melaka.
Pertimbangan ketiga bahwa bahasa Melayu sebagai lingua franca; bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh, misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, ataupun dari bahasa lainnya. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya di Indonesia, melainkan di Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Namun sayangnya perkembangan zaman yang kian hari kian maju cenderung mengakibatkan penggunaan bahasa Indonesia tergeser oleh penggunaan bahasa asing. Masyarakat Indonesia kian merasa bangga ketika mereka mampu menguasai dan ahli dalam menggunakan bahasa asing karena akan menimbulkan kesan bahwa gaya hidup mereka sudah semakin modern.
Banyak masyarakat Indonesia merasa bangga menggunakan bahasa asing. Bahkan orang tua banyak yang menginginkan anak-anaknya sekolah di tempat yang menempatkan bahasa asing di sekolahnya menjadi bahasa pengantar. Sampai-sampai orang tua mencarikan anak-anaknya les bahasa asing itu untuk lebih memperkaya pengetahuan anak akan bahasa asing itu.
Jadi terkesan bahasa Indonesia dianggap sebelah mata bagi sebagian masyarakat Indonesia. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kecintaan masyarakat Indonesia dengan bahasa negaranya sendiri. Misalnya dengan menggiatkan kegiatan apresiasi sastra dan bulan bahasa yang diselenggarakan setiap tahunnya pada bulan Oktober.
Dengan adanya bulan bahasa diharapkan dapat meningkatkan semangat untuk terus memelihara bahasa Indonesia, meningkatkan apresiasi terhadap bahasa dan sastra Indonesia, serta meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia.
Peringatan bulan bahasa terdiri dari beberapa kegiatan yaitu kegiatan yang diadakan sebagai ajang berkarya atau berekspresi, sebagai ajang peningkatan kualitas berbahasa Indonesia, serta ada pula kegiatan yang diadakan sebagai ajang perlombaan.
Para siswa diajak berperan serta mengikuti berbagai lomba, mulai lomba pidato berbahasa Indonesia, lomba membuat dan membaca puisi, syair, dan pantun. Kegiatan ini dapat merangsang minat pelajar untuk berpartisipasi dalam perayaan bulan bahasa. Dengan demikian, setiap pelajar dapat lebih meningkatkan rasa cinta terhadap bahasa dan sastra Indonesia di tengah maraknya bahasa gaul yang melenceng dari kaidah-kaidah bahasa Indonesia.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kecintaan masyarakat khususnya pelajar terhadap bahasa Indonesia yaitu dengan dibuatnya sebuah aturan yang mempertegas pelaksanaan kegiatan bulan bahasa di sekolah-sekolah. Karena jika tidak ada aturan yang tegas, maka akan timbul sikap meremehkan perayaan bulan bahasa. Sedangkan lembaga pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan wadah yang paling efektif untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.
Meskipun penggunaan bahasa Indonesia cenderung tergusur oleh pemakaian bahasa gaul dan asing, bahasa Indonesia masih tetap memegang fungsinya sebagai sarana komunikasi yang menyatukan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengutamaan bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bukan hanya tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), melainkan juga tugas seluruh rakyat Indonesia.
Kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap tahun adalah upaya untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, serta bertekad memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa dan sastra itu.
Melalui kegiatan dalam acara bulan bahasa yang atraktif akan menarik semua pihak untuk belajar bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Karena jika bukan masyarakat Indonesia, siapa lagi yang akan mempertahankan bahasa Indonesia. ***