PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Mengatasi permasalahan kekosongan cabai di beberapa pasar tradisonal di Pekanbaru, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pekanbaru bersama Disperindag Provinsi Riau akan menggelar Rapat Koordinasi membahas persoalan itu.
"Senin, (31/10), kita adakan rapat bersama, membahas kekosongan cabai di pasar tradisional di Pekanbaru. Dalam rapat bersama Badan Ketahanan Pangan Riau dan Dinas Pertanian dan Peternakan, kita mengusulkan ke pemerintah pusat untuk membuka keran impor cabai dari negara yang tergabung di MEA. Kekosongan cabai asal Sumatera Barat di Pekanbaru sudah terjadi sejak Senin, (24/10), kini harganya naik. Kran imporlah yang jadi solusi untuk persoalan ini," kata Kepala Bidang Perdagangan Disperindag Pekanbaru, Masirba H. Sulaiman, Kamis, (27/10).
Berdasarkan informasi yang diterima dari sentra cabai di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Jambi, kekosongan terjadi karena faktor cuaca panas tinggi. Menyebabkan hasil panen menurun hampir 60 persen, faktor lain karena transportasi yang terhambat.
"Karena itulah kita mengusulkan ke pemerintah pusat untuk membuka kran impor, diperkirakan cabai akan dipasok dari negara yang tergabung di dalam MEA, yang potensi hasil cabainya surflus (melebihi). Kini kita hanya mengandalkan cabai dari Jawa saja, makanya harga jadi mahal. Kalau kita anjurkan masyarakat dan pelaku usaha sementara memakai cabai kering, belum tentu semua mau," kata Irba.
Pantauan di beberapa pasar tradisional di Pekanbaru, harga cabai memang cukup tinggi dibanding biasanya, seperti yang terjadi di Pasar Sail, Jalan Hangtuah. Satu kilogram cabai dijual Rp 75 ribu, menyebabkan keresahan bagi masyarakat terutama Ibu- ibu. Salah seorang warga ditemui di lokasi, Waris, mengaku, harga cabai kini memang mahal, kalau biasa dia membeli per kilogram, sekarang hanya setengahnya.
"Mahal cabai di pasar sekarang, sekilo aja Rp 75 ribu, saya beli setengah saja, nanti rencananya kalau sore pasar kaget buka, beli lagi disana," kata Waris.(Her)
Selengkapnya di Koran Haluan Riau edisi 28 Oktober 2016
Editor: Nandra F Piliang