JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Kementerian Dalam Negeri telah memjatuhkan sanksi kepada sedikitnya 105 pejabat daerah yang terlibat praktik pungutan liar alis pungli dan korupsi. Selain penurunan pangkat, sanksi yang diberikan juga berupa pemberhentian secara tidak hormat.
"Tingkat kepala daerah itu mencapai 105, baik gubernur, wakil gubernur, anggota DPRD kota/kabupaten dan provinsi. Baik yang OTT maupun kasus tersangka korupsi, termasuk hal-hal yang 105 Pejabat berkaitan dengan sanksi," kata Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo di Jakarta, Rabu (19/10).
Tjahjo mengatakan, penting bagi pejabat daerah untuk dapat memahami perencanaan anggaran, dana hibah dan bantuan sosial, pengadaan barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, serta perizinan. Jika hal itu dipahami, pejabat negara akan dapat menghindari pungli dan korupsi yang dapat merugikan negara.
Adapun di internal Kemendagri, Tjahjo mengatakan telah memberikan sanksi bagi 24 bawahannya yang terlibat kasus serupa. "Lingkup pusat sendiri sudah mulai kami pecat, berhentikan dengan tidak hormat, kami beri sanksi pangkat diturunkan, jumlahnya 24 orang. Kita juga telah berhentikan tidak hormat dua orang Direktur IPDN," kata Tjahjo.
Jadi Gerakan Nasional Presiden Joko Widodo menginginkan pemberantasan praktik pungli sebagai sebuah gerakan nasional. Jokowi juga telah menginstruksikan Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Tito Karnavian dan Jaksa Agung Prasetyo, untuk ikut aktif memberantas pungli di internal institusi masing-masing.
"Presiden sudah memberikan instruksi agar pemberantasan pungli tidak hanya dilakukan di luar lembaga kepolisian dan kejaksaan saja, tetapi di internal kepolisian dan kejaksaan itu sendiri juga perlu dilakukan. Jadi yang namanya pemberantasan pungli ini jadi gerakan nasional," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung di kantornya, Rabu (19/10).
Pramono menegaskan, melalui instruksi itu, Presiden Jokowi benar-benar ingin mewujudkan pelayanan publik yang nyaman. Apalagi, pemerintah telah membentuk tim Sapu Bersih Pungutan Liar atau yang disingkat "Saber Pungli". "Beliau akan sungguh-sungguh mengkoordinasikan tim Saber Pungli ini," ujar Pramono.
Dalam waktu dekat katanya, Presiden akan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum dibentuknya tim Saber Pungli. "Mudah-mudahan besok (hari ini, red), Perpres Saber Pungli bisa ditandatangani Presiden," ujar Pramono.
Direktur Pusat Studi Antikorupsi Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin menyebut, upaya pemberantasan pungli harus dilakukan per sektoral, bukan secara makro. Sebab menurutnya, masing-masing sektor memiliki keterkaitan dan karakteristik yang berbeda-beda.
"Yang harus dipikirkan bagaimana menemukan akar persoalannya secara sektoral, satu per satu harus dijawab, jangan secara gelondongan karena pasti tidak akan menyelesaikan masalah," kata Zainal.
Dia berpendapat, model pelayanan e-government yang saat ini telah diterapkan di beberapa kota, seharusnya dapat diadopsi secara nasional dan menjadi gerakan bersama. Cara itu sebagai upaya memotong jalur pungli. Fungsi kelembagaan pengawasan yang sudah ada di setiap kementerian atau lembaga, juga perlu dioptimalkan.
Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto mengatakan, berdasarkan kajian internalnya pada periode 2010-2015, pungli berada di urutan kesembilan dari 12 pelanggaran kasus korupsi. Sebanyak 43 kasus telah ditangani kepolisian, kejaksaan, dan KPK. "Saya melihat pungli dampaknya sangat terasa kepada masyarakat," kata Agus.
Dia mengatakan, pemberantasan korupsi memerlukan koordinasi antar lembaga pusat dan daerah. Penguatan Aparat Pengawas Internal Pemerintahan (APIP) di setiap instansi juga perlu ditingkatkan. Dia menilai pembentukan satuan tugas pemberantasan pungli oleh pemerintah hanya bersifat sementara.
"Satgas sifatnya temporer, harus ada pembenahan internal. Yang penting mengoptimalkan aparatur pengawas internalnya," kata Agus dikutip kompas.com.
Agus menuturkan, persoalan pungli berkaitan erat dengan permasalahan keterbukaan data dan informasi. Senada dengan Zainal, Agus juga mengusulkan agar upaya pemberantasan pungli dilakukan dengan optimalisasi e-budgeting dan e-procurement.
Dari perspektif administrasi negara, Deputi Kajian Kebijakan LAN Muhammad Taufiq mengatakan pungli tumbuh subur karena adanya pejabat yang memperdagangkan pengaruhnya. Hal itu ditambah dengan birokrasi yang berbelit, sehingga masyarakat mencari cara mudah untuk menyelesaikan pelayanan publik.
"Persoalan pungli muncul karena birokrasi berbelit sehingga masyarakat mencari jalan pintas, tidak mau repot," kata Taufiq.
Selama ini, menurutnya, laporan yang diterima tidak ditindaklanjuti sebagai upaya pembenahan birokrasi. Pimpinan selaku pengambil keputusan justru membiarkannya karena akan merusak nama baik lembaganya. "Banyak yang enggan menindaklanjuti laporan karena membongkar birokrasi rumahnya sendiri," kata Taufiq. (h/yan)