JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Dua tahun pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dinilai belum membawa perbaikan bagi perekonomian di Tanah Air. Meski sejumlah lembaga survei kerap menilai kinerja ekonomi pemerintah terus meningkat, namun dia menilai fakta berbicara lain, jauh panggang dari api.
"Perekonomian Indonesia mengalami stagnasi serius, bahkan cenderung menurun. Indikatornya, tahun 2014 ekonomi tumbuh 5,02 persen dan tahun 2015 turun menjadi 4,8 persen," ungkap anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan, Selasa (18/10). Menurut Heri, stagnan di sektor ekonomi tersebut berdampak pada meningkatnya angka pengangguran hingga 6,81 persen.
Ekonomi Begitu juga kemiskinan absolut sudah mencapai 28,3 juta jiwa dan inflasi meningkat 5,73 persen. Nilai ekspor Indonesia juga menurun. Per Oktober, nilai ekspor masih mencapai Rp200 triliun. Tapi, per Mei 2016 tinggal Rp160 triliun. Jadi, ada penurunan sebesar Rp40 triliun.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga terus tergerus utang. Dijelaskan politisi Partai Gerindra ini, pada Oktober 2014 utang pemerintah hanya Rp2.600 triliun. Per Mei 2016 sudah melonjak menjadi Rp3.320 triliun. Sementara cadangan devisa Indonesia hanya USD 103,56 miliar.
“Ini bisa dikualifikasikan sebagai posisi kritis di tengah nilai ekspor yang menurun dan tuntutan pembayaran utang plus bunga utang yang membengkak,” tambahnya.
Kondisi utang terkini Indonesia, sambung Heri, memberi kontraksi pada nilai tukar rupiah yang masih bertengger di kisaran Rp13.000. Di sektor pajak, struktur penerimaan pajak dalam APBN makin menurun. Padahal, APBN sangat bergantung pada penerimaan pajak.
“Kita memang tertolong dengan adanya hasil tax amnesty. Namun, itu belum maksimal. Sebab, selain repatriasi dana dari luar negeri belum memenuhi target, juga dampaknya pada ekonomi riil belum terukur,” katanya.
Tidak hanya itu, nilai tukar petani juga menurun dari angka 102,87 tahun 2014 menjadi 101,64 tahun 2016. Ini berarti, kualitas kehidupan dan kesejahteraan petani belum terjamin secara maksimal. Inilah sisi minus perekonomian nasional selama dua tahun pemerintahan berjalan di bawah Presiden Joko Widodo.
“Saya bisa menyimpulkan bahwa selama ini, kepuasan masyarakat yang sering disebut-sebut itu hanya bagian dari citra dan pencitraan. Tapi, kalau kita turun ke daerah dan lapangan, berbagai masalah masih muncul. Semuanya bersumber dari mundurnya ekonomi-keuangan yang cukup serius. Apalagi baru-baru ini pemerintah kita telah melakukan pemangkasan anggaran transfer daerah, sehingga menjadikan batalnya beberapa program pembangunan di daerah-daerah,” papar Heri.
Mencermati fakta ini, Heri berpendapat, ke depan ekonomi nasional akan terus tertekan. Untuk itu, politisi dari dapil Jabar IV itu berharap, agar pemerintah kembali ke jalan yang benar sesuai cita-cita kemerdekaan dan konstitusi. Pemerintah mestinya sudah bisa menghadirkan sistem ekonomi-keuangan yang sehat dan kredibel.
Pengaruh Dunia Sebelumnya, Ekonom BCA, David Sumual, mengatakan, menurunnya perekonomian di Tanah Air, juga tak terlepas dari perlambatan ekonomi dunia.
"Secara detil nilai ekspor maupun impor turunnya cukup kencang per bulannya. Dulu kan USD17-18 miliar, sekarang karena volume perdagangan dunianya juga turun, sebulannya sekitar USD10-12 miliar, ekspor maupun impor nilainya turun signifikan," ujarnya.
Hal yang sama juga diakui Kepala Perwakilan ADB Indonesia, Steven Tabor. Pada 27 September lalu, Steve mengatakan, ekspor dan impor Indonesia cenderung turun, sehingga kurang baik bagi ekonomi Indonesia.
Steve menilai, penurunan ekspor berkaitan dengan dua faktor. Antara lain, harga komoditas masih lemah walaupun lebih baik dari tahun lalu dan yang kedua manufaktur sedang menurun.
"Berarti ekspor tekstil, sepatu, dan lain-lain itu tidak terlalu baik. Itu karena permintaan pasar dunia agak lemah, dampak terhadap proteksi yang tinggi seperti kenaikan pajak impor di beberapa negara," ujarnya.
Sedangkan Ketua DPD RI, Mohammad Saleh menilai, secara umum kebijakan-kebijakan pemerintahsudah baik. Jika ada perlambatan, hal tersebut merupakan dampak ekonomi dunia. Meski begitu, ia menginginkan agar khususnya sektor pertanian dan keuangan ke depannya lebih digenjot.
"Pertanian, karena kita mau soal ketahanan pangan. Kemudian industri keuangan," ujarnya, Kamis lalu. Salah satu yang disorotinya adalah bagaimana agar ke depan petani bisa memiliki akses ke lembaga perbankan. "Makanya kenapa pemerintah keluarkan KUR dengan bunga rendah. Kemudian ada asuransi kredit Indonesia untuk petani dan menjamin UMKM," kata senator asal Bengkulu itu.
Selain itu, potensi negara lainnya yang menurut Saleh perlu diperhatikan adalah sawit dan karet. Jika potensi jeduanya dimanfaatkan dengan baik, ekonomi Indonesia akan menguat.
"Di daerah kan sangat tergantung pada komoditi. Hampir semua Sumatera, Kalimantan kan sawit semua. Sekarang yang menjerit petani karet. Harganya jauh di bawah 1 dollar per kilogram. Kalau 1 dollar per kilogram, mantap itu," tutup dia. (sam, bbs, okz, kom, sis)