TENTARA Nasional Indonesia (TNI) punya andil besar dalam ‘melahirkan’ Indonesia, tak ternilai pengorbanan mereka untuk republik ini. Demi tegaknya sang saka merah putih dan martabat ibu pertiwi, darah bahkan nyawa mereka berikan demi Indonesia.
Tepat pada tanggal 5 Oktober diperingati sebagai HUT (Hari Ulang Tahun) ke-71 TNI. Secara historis, TNI lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata.
TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer internasional, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).
Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara reguler dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden mengesahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (tni.mil.id, Puspen TNI)
Mengutip perkataan Jenderal Sudirman dalam setiap pidato-pidatonya ‘kita bukan tentara bayaran, kita adalah tentara pejuang’.
TNI yang mengusung motto ‘kemanunggalan dengan rakyat’ harus segera mengaktualisasikan kata-kata tersebut di setiap fase sejarahnya. Di setiap perannya di masyarakat, baik dalam tugas besar maupun kecil.
Tak berlebihan jika masyarakat masih menganggap bahwa TNI termasuk salah satu institusi/lembaga negara yang bersih, walaupun tidak dipungkiri juga bahwa masih banyak terjadi ‘abuse of power’ di sana-sini. Terseretnya nama TNI dalam pengakuan Freddy Budiman soal distribusi narkoba dengan memakai bantuan jenderal TNI bintang dua, mencoreng muka TNI di tengah-tengah kepercayaan publik yang tinggi pada TNI.
Survey dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) di tahun 2016 menempatkan TNI sebagai lembaga negara yang mendapat kepercayaan masyarakat paling tinggi dengan persentase 89 persen, disusul Presiden 83 persen dan KPK 82 persen. Hal ini tidak pula mengejutkan kita, karena TNI selalu hadir dalam agenda-agenda kerakyatan, seperti: penanggulangan bencana, ketahanan pangan, pun membantu Kepolisian menjaga kamtibmas di masyarakat.
Modal sosial yang tinggi tersebut, harus dijaga dengan konsisten. Paska pengakuan Freddy, belakangan TNI kembali mencoreng wajahnya sendiri akibat ulah ‘oknum’ TNI AU di Sarirejo Medan yang melakukan tindakan represif pada masyarakat maupun insan pers.
Dalam situasi yang konfliktual seperti itu, kita kemudian bertanya-tanya, di mana prinsip kemanunggalan itu, benarkah survey SMRC itu?Tidak adil memvonis TNI dengan dua noktah hitam di atas, jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan. Akan tetapi, substansinya adalah kembali pada jargon-jargon yang dibuat oleh TNI itu sendiri ‘Bersama Rakyat, TNI kuat’. Bahwa rakyat bukan musuh TNI, dalam situasi apapun, justru TNI harus berada di posisi yang berpihak pada rakyat.
Pendek kata, jangan sesekali melukai hati rakyat.
TNI lahir dari rahim rakyat, mengabdikan diri pada rakyat adalah mutlak. Persoalan yang lebih penting lagi adalah ‘politik tentara’. Arogansi dan abusing of power dalam konteks persinggungan dengan aktivitas masyarakat masih menjadi variabel kecil dalam tindak-tanduk tentara kita, yang lebih esensial adalah perannya dalam politik nasional.
Konsepsi AH Nasution yang pada akhirnya dikenal sebagai ‘jalan tengah tentara’ membuka pintu terbuka pada ‘political will’ secara mendasar bagi kelompok militer untuk masuk ke dalam kawasan yang lebih nyata dan semakin luas.
Dan itu pula yang pertama kalinya inti formulasi konsep dwi fungsi ABRI, dalam konteks ini militer Indonesia tidak saja berfungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan, akan tetapi juga mengambil bagian di dalam peranan sebagai kekuatan sosial-politik dalam pengelolaan negara (Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, 2012) 32 tahun TNI menguasai sendi-sendi kehidupan bernegara kita membuat TNI masuk dalam sejarah bangsa dalam rezim otoritarianisme. TNI memegang penuh kendali aktivitas politik nasional. Namun 1998, gerakan rakyat menyudahi geliat politik TNI, sampai sekarang TNI kembali ke tupoksinya sebagai alat negara, aparat negara. TNI sebagai aparat yang dipersenjatai oleh negara tidak boleh ikut campur dalam politik nasional.
Mengapa? Karena tugas TNI semakin kemari semakin nyata. Ancaman eksternal lebih memiliki urgensi untuk diantisipasi ketimbang mengurusi hiruk-pikuk politik nasional. Pun mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan ‘adalah hal yang wajar dan benar apabila seorang prajurit berkeinginan untuk menjadi jenderal, laksamana atau marsekal, demi pengabdian yang lebih luas lagi kepada negara, yang tidak benar kalau kalian memasuki akademi TNI Polisi lantas cita-citanya ingin menjadi Bupati, Walikota, Gubernur, dan lain-lain’ (antaranews.com, 22/12/09) Kedaulatan Penggunaan kekuatan militer adalah hal yang niscaya dalam politik internasional. Situasi politik global yang dinamis bukan tidak mungkin akan menyeret Indonesia juga dalam konflik bersenjata.
Indonesia yang ‘like a paradise’ (seperti surga), Indonesia memiliki segalanya (sumber daya alam yang melimpah ruah) membuat setiap negara dunia tergiur akan suburnya tanah Indonesia. Dalam teori hubungan internasional, negara-negara metropolis (maju) akan terus menancapkan dominasinya pada negara-negara satelit (berkembang), alasannya sederhana, yakni soal sumber daya alam (SDA).
Di tahun 2015 tercatat ada 9 kali pesawat Malaysia melintasi udara Indonesia di Ambalat tanpa izin, keberanian kapal Coast Guard Tiongkok yang mengintervensi kapal patroli KKP di perairan Natuna, Abu Sayyaf yang mengulangi perbuatannya menyandera WNI adalah sederet sinyalemen bahwa kedaulatan Indonesia sedang diuji. Secara implisit, dengan tindakan tersebut, mereka sudah melecehkan kedaulatan Indonesia. Kejadian tersebut adalah cambuk bagi TNI, sebagai garda terdepan pembela kedaulatan Indonesia.
Jumlah prajurit TNI juga tidak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta lebih penduduk. Tercatat jumlah TNI di tahun 2015 sebanyak 129.075.188 dengan rincian, personil aktif: 476.000, personil cadangan: 400.000. Sungguh sangat sedikit, hal ini semakin menegaskan bahwa kekuatan Indonesia secara militer belum memadai.
TNI harus berbenah di segala lini. Ancaman kedaulatan yang mengancam NKRI harus menjadi fokus TNI. Kapasitas pasukan elit Indonesia yang diakui dunia seperti Denjaka milik Angkatan Laut dan Kopassus milik Angkatan Darat, serta berbagai prestasi menembak di kancah dunia tidak boleh menjadikan TNI jumawa, sehingga mengabaikan tanggungjawabnya.
HUT TNI ini adalah momentum refleksi dan introspeksi diri bagi TNI, TNI harus segera dikuatkan, Indonesia harus utuh dari gangguan negara lain, kedaulatan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar. TNI harus bersih dari segala penyakit internal: virus politik praktis, membekingi tindak kejahatan, dan seluruh tindakan yang diluar tupoksi TNI. TNI harus menjelma menjadi tentara rakyat, bukan tentara pemilik kuasa! ***