CHIANG MAI (RIAUMANDIRI.co) - Cantik itu relatif. Namun bagi suku di Thailand utara, cantik itu kalau punya leher yang panjang. Mungkin perempuan inilah yang paling cantik di utara Thailand.
Di Thailand sebelah utara, wisatawan bisa berjumpa dengan etnis hill tribes, suku-suku pegunungan. Dalam kajian etnografi, mereka terbagi dalam beberapa suku dan mendiami Thailand dan Myanmar.
Kalau liburan ke Chiang Mai, kita bisa menjumpai mereka di desa wisata Baan Tong Luang di pinggir kota. detikTravel mengunjungi desa ini saat diundang Tourism Authority of Thailand (TAT), Sabtu (24/9/2016).
Di desa kaki perbukitan Suthep ini, tinggal 8 suku pegunungan mulai dari Yao, Hmong, Padong, Kayaw, Karen, Lahu, Palong dan Akha. Rupanya desa ini diciptakan dengan segaja tahun 2003 oleh Choochart Kalamapijit, pemilik tempat penangkaran gajah Maesa Elephant Camp.
"Jadi awalnya dia ingin meningkatkan perekonomian keluarga suku-suku pegunungan yang bekerja sebagai pawang gajah. Jadi dia kumpulkan semua, dibikin desanya, nanti wisatawan bisa datang berkunjung," kata pemandu saya Pai Boon.
Rumah-rumah tradisional dari kayu bertebaran di kanan dan kiri jalan desa beralas tanah. Atap rumah mereka adalah semacam rumbia. Ada petak-petak sawah, dan tampak lah perempuan-perempuan dengan baju tenun tradisional. Kemana para prianya?
"Para prianya bekerja menjadi pawang gajah, yang perempuan berjualan suvenir dan menenun kain yang nantinya bisa dibeli wisatawan," kata Pai Boon. Satu suku, dibuatkan semacam gapura kayu. Saya melewati gapura Suku Akha yang artinya rumah-rumah yang di dalam didiami etnis Akha. Kemudian saya sampai di gapura Suku Karen. Nah ini dia yang paling tersohor.
Suku Karen terkenal di dunia dengan perempuan yang berleher panjang. Bagi mereka, semakin panjang, semakin cantik. Oleh karena itu leher mereka dipasangi gelang logam yang ditambah perlahan-lahan bertahun-tahun sampai lehernya menjadi panjang. Wow!
Suku Karen ternyata dibagi dalam beberapa sub etnis lagi. Kayaw Karen tidak memanjangkan leher mereka, hanya memakai anting perak yang besar dan gelang logam di kaki. Nah, Padong Karen atau Kayang Karen, mereka inilah yang memakai gelang logam di leher mereka.
Saya pun berkenalan dengan seorang gadis Karen yang berjualan kain tenun dan suvenir di depan rumahnya. Namanya Mano, wajahnya paling cantik dibandingkan perempuan Karen lainnya yang saya lihat.
Mano memakai baju putih yang artinya dia belum menikah. Rambutnya berhias manik-manik dan bunga, sementara kening, pipi dan hidungnya diberi riasan tradisional berbentuk garis dan lingkaran kuning. Rambutnya hitam lurus dan panjang.
Dengan usia sekitar awal 20-an, Mano sudah memakai gelang leher dengan tumpukan sepanjang satu jengkal, sekitar 20 tingkat. Di samping Mano, ada aksesoris gelang serupa, saya mencoba mengangkatnya. Wow, cukup berat seperti barbel 1 kg.
Mungkin memang benar istilah 'Beauty is Pain'. Tiap budaya di dunia punya definisi soal cantik, namun dengan aksesoris yang mungkin menyiksa perempuan. Padahal tanpa gelang lehernya, Mano sudah cukup manis.
Oh iya, jangan lewatkan kesempatan belanja di desa ini ya. Kain tenunnya tidak mahal, harganya 100-200 Baht (Rp 37 ribu-112 ribu) bergantung jenis dan motif. (dtk/ivn)