Menyigi Fenomena “Mukidi”

Sabtu, 01 Oktober 2016 - 08:17 WIB

BEBERAPA hari terakhir “Mukidi” menjadi tokoh yang paling banyak diperbincangkan. Sosok fiksi dengan kisah humornya itu telah menjadi viral di berbagai media sosial dan aplikasi pesan instan. Mukidi muncul dalam beragam peran. Ia bisa berperan sebagai ayah, terkadang juga anak dan sekali-kali menjadi kakek. Mukidi menjadi sosok yang lugu, polos, bodoh, tapi juga cerdas.

Kini, kehadiran Mukidi sangat nanti dan dinikmati publik. Bahkan sekarang dalam lintas komunikasi, apapun yang berbau humor selalu dikaitkan dengan Mukidi. Apa sesungguhnya membuat Mukidi menjadi terkenal dan diminati Publik, terutama di media sosial? Setidaknya ada beberapa alasan.

Pertama, secara psikologis kelahiran Mukidi memiliki momentum yang tepat dengan kondisi rakyat. Persoalan yang menimpa rakyat hari ini dan juga politik telah membuat pikiran menjadi suntuk.

Berkurangnya pendapatan rakyat dengan turunnya harga komoditi utama seperti sawit dan karet dan berbagai persoalan lainnya. Sehingga sosok Mukidi menjadi pelarian terhadap segala kepenatan hidup.

Seperti ungkapan Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Musni Umar yang menyebutnya sebagai tempat perlarian banyak masyarakat dari sejumlah persoalan bangsa.

Kedua, kurang amannya melakukan kritik di media sosial atau internet. Selama ini banyak pihak yang mulai ketakukan melakukan kritik, karena adanya ancaman diawasi oleh pihak berwajib. Apalagi ancaman hukuman dalam undang-undang ITE sangat berat. Sehingga dicari personifikasi dalam melampiaskan kegundahan terhadap persoalan yang dihadapi.

Untuk itu Mukidi bisa jadi mewakili suara rakyat dalam menyampaikan aspirasi mereka, sekaligus mampu membuat mereka tersenyum. Dalam bahasa pengamat perkotaan JF Warouw Mukidi boleh jadi dipakai untuk mewakili sosok yang ingin dibicarakan tanpa menyinggung langsung orang yang bersangkutan.

Ketiga, tempat tinggal Mukidi. Mukidi memiliki rumah yang bernama media sosial. Melalui rumah ini Mukidi menjadi mudah untuk menyapa semua penggemarnya. Apalagi tidak mengeluarkan biaya.

Aplikasi seperti WhatsApp, Facebook, Line dan lain-lain membuat Mukidi kian menjadi bahan perbincangan. Orang-orang dengan mudah menemui Mukidi tanpa harus melewati protokoler yang rumit dan biaya yang selangit.

Cukup dengan memiliki aplikasi tersebut, Mukidi akan membuat perut tak berhenti berguncang akibat tingkah laku Mukidi yang memantik gelak tawa bagi yang membaca. Kini, Mukidi dengan segala potensinya mencoba hadir sebagai personifikasi keseharian anak bangsa ini.

Dengan keluguan dan kepolosannya terkadang sedang menguji kesabaran setiap orang. Apalagi ketika kesabaran anak bangsa semakin hari semakin berkurang akibat berjuang dalam memperjuangkan kehidupannya.

Hal ini terlihat dalam cerita Mukidi yang menjadi murid. Didalamnya diceritakan bagaimana ibu gurunya menanyakan nama-nama binatang yang diawali dengan huruf. Apapun huruf yang disebutkan gurunya, Mukidi selalu menjawab dengan nama satu binatang yakni gajah. Dan akhirnya ibu gurunya kesal terhadap Mukidi.

Kehadiran Mukidi dengan laku humornya, membuat publik mendapat teman baru dalam menjalani kehidupan ini. Walaupun ia fiktif, tapi sejatinya kehadiran terasa nyata dalam arus kehidupan. Publik seakan penat dengan segala ungkapan  keseriusan dan obsesi yang besar tapi hasilnya tidak membawa perubahan.

Atau jangan-jangan keseriusan hanyalah pandangan di permukaan, tapi sesungguhnya dagelan. Publik letih dengan segala kepura-puraan politik dengan segala aksesorisnya. Dan akhirnya menemukan Mukidi yang bisa membuat mereka tersenyum bahkan sampai terpingkal-pingkal.

Mukidi tidak hanya berasal dari Cilacap atau Madura. Mukidi bisa lahir dari rahim setiap daerah. Menggelitik masyarakatnya lewat keletahnya yang sederhana, tapi menyimpan makna yang mendalam.

Apalagi Mukidi terlahir dalam kesederhanaan dan sedikit ndeso atau kampungan dengan nama dan tingkahnya.Namun Mukidi tidak malu dan mudah putus asa dalam menjalani hidupnya.

Bisa jadi kesederhanaan Mukidi adalah gambaran  sebagian besar anak bangsa ini yang hidup dalam kesederhanaan (sebuah ungkapan untuk tidak menyatakannya dalam kesulitan), yang tidak punya banyak pilihan dan akhirnya legowo dengan kesederhanaan.

Apapun yang terjadi dalam kehidupan, Mukidi telah lahir dan menjadi “idola” baru rakyat negeri ini. Dan kehadirannya menyisakan harapan bahwa anak bangsa ini masih bisa tertawa dan menikmatinya.

Artinya, denyut kehidupan itu masih berdetak dalam jantung anak bangsa. Apalagi tertawa dan menertawakan, termasuk menertawakan diri sendiri itu tidak dilarang di Indonesia. Seperti ungkapan pentolan klub lawak popular tanah air tempo dulu, “tertawalah sebelum tertawa itu dilarang”. Hanya saja jangan terus-terus tertawa tanpa henti, sebab bisa saja itu pertanda kelainan jiwa.

Dan penulis pun takut, jangan-jangan Mukidi bilang, “ini akibat menyigi saya, padahal saya tidak menyigi anda-anda, kok saya disigi-sigi apalagi disuruh gosok gigi. He. he...,”. Wallahu’alam.****

Editor:

Terkini

Terpopuler