“.... bahwa revolusi tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi; Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan! Tanah untuk tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1960) PIDATO Presiden Soekarno tersebut menegaskan bahwa gagasan pembaruan agraria merupakan landasan untuk mewujudkan kemerdekaan seutuhnya dari kolonialisme beserta sistem warisannya.
Penjajahan kolonialisme telah mewariskan ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah sedemikian rupa, sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan yang sangat dalam terhadap negeri kita.
Para pendiri bangsa memiliki sikap dan pandangan yang sama akan pentingnya penataan kembali struktur penguasaan dan kepemilikan tanah, sebagai fondasi membangun bangsa yang merdeka dan berdaulat sehingga lahir UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang merupakan penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Melalui Keputusan Presiden No 169 Tahun 1963, hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria tersebut ditetapkan sebagai Hari Tani.
Dalam keputusan tersebut, dinyatakan bahwa lahirnya UUPA menandai kemenangan rakyat tani dengan diletakkannya dasar-dasar bagi pelaksanaan land reform untuk mengikis habis feodalisme dan penghisapan manusia atas manusia lewat penguasaan tanah. Atas dasar tersebut setiap 24 September kaum petani memperingatinya sebagai Hari Tani Nasional. Sebagai pengingat bahwa tonggak kemenangan rakyat tani atas lahirnya UUPA belum terwujud tanpa dijalankannya pembaruan agraria.
Terus berjuang Pada peringatan Hari Tani 2016 ini, Undang-Undang Pokok Agraria genap berusia 56 tahun. Selama itu pula, kaum tani masih terus berjuang agar UUPA segera dijalankan sebagai cita-cita kaum tani dan para pendiri bangsa.
Hal ini disebabkan ingkarnya para penguasa terhadap mandat UUPA, sehingga ketimpangan agraria warisan kolonial terus berlangsung dan bertambah parah. Ledakan konflik agraria di berbagai daerah terus terjadi, sebagai cermin praktik perampasan tanah dan ketimpangan agraria. Jutaan petani masih bersimbah darah dan air mata, tergusur dan terbunuh demi mempertahankan dan memperjuangkan tanahnya.
Transisi kepemimpinan nasional pada Pilpres 2014, membangkitkan harapan kaum tani akan terwujudnya keadilan agraria. Harapan besar tersebut, lahir dari ideologi Trisakti dan Nawa Cita (9 agenda prioritas) yang diusung oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam Nawa Cita kelima disebutkan agenda reforma agraria dalam bentuk land reform, redistribusi 9 juta hektare tanah untuk petani.
Tak berlebihan pula jika kaum tani menumpukan harapan akan perubahan yang dicita-citakan para pendiri bangsa untuk memerdekakan rakyat seutuhnya dari belenggu eksploitasi warisan kolonialisme. Meski demikian, implementasi agenda Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan tidak semudah membalik telapak tangan. Harapan dari 14,62 juta keluarga petani gurem atas land reform mesti ditanggalkan.
Cengkeraman kekuatan modal atas negara telah membelokkan agenda reforma agraria agar tidak dilaksanakan atau direduksi agar sesuai dengan kepentingan pasar. Reforma agraria diterjemahkan dengan makna yang sangat jauh berbeda bahkan bertentangan dengan mandat UUPA.
Agenda liberalisasi Dalam dokumen RPJMN telah terjadi distorsi makna dan pembelokan arah reforma agraria. Hanya 4,5 juta hektare tanah yang akan didistribusikan kepada rakyat dan 4,5 juta hektare adalah program sertifikasi tanah.
Artinya, hanya 4,5 juta hektare yang akan didistribusikan, yakni 4,1 juta hektare tanah hasil pembukaan lahan hutan dan 400 ribu hektare eks HGU. Kemudian 4,1 juta hektare tanah hasil pembukaan lahan hutan tersebut akan didistribusikan melalui skema kemitraan transmigrasi dan perhutanan sosial.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa telah terjadi manipulasi, yakni program reforma agraria ‘palsu’. yang sangat jauh dari cita-cita UU Nomor 5 Tahun 1960. Agenda kebijakan di sektor pertanahan yang diusung pemerintah saat ini tidak lepas dari corak pemerintah sebelumnya, melanjutkan agenda liberalisasi pasar tanah di bawah kendali kepentingan pasar serta Bank Dunia.
Masih berlanjutnya upaya-upaya untuk merevisi UU No 5 Tahun 1960 atau mengamputasinya melalui UU Pertanahan yang tengah dibahas di legislatif merupakan indikasi kepentingan pasar. Kebijakan bank tanah yang dirumuskan pemerintah saat ini makin menunjukkan bahwa tidak ada harapan akan dijalankannya reforma agraria ‘sejati’.
Saya menggunakan istilah reforma agraria ‘sejati’ untuk merujuk kepada pemaknaan reforma agraria yang sesuai dengan mandat UUPA dan cita-cita pendiri bangsa. Reforma agraria ialah, penataan ulang struktur penguasaan tanah yang diawali melalui land reform, yakni mendistribusikan tanah kepada petani kecil dan buruh tani. Pemaknaan reforma agraria yang mengingkari UUPA, sudah bisa dipastikan sebagai reforma agraria ‘palsu’.
Peringatan Hari Tani seharusnya menjadi momentum bagi bangsa kita untuk merefleksikan kembali cita-cita para pendiri bangsa dan makna sejatinya pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria. Agar bangsa kita terlepas sepenuhnya dari belenggu penjajahan, menuju bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur. Selamat Hari Tani. ***