Gunung Marapi, dari Wisata Alam Menuju Ekowisata

Kamis, 12 Februari 2015 - 09:08 WIB
ILUSTRASI.

Wisata mendaki gunung  telah lama dikenal di dalam dunia pariwisata. Di Indonesia terdapat beberapa gunung yang menjadi destinasi wisata alam menarik. Di Pulau Sumatera yang terkenal adalah Gunung Marapi, Singgalang dan Kerinci. Di Pulau Jawa  terdapat Gunung Semeru, Tangkuban Perahu, Gunung Selamet, Gunung Merapi, Bromo,  serta Gunung Rinjani di Nusatenggara Barat. Di Papua dikenal dengan Gunung Jayawijaya. Hanya di Pulau Kalimantan yang nihil gunung di Indonesia.

Tulisan ini akan memfokuskan wisata alam mendaki Gunung Marapi, Sumatera Barat yang berada pada ketinggian 2891 meter di atas permukaan laut (dpl). Gunung Marapi termasuk gunung api aktif yang menarik dan menantang untuk menikmati  keindahan alam Pulau Sumatera  dan sekaligus  menguji mental dan fisik.

Mental harus dipersiapkan dengan matang sebelum mendaki gunung. Mental pejuang tanpa kenal menyerah sebelum sampai puncak, yaitu mental kesabaran dalam rintangan dan halangan medan yang menanjak dan juga penuh risiko (jika terpeleset bisa masuk jurang). Selain itu, perlu persiapan fisik yang baik sebelum mendaki, bisa dengan lari pagi atau olahraga rutin teratur beberapa bulan sebelum mendaki. Oleh karenanya, dari sekian banyak pendaki gunung, yang sampai ke puncak hanya segelintir orang saja.

Di puncak Marapi akan dapat menikmati keindahan matahari terbenam (sunset) dan matahari terbit (sunrise) yang banyak dicari oleh para wisatawan. Bersusah payah menadaki gunung  serta risiko tinggi yang menanti, seketika terobati dengan pemandangan indah dan mempesona melihat keelokan matahari terbenam dan terbit. Selain itu di puncak Marapi juga bisa menikmati bentangan taman bunga Eldewis yang hanya dapat tumbuh di puncak pegunungan.

Keseronokan lainnya di puncak adalah melihat kawah gunung Marapi dan hamparan bebatuan dan pasir yang diselang-selingi oleh beberapa kehijauan tumbuhan.

Berkemah di sepanjang kaki gunung Marapi, mulai dari posko satu (ketinggian 1750 meter) hingga posko Cadas (sebelum sampai puncak Marapi) adalah di antara daya tarik mendaki Gunung  Marapi.  Termasuk minum teh atau kopi hangat serta menanak nasi dan menikmati mie rebus di ketinggian 29850 meter di atas permukaan laut adalah kenikmatan dan sensasi tersendiri di dalam siklus kehidupan seorang individu. Termasuk merasakan sensasi minum air pegunungan di area Pintu Angin (sebelum sampai posko Cadas) yang bisa dikonsumsi langsung tanpa direbus. Terasa begitu indah untuk dilewatkan jika tubuh masih sehat dan ada kesempatan, khususnya bagi para remaja dan pemuda.

Termasuk juga adalah adzan dan sholat berjamaah di ketinggian 2891 meter, yang Insya Allah gunung Marapi akan menjadi saksi ibadah dan ketundukan seorang hamba kepada Khalik, di hari kiamat kelak, begitu tausiyah Imam selepas salat Subuh di puncak Marapi ketika saya dan rekan-rekan mendaki gunung Marapi pada penghujung Januari 2015.

Satu Sampah Seribu Bencana
Keindahan dan keelokan pesona gunung Marapi  seperti yang saya uraikan di atas adalah sisi lain dari daya tarik wisata alam yang memang dirindukan dan dinantikan oleh para wisatawan, khususnya wisatawan minat khusus keindahan alam.

Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dan kepedulian adalah menjaga dan melestarikan keindahan dan kealamiahan pesona gunung Marapi. Di antara yang terpenting dan kini sudah mendapatkan galakan, terutama oleh para kelompok pecinta alam, klub pendaki gunung dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah menjaga gunung Marapi dari tumpukan sampah.

Tidak dapat diragukan, bahwa sampah adalah salah satu unsur yang tidak dapat dihindari dari aktivitas mendaki  gunung. Sampah berasal dari bungkus makanan/minuman dan peralatan yang dibawa oleh para pendaki gunung, baik berupa plastik, kertas, alumanium maupun besi. Sampah lainnya adalah berasal dari sisa-sisa  makanan/minuman dari para wisatawan.

Sehubungan itu, sangat dianjurkan bahkan diwajibkan untuk tidak meninggalkan sampah di gunung Marapi. Setiap wisatawan diwajibkan untuk membawa turun kembali sampah (terutama palstik). Oleh karena itu, sebelum mendaki para wisatwan harus membawa kantong plastik khusus untuk tempat sampah yang kemudian dibawa turun kembali selepas menikmati  pendakian.

Kini, juga telah digagas kegiatan bersih gunung oleh para pecinta alam dan beberapa LSM, yang patut kiranya mendapatkan apresisasi dan dukungan moral dan material dari masyarakat awan dan khususnya pemerintah (lokal dan pusat).

Beberapa LSM membuat peringatan pada titik-titik tertentu dengan tulisan  seperti “satu sampah seribu bencana”, ada juga peringatan lainnya, “jika tidak ditemukan tempat pembuangan sampah, kantongi aja dulu”, dan tulisan-tulisan senada lainnya.

Termasuk juga  larangan untuk tidak memetik bunga Eldewis dan flora gunung lainnya, termasuk larangan untuk tidak membawa, mengganggu atau  menembak hewan-hewan (fauna) gunung.

Mungkin di masa depan, juga perlu dibatasi kapasitas jumlah pendaki setiap harinya, untuk mengurangi tekanan dan gangguan ekosistem gunung Marapi. Sebab, semakin ramai pendaki maka akan semakin besar pula gangguan yang diberikan kepada ekosistem Marapi.

Keterlibatan Masyarakat
Hal lainnya yang perlu mendapat perhatian wisata alam gunung Marapi untuk menuju ekowisata adalah keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam kegiatan wisata. Walaupun kini masyarakat lokal sudah dilibatkan di dalam pengelolaan gunung Marapi seperti di posko kedatangan/pendakian dalam pengelolaan parkir kenderaan, termasuk tiket/retribusi kepada setiap pendaki, namun masih lagi bisa diberdayakan secara optimal di masa yang akan datang.

Selain itu, sebagian penduduk lokal juga memanfaatkan potensi wisata gunung Marapi dengan berjualan makanan dan minuman, baik di kaki gunung (posko keberangkatan), dan juga di pinggang gunung (di atas posko satu). Di posko keberangkatan terdapat juga warga masyarakat yang mengail ekonomi kerakyatan melalui penyewaan tempat buang air  kecil dan besar (toilet) yang masih dikelola dengan sangat sederhana. Mungkin di masa depan,  potensi ini dapat dikelola dengan lebih profesional.

Dalam konteks ekowisata, keterlibatan aktif masyarakat lokal terutama didalam sumbangan ekonomi secara langsung adalah di antara kunci dan tanda ekowisata yang mesti ada. Bahkan, kesuksesan ekowisata juga dinilai dari sejauhmana keterlibatan masyarakat lokal di dalam kegiatan pariwisata, selain sumbangan di dalam usaha pelestarian lingkungan.

Berdasarkan filosofi ini, kegiatan ekowisata dikatakan mengalami kegagalan jika masyarakat lokal tidak mendapatkan faedah yang signifikan di dalam kegiatan tersebut, khususnya faedah ekonomi melalui peningkatan pendapatan. Walaupun mugkin secara statisitik dan kuantitatif jumlah pengunjung semakin meningkat, ekonomi menggeliat dan pendapatan daerah/kota atau nasional ikut terdongkrak. Hal ini merupakan tantangan dan pekerjaan rumah (PR) bagi stakeholder terkait, terutama pemerintah daerah dan pemerintah kota Bukit Tinggi. Wallahu a’lam.***

Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau, Pekanbaru.

Editor:

Terkini

Terpopuler