(RIAUMANDIRI.co)- Sejak era reformasi tiba, aturan pemilihan umum yang tertuang dalam UU Pemilu selalu berubah dalam lima tahun sekali.
Setiap lima tahun, pemerintah dan parlemen terpilih mengubah aturan main untuk disepakati dalam hajatan pemilu berikutnya.
Aturan main pemilu begitu penting terutama guna memperkuat sistem presidensial, mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Namun sayangnya, aturan pemilu bila dikaitkan dengan tujuan membentuk sistem presidensial yang kuat guna mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien sulit ditebak.
Tahun 1999, saat pemilu pertama pascareformasi, kran politik terbuka lebar. Maka tidak heran bila di tahun ini, tumbuh banyak partai politik. Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik dari berbagai spektrum ideologi, kecuali komunis yang dilarang. Penyelenggaraan pemilu 1999, didasarkan pada aturan main UU No. 3/1999 tentang Pemilu.
Dalam pemilu 1999, UU pemilu lebih menitik beratkan partisipasi politik, mengingat sejarah Orde Baru yang represif. Apalagi, di era Orde Baru, bandul politik lebih kuat di Presiden (executive heavy). Alhasil pemilu 1999, merupakan antitesa dari pemilu di masa Orde Baru.
Bila pemilu di masa Orde Baru peserta pemilu dibonsai menjadi hanya tiga melalui fusi partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya, maka pemilu 1999 diikuti banyak partai politik (multi partai).
Saking membludaknya partisipasi politik, sampai-sampai, ada partai yang awalnya adalah yayasan penyantun anak yatim yang didirikan pada tahun 1979 di Daerah Istimewa Aceh, Partai Abul Yatama.
Dalam pemilu 1999 hasilnya 21 partai politik masuk ke parlemen. PDIP memenangi raihan suara dengan 33,74 persen mengantarkan 153 kadernya masuk ke Parlemen.
Diikuti Golkar 120 kursi di DPR, PPP 58 kursi, PKB 51 Kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, Partai Keadilan tujuh Kursi, PKP empat kursi, PNU lima kursi, PDKB lima Kursi, PDI dua kursi.
Sementara PBI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis PNI Massa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi dan PKD masing-masing meraih satu kursi.
Banyaknya partai politik yang masuk dalam parlemen meluncurkan kombinasi maut, sistem presidensialisme dalam sistem multi partai. Akibatnya sistem presidensialisme yang stabil. Apalagi di masa itu, MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang dapat mencabut mandat presiden. Sebab, Presiden dipilih oleh MPR.
Kegaduhan politik sulit diredam, mengingat friksi poltik di parlemen sangat tajam. Tidak ada partai yang menguasai mayoritas dominan seperti di era Orba. Puncaknya, Presiden Abdurrahman Wahid yang terpilih oleh MPR pada 1999, akhirnya dilengserkan pula oleh MPR pada 2001. Megawati Sukarnoputri dilantik sebagai Presiden menggantikan Gus Dur.
Tidak ingin mengulang tragedi politik sebelumnya dan memperkuat sistem presidensialisme maka pemilihan presiden secara langsung menjadi pilihan dalam pemilu 2004. Untuk itu dibuatlah, UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden no 23/2003, sebagai dasarnya.
PR Penyederhanaan Parpol
Sistem presidensial membutuhkan sistem kepartaian yang sederhana. Untuk itu, dibutuhkan jumlah partai politik yang tidak terlalu banyak. Semakin banyak partai poltik maka semakin sulit terwujudnya sistem presidensialisme, pemerintahan yang efektif dan efisien. Hal ini mengingat keputusan strategis melalui Undang-Undang harus diputuskan bersama Presiden dan DPR.
Bila banyak partai politik maupun fraksi partai politik di Parlemen, maka pengambilan keputusan semakin tidak efektif. Alhasil dibutuhkan koalisi besar partai pendukung pemerintahan yang rentan bersifat transaksional.
Penyederhanan partai politik tersebut merupakan pekerjaan rumah yang belum juga usai meski empat pemilu telah digelar. Dalam setiap revisi pemilu, negosiasi untuk penyederhanaan partai politik selalu saja alot. Akibatnya, sistem multipartai yang sederhana tidak juga diraih.
Upaya mengurangi partai politik di Parlemen telah dimulai sejak 1999. Dalam UU Pemilu No. 3/1999 diberlakukan electoral threshold, batas suara minimal bagi partai politik untuk ikut bertanding dalam pemilu.
Berdasarkan UU tersebut, maka partai politik yang berhak untuk ikut serta pemilu 2004 adalah mereka yang memiliki kursi dua persen di Parlemen, atau memiliki sekurang-kurangnya tiga persen DPRD di 50 persen daerah. Bagi yang tidak lolos, maka diperbolehkan ikut serta bila bergabung dengan partai politik lain, ataupun membentuk atau mengganti nama partai dan mengikuti pendaftaran partai politik dari awal.
Melalui UU No. 12 Tahun 2003 tentang UU Pemilu, electoral treshold ditingkatkan menjadi tiga persen. Angka tiga persen electoral treshold mengubah komposisi partai politik yang mengikuti pemilu 2004. Pada 2004, peserta pemilu turun menjadi 24 partai politik.
Sementara 16 partai politik menempatkan kadernya di parlemen. Terdapat tiga Partai yang hanya diwakili satu kursi yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Nasional Indonesia Marhaeinisme, Partai Penegak Demokrasi Indonesia. Alhasil, di awal pemerintah, SBY yang bersanding dengan Jusuf Kalla dari Golkar membentuk koalisi yang sangat gemuk dengan melibatkan tujuh partai politik agar pemerintah kuat di parlemen.
Upaya untuk mengurangi partai politik agar menjadi lebih sederhana di Parlemen diperbaiki pada pemilu 2009 melalui pemberlakuan parliamentary threshold (PT), yaitu ambang batas partai politik yang dapat duduk di Parlemen. Parliamentary threshold dimasukkan dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
PT menurut pemerintah saat itu sebagai upaya jangka panjang untuk menyederhanakan partai politik sehingga mendukung sistem presidensial yang kuat.
Pada pemilu 2009, jumlah peserta pemilu melonjak menjadi 38 peserta. Namun demikian, berdasarkan PT 2,5 persen sesuai dengan UU, maka hanya sembilan partai politik yang dapat menempatkan kadernya di Parlemen. Kesembilan partai politik tersebut adalah Partai Hanura, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, PPP, Demokrat dan PDIP.
Untuk mendorong penyederhanaan partai politik lebih cepat, PT dinaikkan menjadi 3,5 persen pada pemilu 2014 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
Meski peserta pemilu berkurang menjadi 16 parpol, namun sayangnya, kenaikan PT belum mampu mendorong penyederhanaan partai politik. Alih-alih, pada 2015 justru jumlah partai politik yang masuk ke Parlemen bertambah, menjadi 10 partai.
Untuk itu, revisi UU Pemilu 2019 nanti dirancang agar tidak jatuh pada lubang yang sama dan mampu mempercepat penguatan presidensialisme.
Rekayasa penyederhanaan partai politik tidak seharusnya hanya didasarkan pada peningkatan ambang batas di Parlemen. Apalagi dipastikan upaya untuk meningkatkan ambang batas akan alot dalam pembicaraan di DPR.
Sementara itu peluang untuk memperkuat sistem presidensial dalam pemilu mendatang lebih terbuka. Hal ini mengingat, pemilu 2019 akan dilaksanakan serentak antara pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden sesuai putusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014.
Pemilu serentak diharapkan akan mendapatkan efek menarik kerah (coattail effect), yaitu kecenderungan pemilih untuk memilih partai politik yang mendukung calon presiden yang disukainya.
Dengan demikian, antara partai politik pemenang dan presiden terpilih sejalan (presiden terpilih diusung partai politik pemenang). Selain itu, koalisi pengusung presiden juga telah terbentuk sejak awal, sehingga diharapkan telah memiliki blok koalisi yang seirama (seideologi). Hal ini diharapkan juga mengurangi kegaduhan akibat koalisi transaksional.
Sementara blok koalisi yang kalah kemudian dapat menjadi oposisi di Parlemen. Dengan demikian, hal ini diharapkan akan memperkuat sistem presidensial. "Meski tidak menjamin, pengalaman tersebut terjadi di Amerika Latin," kata Peneliti Perludem Fadli Rahmadhanil.***