PEKANBARU (RIAUMANDIRI.co) - Selain Kota Pekanbaru, Kabupaten Kampar juga akan melaksanakan pemilihan kepala daerah pada tahun 2017 mendatang. Sama halnya dengan Pekanbaru, Pilkada Kampar juga memiliki cerita sendiri yang patut disimak.
Salah satunya, adalah langkah politik dari Bupati Kampar, Jefry Noer, yang berupaya menancapkan kukunya dalam dunia perpolitikan di Kabupaten Kampar, dengan membangun dinasti politik.
Salah satu indikasinya adalah dengan diusungnya Rahmat Jevary Juniardo, sebagai calon suksesornya untuk lima tahun mendatang. Seperti diketahui, Ardo, demikian Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kampar ini biasa disapa, merupakan putra dari Jefry Noer, yang saat ini juga merupakan anggota DPRD Kampar dari Partai Demokrat.
Meskipun anggota aartai, Ardo memilih maju melalui jalur perorangan atau independen berpasangan Khairuddin Siregar. Pasangan ini pun diketahui sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Kampar pada Sabtu (6/8) lalu.
Menyikapi hal ini, pengamat politik Dr Hasanuddin, mengatakan, perjuangan Ardo merebut Kampar 1 tidak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, calon-calon lain berpeluang menjegalnya, karena peta kekuatan politik di Kampar cenderung berimbang. "Pertanyaan besarnya, apakah rencana politik dinasti dalam politik modern itu bisa berlangsung di Kampar.
Berimbang Saya kira, itu tergantung kepada pertarungan antara calon-calon yang muncul," ujar Hasanuddin, Rabu (7/9) petang.
Menurut Hasanuddin yang merupakan akademisi Universitas Riau ini, bahwa calon-calon yang mulai bermunculan saat ini cukup bervariasi. Ada calon yang relatif kuat, dan ada juga calon yang dalam perspektif wilayah atau kapasitas itu di bawah.
"Terjadi perimbangan kekuatan. Tidak hanya berada pada kubu Bupati (Kampar) sekeluarga, namun juga berimbang kepada kubu-kubu yang lain," lanjut Hasanuddin.
Hal tersebut, katanya, sangat tergantung kepada dinamika perpolitikan di Bumi Serambi Mekahnya Riau tersebut. Apalagi pola yang ada saat ini adalah pola yang memungkinkan siapa saja bisa menang. Tergantung masing-masing calon, mampu memanfaatkan sumber daya politik yang dimiliki dengan menggaet posisi yang masih mengambang. "Atau bagaimana berupaya menarik suara dari kubu lawan," imbuhnya.
Diterangkannya, dalam budaya masyarakat Kampar sendiri masih kental memberi ruang. Di Kampar, kata Hasanuddin, dirinya tidak melihat adanya garis keturunan bangsawan karena tidak ada kerajaan yang kuat di Kampar.
Dalam hal ini, dinasti yang dimaksud adalah pihak yang berkuasa mewariskan kekuasaannya kepada turunan berikutnya atau lingkungan kerabatnya . Itu artinya ada bangunan kekuatan yang berpusat kepada satu keluarga yang segaris keturunan.
"Ke depan orang semakin paham bahwa akan muncul kekuatan lain yang akan mengimbangi itu (dinasti politik,red). Bisa saja orang membangun politik dinasti, tapi tetap saja ada kekuatan lain yang bisa saja menghalang-halangii. Saya kira di Kampar itu sangat besar peluang untuk menjegal terjadinya penumpukan kekuatan pada satu keluarga atau suatu kelompok tertentu," terangnya lebih lanjut.
"Persoalan dalam kehidupan politik itu kan ada persepsi atau pandangan masyarakat, dan ada juga dengan sentimen (ketidaksukaan terhadap dinasti politik). Bisa saja dimainkan sentimen-sentimen itu. Di Kampar saya kira tetap saja berimbang. Apalagi anak dari pejabat sama-sama mereka politisi yang terjun arena yang relatif terbuka. Saya kira di Kampar itu jauh lebih berimbang dibandingkan di Pekanbaru," sambungnya.
Saat ditanya kepadanya, siapa calon lain yang memiliki peluang untuk menjegal terjadinya politik dinasti di Kampar, kembali Hasanuddin menegaskan hal tersebut bisa dilakukan semua calon yang akan maju pada helat demokrasi yang dijadwalkan berlangsung pada 15 Februari 2017 mendatang.
"Bisa saja Professor kita yang di UIN (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Prof Ilyas Husti,red). Juga Pak Sekda (Sekretaris Daerah Daerah Kampar, Zulfan Hamid,red). Masih banyak lah itu. Semua memiliki peluang. Tergantung bagaimana bisa memanfaatkan sumber daya politiknya," pungkasnya.(dod)