Upaya untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas penghuni Lapas terus dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tugas bagi Menteri Kemenkumham Yasona Laoly memang sebuah permasalahan yang memiliki potensi melahirkan anak anak masalah yang tentu saja dapat membesar dan berbahaya bagi kelangsungan Permasyarakatan Indonesia. Para penghuni Lapas diperlakukan tidak manusiawi karena harus hidup berdesak-desakan untuk tidur, makan, dan mandi dengan penghuni lainnya Lapas lainnya.
Berdasarkan data dari Ditjenpas Provinsi Riau terdapat 14 rutan dan Lapas yang seluruhnya mengalami kelebihan kapasitas. Yang paling terparah di Rutan Bagan Siapi-Api yang berpenghuni 682 orang padahal daya tampung Rutan ini hanya 98 orang terjadi over kapasitas sebesar 596%. Kalau di lihat secara global ada 9.577 penghuni Lapas dan Rutan di Provinsi Riau sementara daya tampungnya hanya 3.325 orang berarti kelebihan kapasitas sebesar 288%.
Sebenarnya, tempat narapidana menjalani masa hukumannya adalah Lembaga Permasyaraktan (Lapas) akan tetapi karena masalah Lapas yang mengalami kepenuhan ini maka ada narapidana yang menjalani masa hukumannya di Rumah Tahan (Rutan). Sejatinya Rutan digunakan untuk para tersangka/terdakwa yang dikhawatirkan akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Maka, para penghuni RUTAN yang telah dijatuhi pidana penjara dan telah mendapat kekuatan hukum tetap harus menjalani masa hukuman di RUTAN hingga tersedianya tempat baginya di LAPAS. Tentunya, hal ini bukan merupakan hal yang baik bagi penegakan hukum formil di Indonesia.
Para penghuni Lapas memang dijatuhi hukuman karena telah melakukan tindak pidana agar mereka dapat menerima nestapa dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Tetapi pemberian pidana itu tidak serta merta dapat menyingkirkan Haka Asasi Manusia yang dimiliki oleh seluruh penghuni Lapas. Jadi, penghuni Lapas berhak mendapat perlakuan yang manusiawi dan layak.
Sesuai dengan amanah pasal 14 ayat (1) UU No 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan menyatakan secara eksplisit bahwa “ Narapidana berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak”. Amanah dari UU tentang Permasyaraktan saat ini ibarat langit dan bumi antara kondisi yang diharapkan (das sein) dengan kenyataanya (das sollen).
Munculnya permasalahan baru akibat kelebihan kapasitas ini tidak dapat terelakkan bagi seluruh lapas dan Rutan di Provinsi Riau. Bentuknya yaitu mengenai kebersihan seperti kebersihan air, sel, makanan dan lingkungan yang bermuara kepada kesehatan penghuni Lapas dan Rutan. Proses penyebaran penyakit pun sangat mudah terjadi karena pola kehidupan di lapas yang tidak sehat dan jauh dari kata layak.
Dari data yang keluarkan oleh Ditjenpas di atas dapat dibayangkan bagaimana kacaunya keadaan dan situasi Lapas dan Rutan. Apabila ini terus terjadi maka dapat mempengaruhi mental dan psikologi narapidana sehingga dapat menjadi pematik yang sangat baik untuk terjadinya kerusuhan di Lapas atau Rutan. Kerusuhan bisa terjadi antara penghuni lapas atau bahkan dengan petugas Lapas atau Rutan. Selain itu, kemungkinan terjadinya depresi juga tinggi karena kehidupan yang keras di Lapas yang berujung pada tindakan bunuh diri oleh para narapidana.
Hal ini tentu saja sudah melenceng dari tujuan Sistem Lembaga Permasyarakatan Indonesia yang tertuang dalam Pasal 2 UU No 12 Tahun 1995, yaitu, membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Ruh dari Lembaga Permasyarakatan dapat tercabut, karena masalah kelebihan kapasitas penghuni Lapas. Bisa saja nantinya lulusan dari Lapas atau Rutan bukannya melahirkan manusia seutuhnya yang dapat bermasyarakat kembali tetapi malah melahirkan lulusan yang bermental residivis.
Pemerintah harus -benar serius membenahi masalah Permasyaraktan ini. Beberapa cara jangka panjang yang dapat dilakukan adalah pembangunan Lapas baru, sepeti yang telah dibangun, yaitu, Lapas Terbuka kelas III Rumbai di Provinsi Riau. Tetapi ini masih belum bisa menyelesaikan masalah over kapasitas khususnya di Provinsi Riau, karena daya tampung Lapas ini hanya 150 orang masih sangat jauh dari kata cukup.
Solusi jangka pendeknya yaitu pemerintah (eksekutif) harus berkoordinasi dengan lembaga Yudikatif untuk mejadikan pidana penjara bukan satu satunya pidana yang dapat dijatuhkan bagi pihak terdakwa. Karena masih ada pidana denda, pidana kerja sosial dan rehabilitasi sesuai dengan porsi setiap tindak pidana yang dilakukan. Solusi jangka pendek lainnya, adalah pemberian remisi kepada narapidana.
Kita harus meyakini, bahwa Lapas dan Rutan itu dibangun bukan untuk memisahkan orang jahat dan orang baik sehingga orang-orang baik (yang di luar Lapas atau Rutan) dapat hidup dengan aman dan nyaman. Tetapi itu dibangun untuk mengembalikan kembali ruh dari Lembaga Permasyarakatan yang dicabut tadi ke tubuhnya, sehingga tujuan menciptakan manusia seutuhnya dan bisa hidup dengan aman dan nyaman bersama orang-orang di luar Lapas atau Rutan tercapai. Kemudian kita harus meyakini juga bahwa masa depan bangsa ini juga berada di tangan mereka. Jadi, pemenuhan hak hak narapidana harus di perhatikan untuk menciptakan sistem permasyarakatan yang sejati.***
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas)