Wacana Menteri Pendidikan Nasional Muhadjir Effendy untuk menerapkan sekolah sehari penuh (full day school) menimbulkan pro kontra di masyarakat. Bagi yang pro melihatnya sebagai kebijakan yang tepat untuk menghindari anak-anak dari aktivitas-aktivitas yang tidak produktif. Sedangkan bagi yang kontra, memandangnya sebagai keputusan gegabah dan malah bermuara kontraproduktif.
Sekolah sehari penuh sejatinya bukanlah hal baru dalam pendidikan di Indonesia. Tercatat lembaga pondok pesantren telah merintis jauh sebelum wacana seperti yang menteri pendidikan tawarkan. Pola ini pun sekarang telah mulai diadopsi oleh sekolah-sekolah swasta, seperti sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), SMP IT. Semuanya berjalan dengan baik tanpa ada gejolak di masyarakat, sebab untuk masuk sekolah tersebut merupakan pilihan orangtua dan siswa sendiri.
Berbeda halnya dengan sekolah milik pemerintah yang secara otomatis orangtua tidak punya pilihan lain.Alhasil, kebijakan ini banyak menuai kritikan.
Setidaknya ada beberapa alasan publik menyoal kebijakan menteri dalam menerapkan sekolah sehari penuh. Pertama, ketidakpastian kebijakan dalam pendidikan di Indonesia. Slogan ganti menteri ganti kebijakan seakan menjadi tidak terbantahkan.
Belum usai rasanya polemik Kurikulum 13 (K-13), kini, berganti menteri bertukar pula kebijakannya. Alih-alih perbaikan mutu pendidikan, malah memantik polemik yang berkepanjangan dan menguras energi anak bangsa. Bahkan kita seakan-akan tidak memiliki blue print yang jelas dalammenata dunia pendidikan. Padahalketidakpastian kebijakan akan berpengaruh membentuk psikologi yang tidak baik bagi pendidikan itu sendiri.
Kedua, akan mematikan instansi pendidikan lainnya, seperti Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA), dulunya dikenal dengan nama MDA dan pendidikan berbasis keagamaan. Selama ini masyarkat kita, khusus yang muslim setelah selesai sekolah setengah hari, waktu sore adalah waktu untuk anak-anak belajar agama. Apabila kebijakan sekolah sehari penuh diterapkan otomatis, sekolah-sekolah ini akan tutup, sebab tidak ada lagi murid yang sekolah di sana. Padahal sekolah-sekolah berbasis keagamaan sangat banyak di Indonesia. Hal ini tentu merugikan masyarakat, walaupun nanti materi-materi agama juga diajarkan di sekolah sehari penuh.
Ketiga, kesiapan infrastruktur. Kebijakan sekolah sehari penuh, otomatis akan berkolerasi dengan infrastruktur, misalnya fasilitas belajar mengajar.Selama ini ada sekolah-sekolah yang memberlakukan kebijakan masuk pagi dan siang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan ruang sekolah dan guru. Dan apabila ini dilakukan otomotis anak-anak yang masuk siang akan masuk pagi. Ini tentu menyulitkan pihak sekolah dan guru. Bagi orang tua tentu akan menyiapkan lagi makan anak-anak dan juga uang jajan tambahan.
Keempat, hilangnya waktu bermain anak. Bermain juga bagian dari pendidikan anak. Anak-anak dipaksa untuk berada sepanjang hari dalam kungkungan tembok-tembok sekolah. Waktu untuk bermai dan bersosialisasi dengan orangtua dan kawan-kawan di lingkungan tempat tinggalnya kian berkurang. Pulang dalam keadaan capek, sehingga waktu mengaji habis Magrib tidak ada lagi dan diganti dengan menonton televisi.
Alasan-alasan tersebut hanyalah letupan-letupan yang muncul ke permukaan, tentu masih ada lagi argumen penolakan terhadap penerapan full day school. Apalagi menyesuaikan jam pulang sekolah anak dengan jam pulang kantor orangtua, yakni jam 5 sore.
Kebijakan yang dikeluarkan seakan ingin memenuhi egoisme orangtua terhadap anak. Orangtua yang bekerja seolah-olah tidak ingin direpotkan oleh anak-anak mereka, baik dalam mendidik maupun mengantar jemput anak sekolah. Alhasil orangtua ingin menyerahkan sepenuhnya masalah pendidikan anaknya kepada sekolah.
Walaupun Mendikbud mengatakan bahwa alasan sekolah sehari penuh agar anak didik terbangun karakternya dan tidak liar di luar sekolah ketika orangtua mereka belum pulang kerja, namun publik melihat kebijakan ini hanya berpihak pada orangtua yang memiliki strata ekonomi menengah ke atas dan tinggal di perkotaan saja. Sebab di daerah-daerah masih banyak orangtua ekonomi sederhana yang punya kesempatan untuk menjemput anaknya, bahkan anak-anak mandiri untuk pulang sendiri ke rumah.
Dan juga keberadaan anak-anak sepulang sekolah diperlukan untuk membantu orangtua di rumah, seperti mengembala kerbau, kambing, berkebun, menjaga warung kecil guna menambah penghasilan keluarga.
Memang diakui, waktu-waktu pulang sekolah dan menjelang orangtua berada di rumah menjadi waktu yang riskan. Sebab anak-anak bisa saja melakukan aktivitas-aktivas negatif yang tidak bisa dikontrol oleh orangtua, terutama yang berdomisili di perkotaan.
Namun bukan berarti solusinya menyamaratakan semua sekolah. Banyak sekolah-sekolah di daerah-daerah paginya sekolah umum seperti sekolah dasar (SD) dan siangnya, sekolah agama. Apatah lagi, orangtua harus dibangun rasa memiliki tanggungjawab dalam mendidik anak, bukan hanya menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Sekedar mengingat ke belakang, tokoh-tokoh besar dulu dan sekarang, kebanyakan lahir dari pendidikan yang setengah hari dan setengahnya belajar dengan kehidupan. Keberhasilan pendidikan tidak hanya ditentukan sekolah dan guru, masih ada komponen lain yang berperan dalam mendidik anak.
Untuk itu memperbaiki komponen tersebut lebih mendesak ketimbang merubah waktu belajar. Seperti, memperbaiki fasilitas pendidikan di daerah-daerah dan juga memberikan kefahaman kepada orangtua bahwa tanggungjawab mendidik anak adalah tugas bersama. Nilai-nilai edukasi yang baik yang diperoleh anak didik selama di sekolah hendaknya dijaga oleh orangtua dengan memberikan keteladan dan asupan kasih sayang yang sepadan.
Apalagi kerja-kerja pendidikan bukanlah kerja-kerja trial and error, walaupun dalam dunia pendidikan itu sendiri trial and error itu bagian dari pengembangan ilmu. Namun dalam ranah kebijakan, hal ini lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Semoga, kebijakan pemerintah terutama yang menyangkut pendidikan adalah kebijakan yang berkelanjutan, bukan kebijakan yang temporal, apalagi dadakan. Wallahu’alam***