Kemerdekaan merupakan kebebasan seluruh bangsa dan negara Indonesia dari kezaliman, penindasan dan penekanan lahir batin yang cukup lama ditanggung dan dirasakan, tidak kurang dari tiga setengah abad lamanya. Suasana baru, angin baru dan lembaran kehidupan baru terbentang dihadapan kita semua setelah melalui jerih payah dan pengorbann yang amat besar, jiwa, harta dan tenaga tercurah untuk menghalau musuh, merebut kembali hak kita yang telah dirampas oleh penjajah dan kini terwujudlah cita-cita seluruh bangsa Indonesia yaitu suatu negara yang merdeka, berdaulat yakni Negara Republik Indonesia. Kemerdekaan Negara kita Republik Indonesia yang hingga saat telah genap berusia 71 tahun, tidak lain adalah merupakan satu di antara sekian banyak nikmat Allah kepada hambaNya.
Kemerdekaan bukan hanya dimaknai dengan lepasnya bangsa Indonesia dari keterjajahan bangsa asing, akan tetapi lebih dari itu, kemerdekaan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi seluruh rakyatnya, yakni terbebas dari segala bentuk eksploitasi, kebodohan, dan ketidak adilan. Dasar negara kita mengaakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk hidup adil dan sejahtera, ini merupakan kemerdekaan seutuhnya. Akan tetapi dilapangan sungguh ironis masih banyak diskriminasi dan ketidakadilan.
Merdeka itu merupakan kekuasaan untuk menentukan dirinya sendiri untuk bisa mengembangkan potensi diri, dengan demikian ketika rakyat kita belum bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia merdeka, maka bangsa itu belum bisa dikatakan merdeka. Jika mengingat kemerdekaan yang seutuhnya, yakni kedaulatan disegala aspek, negara Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk membuat rakyatnya berdiri di kaki sendiri dan tidak bergantung terhadap bangsa atau pihak lain, untuk itu kiranya pendidikanlah salah satu alat yang tepat untuk membuat Indonesia menuju kemerdekaan yang seuthnya.
Wacana mengenai pendidikan sebagai wujud sebuah kemerdekaan telah menjadi prioritas untama ketika bangsa Indonesia mengumumkan dirinya menjadi negara yang merdeka. Hal ini tercantum dalam isi pembukaan UUD 1945 yang menegaskan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Pendidikan sebagai cita-cita bangsa berarti perjuangan membawa rakyak Indonesia keluar dari keterjajahan dengan memerangi kebodohan dan keterbelakangan.
Kemudian, mengenai pendidikan sebagai pilar utama menuju kemerdekaan diperkuat posisinya dengan pencantuman beberapa pasala di dalam UUD 1945.
Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, tercetus tekad untuk menjadikan pendidikan sebagai alat untuk menumpas penindasan dan segala bentuk eksploitasi.
Hal ini bisa dilihat pada pemikiran Kartini sebagai seorang penggagas sekolah perempuan pertama. Cita-citanya mamajukan pendidikan diseala lapisan masyarakat tanpa diskriminasi untuk melepaskan rakyat Indonesia dari keterpurukan, kebodohan, dan penjajahan yang terus membelenggu rakyat Indonesia.
Gagasan yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk menuju kemerdekaan sangat tepat sekali. Dengan pendidikan manusia akan mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia. Pendidikan hyang membebaskan akan melepaskan mereka dari mental budak atau bangsa terperintah. Kartini mengatakan: “pendidikan dapat memperbaiki bangsa kita, agar tidak dipandang hina dan rendah oleh bangsa lain, lewat pendidikan bangasa kita dapat menjadi setara dengan bangsa lain” (Wiwid Prasetyo: 2010).
Presiden Indonesia pertama bapak Soekarno juga menginginkan pendidika untuk mencerdaskan kehidupan rakyat agar terbebas dari belenggu kebodohan dan keterjajahan. Ia mendorong seluruh rakyatnya bisa mengakses pendidikan tanpa terkecuali dan diskriminasi.
Soekarno mempunyai keseriusan yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya lewat pendidikan. Untuk mencapai hal tersebut, ada dua hal yang dilakukan oleh Soekarno, yakni: pertama, memastikan setiap manusia Indonesia, tanpa memandang suku, agama, jenis kelamin, status sosial, bisa mengakses pendidikan di semua jenjang.
Kedua, memastikan kualitas pendidikan bisa mencerdaskan, menyadarkan, dan memerdekakan manusia Indonesia. Pada zaman Soekarno pendidikan menjadi alat untuk “nation and character building”.
Barangkali berbeda dengan pendidikan ala Orde baru hingga sekarang. Selama 32 tahun kekuasaanya dengan motto; “membangun masyarakat seutuhnya”, rezin Orde baru menjadikan pendidikan sebagai alat indoktrinasi untuk mengukuhkan kekuasaanya. Selain itu pendidikan juga banyak diorientasikan untuk sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja murahbagi industri kapitalisme.
Ini berimplikasi pada merosotnya eksistensi manusia sebaga makhluk berpikir dan merdeka, ini tentu sangat jauh dari tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya. Hal ini mirip dizaman kolonial, tepatnya di era politik etis, dimana pendidikan hanya diorientasikan untuk melahirkan tenaga kerja murah bagi industri dan tenaga administrasi kolonia (Rini; 2015).
Pendidikan yang telah digambarkan oleh Soekarno dan Kartini ternyata belum wujud hingga saat ini. Kegigihan untuk mewujudkan Indonesia merdeka semakin memiliki ruang yang sempit, bahkan pendidikan yang diyakini sebagai alat untuk mewujudkan kemerdekaan telah dirundung berbagai persoalan, diantaranya, pertama, soal akses setiap warga negara terhadap pendidikan. Hingga sekarang ini masih banyak warga negara yang kesulitan mengakses pendidiakn.
Kedua, soal fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang belum memadai dan merata. Masih banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pendidikan yang memadai, seperti ruang belajar yang memadai, buku-buku, perpustakaan, laboratorium, dan lain-lainnya.
Ketiga, soal kualitas pendidikan yang masih jauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekarang ini, akibat tuntutan pasar, kurikulum pendidikan disusun berdasarkan kebutuhan pasar tenaga kerja akan buruh terampil dan berupah murah. Keempat, gaji dan kesejahteraan para guru belum memadai, akibatnya banyak guru atau tenaga pengajar yang dibebani pekerjaan sampingan untuk menopang ekonomi keluarganya. Sertifikasi yang salah satu untuk menambah kesejahteraan guru pun mulai di persoalkan dan sangat sulit mekanisme memperolehnya.
UUD 1945 telah memandatkan, salah satu tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti negara dalm hal ini penyelenggara negara, harus mengambil peran besar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, di antaranya adalah:
Pertama, paradigma pendidikan harus dikembalikan ke mandat konstitusi. Artinya, peran negara dalam menyelenggarakan pendidikan nasional harus kembali diperkuat. Di sini negara harus berperan dalam memastikan setiap warga negara ndonesia bisa mengakses pendidikan dengan kualitas yang sama tanpa diskriminasi. Untuk itu, pada sisi anggaran, negara harus memastikan ketersediaan anggaran untuk memastikan seluruh rakyat bisa mengakses pendidikan. Negara juga harus menggelontorkan dana yang cukup untuk membenahi infrastruktur pendidikan yang belum memadai.
Kedua, orientasi pendidikan selama ini yang sangat menekankan penciptaan tenaga kerja murah untuk pasar harus ditinggalkan. Orientasi pendidikan harus diarahkan pada penciptaan manusia Indonesia yang cerdas dan bisa mendedikasikan pengetahuannya bagi bangsa dan negara.
Pendidikan nasional kita harus melahirkanmanusia Indonesia yang merdeka, terbebas dari mental keterjajahan, punya kepribadian sebagai bangsa Indonesia, dan punya dedikasi untuk mengabdikan ilmunya bagi kemajuan rakyat dan negara. Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 71. Semoga negara kita semakin maju dan bersaing dengan negara-negara lain. ***