Tertanggal 27 Juli lalu, Presiden Jokowi kembali melakukan perombakan kabinet untuk kedua kalinya. Tak tanggung-tanggung, perombakan kabinet kali ini adalah perombakan kabinet yang terbesar dalam sejarah hukum dan politik ketatanegaraan di republik ini setelah reformasi. Yaitu, 11 pos kementerian dan 2 pos setingkat kementerian.
Terlepas apapun alasan perombakan Kabinet Jilid II yang diutarakan oleh Jokowi beberapa waktu lalu itu, yang jelas dapat dicatat bahwa dalil “tidak ada makan siang gratis dalam politik” atau “kau dapat apa, dan aku dapat apa” kembali tak terbantahkan dalam perombakan kabinet
tersebut. Mendukung tanpa syarat adalah isapan jempol belaka. Begitu juga dengan dalil “tidak ada kawan dan lawan yang abadi di dalam politik”.
Sebelum menyatakan dukungan kepada pemerintah, baik sebelum pembentukan kabinet kali pertama (2014) ataupun perombakan kabinet Jilid I (2015), Golkar dan PAN sama sekali tidak diberikan jatah menteri. Yang mendapat jatah menteri ketika itu adalah partai-partai pendukung
Jokowi-JK dalam Pilpres 2014, yaitu PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura. Nah, bagaimana dengan PPP? Kendati pun PPP secara formal dalam Pilpres 2014 lalu mendukung Prabowo-Hatta, namun beberapa elitnya mendukung Jokowi-JK. Karena itulah PPP pun dihadiahi satu menteri, yaitu Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama.
Namun, ketika Golkar dan PAN menyatakan dukungan kepada pemerintah, mereka pun diberikan kompensasi. Golkar dan PAN masing-masing dianugerahi satu menteri. Golkar diwakili oleh Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian yang menggantikan Saleh Husein. Sedangkan PAN diwakili oleh Asman Abnur sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menggantikan Yuddy Chrisnandi. Tak hanya bagi pendatang yang baru, bagi partai-partai yang mendukung Jokowi sedari awal (sampai saat ini), juga berlaku kompensasi. Kendati pun dalam perombakan kabinet beberapa waktu yang lalu itu terdapat sejumlah kader mereka yang dicopot, Jokowi pun menggantikan dengan kader mereka yang lain.
Kader PKB yang dicopot adalah Marwan Jafar sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Desa, dan Transmigrasi. Pos marwan ini digantikan oleh koleganya di PKB, yaitu Eko Putro Sanjoyo. Dari Nasdem yang dicopot adalah Ferry Mursidan Baldan sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional. Ferry digantikan oleh kader Nasdem yang lain, yaitu Enggartiasto Lukita yang dipercayai oleh Jokowi untuk mengisi pos Kementerian Perdagangan yang sebelumnya dihuni oleh Thomas Lembong yang dirotasi menjadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Sedangkan dari Hanura yang dicopot adalah Yuddhi Chrisnandi dan Saleh Husein. Sebagai pengganti mereka, Presiden Jokowi langsung “mengajak” sang ketua umum Hanura untuk bergabung dalam kabinetnya yaitu Wiranto pada pos Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Sebagai catatan juga, dalil “tidak ada makan siang gratis dalam politik” dan “tidak ada kawan dan lawan yang yang abadi di dalam politik,” ternyata tidak hanya berlaku bagi partai, tetapi juga bagi non partai, yaitu Anis Baswedan.
Banyak yang tidak menduga kalau Anis digantikan posisinya oleh Muhajir sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Tak hanya karena relatif lebih baik dalam kapasitasnya sebagai menteri selama ini, juga karena mantan Rektor Universitas Paramadina ini termasuk salah seorang “kawan” terdekat dari Jokowi. Anis adalah pendamping setia Jokowi dalam pemilu 2014. Bahkan, ia didaulat sebagai juru bicara kampanye Jokowi. Tak hanya itu, Anis juga termasuk anggota tim transisi Jokowi.
Apa yang dialami oleh Anis ini, sesungguhnya sebelumnya juga telah dialami oleh Andi Widjojanto. Ia juga punya andil besar dalam pemenangan Jokowi sebagai Presiden ke-7 di republik ini. Dalam perjalanan waktu, ahli strategis ini pun “diusir” oleh Jokowi dari pos Sekretaris Kabinet. Banyak isu yang beredar mengenai alasan pencopotan baik Anis maupun Andi. Namun yang jelas, Jokowi pasti punya hitung-hitungan politik. Tidak mungkin mereka diberhentikan di tengah jalan ketika mereka masih punya kontribusi secara politik. Logika sederhananya, kader Golkar dan PAN saja Jokowi “pakai”, padahal dua partai ini tidak ikut mendukung Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu. Namun itu kan dulu. Dan sekarang, Golkar dan PAN menguntungkan Jokowi secara politik. Contoh nyatanya adalah dalam hal undang-undang pengampunan pajak.
Begitu juga dengan Luhut Binsar Panjaitan dan Sofyan Jalil. Hingga saat ini, mereka telah 3 kali ganti pos. Logika sederhananya, sudah berkali-kali diganti, berarti kinerja mereka di pos sebelumnya itu “dipertanyakan”.
Nyatanya Jokowi tetap tidak “melepaskan” mereka. Jokowi tetap saja memberikan mereka kesempatan. Berarti mereka adalah kekuatan besar secara politik bagi Jokowi. Tanpa itu, menurut hemat saya, rasanya tidaklah mungkin mereka dipertahankan. ***
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau