PEKANBARU (riaumandiri.co)-Kebijakan penyidik Polda Riau yang menghentikan proses penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 lalu, kembali mendapat sorotan. Kali ini, sorotan datang dari Komisi III DPR RI.
Seperti dituturkan salah seorang anggota Komisi III, Masinton Pasaribu, penegakan hukum Karhutla haruslah ditangani secara tuntas, tanpa membedakan pemilik modal dengan masyarakat biasa.
Pernyataan itu dilontarkannya saat bersama anggota Dewan lain mengunjungi Lembaga
Hukum
Pemasyarakatan Klas IIA Pekanbaru, Senin (1/8).
Menurut politisi PDIP tersebut, pertumbuhan ekonomi, tidak ada kaitannya dengan penegakan hukum. Termasuk dalam kasus Karhutla.
Hal itu dilontarkannya menanggapi rumor yang menyebutkan terbitnya SP3 tersebut, karena sebagian besar perusahaan yang sempat disidik berasal dari grup perusahaan besar dan memiliki modal kuat.
Ditegaskan Masinton, investor juga harus taat hukum. Jika terbukti bersalah, maka hukum harus ditegakkan. Aparat juga tidak boleh ditekan dengan kepentingan oknum pengusaha atau perusahaan.
"Terbitnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan,red) tersebut jangan sampai berkaitan dengan tekanan pihak perusahaan. Investasi berjalan sendiri, jangan melanggar hukum. Gak ada urusan, semua sama kita di hadapan hukum. Jangan hukum kita tumpul ke pemilik modal, tajam ke rakyat," tegasnya.
Masinton mengaku, Komisi III DPR RI juga baru mengetahui adanya SP3 terhadap 15 perusahaan tersangka Karhutla itu. Menyikapi hal ini, Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, akan menindaklanjuti persoalan ini.
"Kita akan teliti. Jelas-jelas asap ini (adanya di) Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan," tegasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman, Beny K Harman, juga menegaskan hal yang sama. Politisi Partai Demokrat ini mengatakan, penegakan hukum tidak boleh melihat jabatan dan pangkat. Termasuk oknum perusahaan yang dibumbui oleh memburuknya iklim investasi.
"Ada kesan polisi didikte. Tersandera oleh pengusaha besar. Jangan mau. Jangan tunduk kepada tekanan perusahan," tegasnya seraya menegaskan, investasi berjalan sendiri tanpa ada kaitanya dengan proses hukum.
Sedangkan anggota Komisi III lainnya, Ruhut Sitompul, mengatakan, dalam proses hukum, penetapan tersangka harus sesuai prosedur.
Sebab, jika prosedur telah dipenuhi, seharusnya tidak ada lagi kekhawatiran. Dalam kasus ini, legislator nyentrik ini mengibaratkan jangan sampai penyidik menetapkan tersangka atas dasar keinginan. Bukan berdasarkan proses penyidikan.
"Jadikan perusahaan tersangka kalau sudah ada dua alat bukti kuat. Jangan atas permintaan. Tak boleh. Begitu menangnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi,red). Akhirnya ada pemikiran orang perusahaan jadi ATM," sebut Ruhut.
Ditegaskannya, upaya penegakan hukum harus berjalan sendiri tanpa ada intervensi apapun, terlebih jika berdasarkan permintaan pihak tertentu.
"Penetapan tersangka untuk perusahaan jangan didasari kepentingan apa pun, terutama karena ada permintaan pihak tertentu. Ini kita jadikan tersangka karena ada permintaan. Gak boleh. Memangnya karaoke ada lagu permintaan," tuturnya dengan ciri khasnya.
Untuk itu, Komisi III DPR RI akan mempertanyakan hal ini ke penyidik Polda Riau, yang diagendakan pada hari ini (Selasa, 2/8). Pertemuan ini, masih terkait rangkaian kunjungan kerja Komisi III DPR RI ke Pekanbaru.
Over Kapasitas
Dalam kunjungan itu, Benny K Harman juga menyorot perihal kondisi Lapas di Indonesia yang kebanyakan sudah over kapasitas. Kondisi serupa juga terjadi di Lapas Klas IIA Pekanbaru, yang mengalami over kapasitas hingga 100 persen. Dari kapasitas awal sebanyak 771 orang, harus disesaki sebanyak 1.485 tahanan yang mayoritas didominasi terpidana narkoba.
Menurut Benny, over kapasitas Lapas tidak hanya terjadi di Pekanbaru, namun mayoritas Lapas di Indonesia.
"Kenyataannya kita menghadapi itu. Semakin banyak masuk ke dalam Lapas tapi tidak berimbang dengan mereka yang meninggalkan, baik karena selesai maupun bebas bersyarat," ujarnya.
Dalam upaya menangani masalah ini, DPR telah berulang kali menyampaikan hal ini ke Pemerintah. "Begitu juga pemerintah, telah berkali-kali menyampaikan ke Dewan," lanjutnya.
Pihaknya menilai, sudah saatnya pemerintah segera mengatasi masalah ini. Salah satunya dengan menambah dan membangun Lapas baru.
Selain itu, keberadaan PP Nomor 99 Tahun 2012, tentang persyaratan pemberian remisi bagi narapidana khusus, ternyata turut menjadi perhatian Komisi III DPR RI.
Menurut Benny, pihaknya selalu mendorong pemerintah segera merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012 terkait perubahan kedua atas PP Nomor 32 Tahun 1999, yakni tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"Kanwil Kemenkumham sangat sulit menghadapi atau melakukan pembinaan atau seleksi kepada warga binaan yang sebetulnya pantas memperoleh hak-hak remisi atau pembebasan bersyarat karena berkaitan dengan HAM," pungkasnya. ***