Sungguh banyak julukan yang diberikan terhadap negeri kita, di mulai dari negeri yang sedang berkembang, walaupun sudah 70 tahun merdeka. Negeri yang tak terdidik, orangnya pintar tapi minus moral, orangnya alim, tapi akhlak jauh. Adapula julukan yang geli-geli sedap kita mendengarnya, yaitu distrust country (negeri yang tak dipercaya).
Sungguh sakit telinga mendengarnya, tidak dipercaya terutama pendidikan dan kejujurannya. Kenyataan memang yang sedang kita nikmati dengan tenang. Ketika kita sedang enak-enaknya menikmati julukan-julukan di atas tiba pula julukan baru dengan kalimat indah namun menusuk kalbu, yaitu Negeri 1001 Maling. Barangkali masih terngiang di telinga sebuah semboyan, tuntutlah ilmu walau ke negeri cina. Kini hal tersebut
telah mendapat saingan, terutama untuk ilmu mencuri atau ilmu maling, Indonesia sudah selangkah di depan negeri lain yang siap menjadi daerah tujuan belajar. Irak dijuluki sebagai Negeri 1001 Malam, maka Indonesia dijuluki Negeri 1001 Maling.
Berbagai teknik mencuri, menilap, telah diterapkan dengan sukses oleh orang-orang Indonesia, apakah mereka eksekutif, legislatif, yudikatif. Karena dihuni banyak pencuri, banyak maling, maka lembaga-lembaga tersebut bisa menjadi executhieves, legislathieves dan yudicathieves.
Kisah 1001 maling ini sangat menarik, barangkali dimulai dari mencuri kekuasaan, supersemar adalah contoh yang sangat elok disebut, juga perebutan jabatan di senayan antara KIH dan KMP. Kisah pencurian harta, yang dimulai oleh eksekutif, yaitu kisah spektakuler pertama, korupsi Budi Aji dan Edi Tansil. Kisah ini menuai banyak pujian, karena kemampuan eksekutif menghilangkan Edi Tansil. Setelah itu eksekutif memberikan kemudahan-kemudahan mendirikan bank yang akhirnya terjadi penggelapan uang nasabah, dimana dikenal dengan kisah spektakuler BLBI. Kejadian diatas sebagian besar terjadi pada zaman orba dengan pelaku utamanya adalah eksekutif.
Namun pada era reformasi tidak hanya eksekutif pelakunya tetapi legislatif pun mulai ngotot minta ikut atau minta gantian, anda kan sudah kenyang, sekarang giliran kami. Ungkapan ini barangkali pernah kita dengar ketika orang mempertanyakan betapa legislatif mulai cenderung menyimpang dan menyaksikan lembaga perwakilan rakyat telah bergeser sebagai legislathieves (pencuri legislatif). Yang dilakukan legislatif mulai dari ijazah palsu, menyumbang kepada partai agar memperoleh nomor urut jadi tanpa pertimbangan lain yang seharusnya diutamakan yaitu pendidikan, keimanan, wawasan serta akhlak mulia, tapi yang seharusnya itu hanya tinggal seharusnya. Begitu pula untuk bisa maju menjadi caleg dan kepala daerah, harus punya dana kuat dan dana tersebut kebanyakan didapat dari melabrak rambu rambu agama, tak peduli halal dan haram.
Itu baru proses menjadi caleg, menjadi calon pemimpin, bagaimana kalau mereka nanti sudah menjadi anggota legislatif dan eksekutif ? seperti yang kita lihat saat ini, bicara seenaknya, mulut tak bertapis, pernyataan tak berbobot, fitnah, mencari-cari kesalahan orang. Yang lebih memuakkan adalah ingatan mereka hanya kepentingan diri sendiri, yaitu kesejahteraan, menyalahgunakan wewenang, menghabiskan uang rakyat, lupa diri sekaligus lupa rakyat. Kondisi ini sudah lama berlangsung bahkan sebagian anggota legislatif sudah menjadi bulan-bulanan masyarakat karena ketidakmampuannya secara profesional.
Saya teringat jawaban Marzuki Ali mantan ketua DPR periode lalu ketika ditanya wartawan pada akhir masa jabatannya, bagaimana latar belakang yang hadir di senayan itu pak ketua? Jawaban pak Marzuki memang berasal dari latar belakang yang berbeda, ada artis, pelawak, ada orang kaya minus wawasan, ada preman intelektual dan sebagainya. Maka jangan heran akan timbul hal-hal yang kurang sedap dilihat dan didengar. Prof Syafii Maarif memberi julukan kepada para politisi senayan, bahwa sebagian besar adalah berpredikat politisi ikan lele yaitu senang di air keruh. Begitu pula baru-baru ini profesor Azzumardy Azra (Kompas, 16 Juli 2016) menyebutkan tidak berlebihan, jika saya menyebutkan, sebagian besar anggota parlemen kita adalah penjahat-penjahat politik. Kondisi ini terjadi akibat kesalahan dari awal karena anggota legislatif kita bukan rahasia lagi adalah orang orang yang sedang dimanjakan. Hebatnya prestasi mereka atau produktifitas mereka tidak berkorelasi positif dengan prilakunya.
Luar biasa, suatu teknik pencurian yang sangat halus yang sedang dilakoni oleh para legislathieves. Sekarang kita lihat di yudikatif, sudah menjadi lembaga perdagangan, semua dapat dibeli dan dijual. Apalagi kepala-kepala daerah, kepala dinas, semenjak otonomi daerah, terkuak pula prilaku maling yang dilakukannya, tiada hari tanpa berita kemungkaran terutama berita korupsi. Banyak usulan agar istilah koruptor diganti maling, karena dimasyarakat banyak istilah maling lebih jelek dari koruptor. Suatu ide yang menarik. Lengkaplah sudah Negeri 1001 Maling ini akan menjadi cerita menarik buat kita.
Pertanyaannya adalah, sampai kapan kita nikmati julukan ini? Jawabannya, tergantung pada kita semua, terutama para elit politik atau para pengambil keputusan dan partai-partai politik untuk sadar dan mau berubah seskaligus siap berubah. Jika tidak, ibarat rumah terbakar, apabila api sampai kebubungan, akan sulit dipadamkan, kalaupun bisa dipadamkan hampir semua kerangka bangunan harus diganti karena sudah rusak, sudah keropos.
Indonesia masyarakat beragama, terutama muslim. Rasanya perlu kita merenungkan kembali pernyataan Allah dalam surat Ali Imran, Barangsiapa yang berlaku curang, maka di hari kiamat kelak dia akan menghadap Allah dengan membawa barang yang diperolehnya secara curang dan diberi balasan atas segala kecurangannya. Bagaimana ke depan? Yaitu menyongsong pemilu dan pilkada nanti, momen yang tepat untuk merubah prilaku elit politik dan para pemimpin kita, dengan mempergunakan hak pilih dengan baik, memilih secara cerdas dan tidak salah pilih. Jangan hanya karena iming-iming, lima tahun pula kita menderita. Tentu semakin lama kita menikmati julukan Negeri 1001 Maling ini dengan segala resikonya. ***
Ketua STISIP Persada Bunda