Sekitar empat dekade silam, pemimpin Cina pada masa itu, Deng Xiaoping, memberikan sebuah rumusan jitu bagi kemajuan Cina. "Tidak peduli apakah kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus."
Dengan kata lain, Deng hendak mengatakan,.tak penting lagi memperdebatkan apakah sosialisme atau kapitalisme yang harus dipilih oleh Cina, yang terpenting adalah ideologi tersebut mampu membawa kemajuan bagi Cina di masa yang akan datang.
Formulasi yang diberikan oleh Deng bukanlah pepesan kosong belaka. Pada pembuka abad 21, Cina tampil sebagai kekuatan yang mengguncang dunia. Pertumbuhan ekonomi di level dua digit diimbangi dengan peningkatan kapasitas pertahanan yang mengukuhkan Cina sebagai salah satu kekuatan maritim dunia.
Lesatan kemajuan yang dialami Cina dalam beberapa dekade terakhir tak lepas dari perubahan paradigma dalam memandang ideologi dan politik sebagai kunci perubahan sosial.
Dalam studi strategis ketahanan nasional yang mengkaji tentang maju mundurnya sebuah bangsa, perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan.
Rene Thom, filsuf Prancis, menyatakan bahwa fenomena alam bersifat reguler atau stabil, tapi di dalamnya terdapat kemungkinan untuk terjadi sebuah perubahan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, perubahan dapat terjadi secara lamban dan cepat, bottom-up dan top-down, direncanakan dan tanpa direncanakan, bersifat membangun, bahkan bersifat merusak. Terkait resultansi dari perubahan yang terjadi, apakah bermanfaat atau justru tak bermanfaat, ideologi dan politik menjadi faktor kontrol dan penentu.
Indonesia merupakan negara besar, bukan saja merujuk pada besarnya wilayah geografis dan gemuknya sisi demografis, melainkan juga sumber kekayaan alam yang luar biasa, terutama yang bersifat intangible yang terletak pada empat konsensus bangsa yang dimiliki, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Peletakan empat konsensus bangsa sebagai sumber kekayaan alam utama menunjukkan bahwa bangsa Indonesia saat ini tak hendak lagi patuh pada cara pandang kolonial yang melihat sumber kekayaan alam hanya sebatas minyak bumi, gas alam, serta hasil pertanian dan perkebunan semata.
Sebagai negara besar, sejatinya Indonesia tak kalah dengan Cina dari sisi atribut nasional, yakni geografi, demografi, dan sumber kekayaan alam. Bahkan, dalam beberapa aspek, Indonesia tercatat lebih unggul, seperti keragaman budaya dan kehidupan masyarakat yang lebih demokratis. Meski demikian, beberapa persamaan dan kelebihan Indonesia tersebut seakan tak cukup mengantarkan Indonesia menuju lompatan kemajuan dahsyat seperti yang dialami oleh Cina.
Pilar utama
John Naisbitt dan Doris Naisbitt, dalam bukunya yang berjudul China's Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China (2010) menjelaskan, salah satu pilar utama keberhasilan Cina adalah emansipasi pikiran. Emansipasi pikiran bermakna rakyat cina terbebas dari indoktrinasi yang dilakukan oleh pemerintahnya yang berideologi sosialis.
Emansipasi pikiran berada pada tataran ideologis dan politis yang apabila diterjemahkan lebih kurang berarti tak perlu lagi melihat realitas dengan "melulu" menggunakan kacamata ideologis. Dalam bahasa yang lebih lunak, ideologi hanya merupakan alat, bukan tujuan akhir seperti era sosialisme.
Jika emansipasi pikiran menjadi katalisator kemajuan Cina dari sisi ideologis, demokrasi ala Cina merupakan bahan bakar perubahan sosial dari sisi politis. Seakan tak hendak membenarkan tesis Francis Fukuyama mengenai kemenangan ideologi liberalisme, Cina menerima demokrasi dengan beberapa penyesuaian seturut alam budayanya.
Cina menjalankan demokrasi vertikal yang bersifat dua arah, yakni merujuk pada arahan pemerintah serta mengakomodasi inisiatif dari rakyat. Jika demokrasi Barat lebih menekankan pada kebebasan individu, demokrasi Cina yang bersifat vertikal menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai kepentingan utama.
Demokrasi made in Cina ini terbukti manjur mendorong Cina mengalami lompatan besar hanya dalam satu generasi, berbeda dengan demokrasi Barat yang membutuhkan sedikitnya tiga sampai empat generasi untuk mencapai kemajuan.
Transformasi
Kita sebagai bangsa Indonesia tidak ada salahnya untuk sejenak menengok berbagai kesuksesan yang dialami Cina. Mereka telah bertransformasi dari negeri "tirai bambu" menjadi negeri "jendela terbuka" yang sarat kemajuan.
Jika menilik beberapa momen penting yang terjadi di republik tercinta ini, Indonesia sangat terbuka untuk mengalami lompatan dahsyat sedemikian halnya dengan Cina. Namun, sungguh sayang, momen tersebut tidak dapat dikonversi cepat menjadi titik mulai perubahan.
Pada 1998, reformasi melanda Indonesia. Harapan rakyat membuncah untuk berkhidmat membangun negeri yang kaya raya, adil, makmur, dan sejahtera melalui pemerintahan baru yang bersih dan dipilih langsung oleh rakyat. Namun, apa dinyana, 18 tahun pascareformasi lesatan perubahan tak kunjung terjadi. Fenomena perubahan yang terjadi di Indonesia masih bersifat paradoks.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul sebagai obat penyakit rasuah yang kronis, tapi korupsi makin masif. Demokrasi tumbuh subur, tapi masih bersifat prosedural. Partai politik beranak pinak, tapi tata kelolanya masih oligarkis dan transaksional. Kelas menengah semakin besar, rasio ketimpangan juga semakin lebar. Yang terjadi di Indonesia belumlah mencerminkan lompatan kemajuan.
Jika pun berubah, perubahannya bersifat lambat. Dalam bahasa yang lebih halus, Indonesia disebut masih berada dalam transisi demokrasi dan transisi ekonomi maju.
Mewujudkan perubahan sosial dalam bentuk lompatan kemajuan membutuhkan konstruksi ideologi dan politik yang kuat. Sejatinya lompatan kemajuan merupakan terma yang bersifat relatif karena mengacu pada kesenjangan yang tercipta antara kondisi hari ini dan kondisi awal. Cina hari ini tak sepenuhnya sempurna. Kapitalisme di sisi ekonomi dan sosialisme di sisi politik bak kebijakan ambivalen dan tak konsisten.
Pertumbuhan dua digit secara nasional masih menyisakan pengangguran dan kemiskinan yang besar di wilayah barat dan tengah Cina. Meski demikian, kemajuan Cina tetap berada pada kuadran lompatan merujuk pada perubahan ekstrem dari negeri tertutup menjadi negeri terbuka, dari bangsa miskin menjadi bangsa maju.
Indonesia masih berpeluang menuju lompatan perubahan sosial apabila mau dan mampu membangun konstruksi ideologi dan politik yang kuat. Tak ada kata terlambat untuk berubah. Secara konkret, hal ini dapat dikontekstualisasikan dengan kebijakan nasional yang menekankan pada kedaulatan di bidang politik, kemandirian di bidang ekonomi, dan kepribadian budaya berbasis Pancasila (Trisakti).
Ketiga bidang tersebut menjadi pilar kunci. Agar ketiga bidang kunci tersebut berjalan sebagaimana mestinya, dibutuhkan karakter pemimpin dan pemerintah yang kuat dan bersih serta ditopang oleh dukungan rakyat secara penuh. Dukungan dari rakyat tak bisa diabaikan karena legitimasi pemerintah tidak lagi hanya sebatas menjadi pemerintah karena menang pemilu dan dipilih oleh rakyat, tapi setelah duduk di pemerintahan pun produk-produk pemerintahan harus selalu mendapat legitimasi rakyat secara penuh. ***
*) Alumnus Pascasarjana Ketahanan Nasional UI, PA Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)