Umat Islam baru saja merayakan Hari Raya Idul Fitri. Hari kembalinya manusia kepada fitri. Tak ubahnya seperti bayi yang baru dilahirkan, yakni suci dari noda dan dosa. Prestasi ini diraih berkat perjuangan selama bulan suci Ramadan. Selaras dengan Hadis Nabi,“ Barangsiapa yang mendirikan puasa Ramadan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka diampunkan dosanya yang telah lalu”. Hanya saja predikat fitri itu akan mengalami kekeringan arti, manakala relasi antar sesama manusia belum terjalin erat menjadi konstruksi kuat dalam bangunan kemanusiaan.
Bangunan kemanusiaan itu menjadi penting dalam mewujudkan tatanan kehidupan. Sebab Tuhan tidak melakukan intervensi dalam ranah mengampunkan dosa sesama manusia. Artinya, rusak atau runtuhnya bangunan kemanusiaan tidak bisa direnovasi dan dibangun dengan material ampunan dari Allah. Satu-satunya bahan untuk merekatnya adalah dengan cara saling memaafkan kesalahan. Momentum memaafkan ini dalam tradisi nusantara dikenal dengan Halal Bihalal.
Kita sadar bahwa kehidupan dunia dengan segala daya tariknya terkadang telah merusak dan mengoyak relasi kemanusiaan. Relasi antara orangtua dan anak terkadang terkoyak akibat kata dan harta. Hubungan antara suami dan isteri tercederai oleh egoisme. Sesama masyarakat ternodai hanya karena perbedaan pilihan politik atau irisan kecil konflik lainnya. Alhasil, ritme kehidupan akan menjadi terganggu. Untuk itu merekonstruksi relasi antara sesama manusia agar berdiri baik dan harmoni adalah tugas penting bagi setiap manusia.
Relasi itu haruslah dibangun dalam hamparan kemaafan dan kesadaran sebagai makhluk Tuhan. Tidak ada dalih untuk tidak memaafkan kesalahan sesama insan. Tuhan saja sebagai pemilik jagad raya dan yang menciptakan manusia membuka pintu maaf seluas-luasnya bagi insan yang melakukan kesalahan. Malah Ia menamai diri-Nya dengan Yang Maha Pengampun (Al Ghaffar). Oleh karena itu sudah selayaknya pula manusia sebagai makhluk ciptaannya membuka kemaafan dalam pintu gerbang kehidupannya. Sungguh sebuah ironi, manusia yang notabene ciptaan Tuhan menutup pintu maaf bagi sesamanya. Seperti bait lagu yang populer di masyarakat tempo dulu, “tiada maaf bagimu”.
Memaafkan menjadi penting agar nuansa kehidupan berjalan indah dan bahagia. Bahkan seperti yang diungkapkan oleh Syekh Mahmud al Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir Rasul, memaafkan adalah pintu terbesar menuju terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. Tidak akan mungkin membangun kehidupan yang baik, apabila orang-orangnya terlibat saling dendam dan tidak bertegur sapa. Jangankan untuk membangun sebuah komunitas besar seperti bangsa dan negara, komunitas kecil seperti keluarga saja tidak akan berjaya dan sukses bila anggotanya tidak saling memaafkan terhadap setiap jengkal kesalahan dan kekhilafan. Dalam konteks ini jugalah acara halal bihalal hadir guna mengurai segala kekusutan yang terjadi sesama anak bangsa.
Mengurai Benang Kusut Kebangsaan
Kekusutan yang tidak pernah diurai akan membuat benang kebangsaan kian kusut dan akhirnya akan membuat potensi bangsa tidak teroptimalkan dengan baik. Masing-masing pihak akan memandang negatif terhadap usaha yang dilakukan pihak lain dan berusaha untuk menggagalkannya. Bila prilaku kusut ini terus terjadi, alamat bangsa akan mengalami stagnasi dalam lajur kehidupan kebangsaannya. Bangsa kian terkotak-kotak dalam bilik politik dendam kesumat.
Pengalaman berbangsa telah memberikan pelajaran terang, bagaimana sebuah bangsa akan kesulitan dalam melaksanakan agenda utama pembangunan bila sesama elit terbelit politik dendam, demikian juga dengan wong ciliknya. Terlebih lagi dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya heterogen. Jalinan persatuan dengan memaafkan setiap kesalahan, akan melahirkan semangat untuk saling menyintai, menghargai dan menghormati. Hal ini penting, guna terbangunnya persatuan sesama anak bangsa selaras dengan ikatan Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.
Bangsa-bangsa yang tidak mampu menjalin relasi kemanusiaan dengan baik, akan menuai pertikaian dan kebangkrutan. Kita bisa melihat bagaimana negara-negara yang berkonflik dan bertikai sesama anak bangsa sendiri disebabkan relasi kemanusiaan tidak berdiri kokoh dalam balutan kebangsaannya. Kelompok satu menegasikan kelompoknyalah yang lebih berhak memimpin sedangkan yang lain ditindas, mengalami perlakuan diskriminasi, baik politik, ekonomi maupun sosial.
Membangun relasi yang baik sesama anak bangsa akan membuat mesin bangsa akan berjalan lebih baik dan cepat dalam menggapai tujuan kebangsaan. Hanya saja relasi itu harus menghunjam dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan dalam tataran seremonial apalagi kepentingan politik elektoral. Selama ini relasi kemanusiaan dominan dibangun dengan pondasi yang lemah dan sempit dalam bilik-bilik ras, etnisitas, stratifikasi sosial dan kepentingan politik.
Untuk itu diperlukan kesadaran dan kefahaman yang sama tentang hakikat kemanusiaan. Alhasil, konstruksi relasi kemanusiaan akan menjadi bangunan yang kokoh, teduh bagi siapa saja yang bernaung di bawahnya, baik sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat maupun sebagai bangsa. ***
*) Alumnus Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)