riaumandiri.co - Mudik tahun ini menjadi sorotan berbagai media internasional dengan meninggalnya belasan orang saat horor macet di pintu keluar Brebes (Brexit) yang disinyalir akibat kelelahan dan komplikasi kesehatan. Korlantas melaporkan 244 meninggal sejak H-6 sampai hari H Lebaran atau sekitar 35 orang meninggal per hari. Evaluasi menyeluruh mesti dilakukan. Namun, kita apresiasi kerja keras berbagai pihak, termasuk laporan pengurangan jumlah kecelakaan dan korban jiwa dibandingkan tahun lalu. Mudik adalah rutinitas tahunan. Titik potensi macet dan rawan kecelakaan sudah dipetakan. Berbagai faktor risiko juga sudah disebut, mulai dari kelelahan pengemudi, pemudik sepeda motor, kondisi bus yang tak layak, dan kecepatan tinggi saat mengemudi.
Namun, sayang inisiatif strategis terkait mitigasi faktor risiko dan rencana kontingensi belum terlihat menyeluruh dengan melibatkan semua stakeholder, melingkupi pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengelola jalan tol, pelaksana transportasi (terutama bus), masyarakat, dan lain-lain. Target zero accident lebih terkesan pengharapan, karena belum diturunkan menjadi indikator kinerja terukur para stakeholder. Semua stakeholder harus bersepakat mewujudkan mudik yang nyaman dan selamat (joint responsibility).
Simulasi komputer sederhana dapat dilakukan untuk memprediksi tingkat kemacetan di suatu pintu tol jika jumlah loket pembayaran tol berjumlah sekian dengan kecepatan layanan tertentu. Berbagai titik bottleneck sesudah keluar pintu tol juga bisa diprediksi, tentu jika kita melihat semuanya sebagai kesatuan sistem dalam satu koordinasi. Hasil simulasi inilah yang dijadikan dasar mencari kombinasi intervensi yang paling efektif mulai dari besaran dan teknis pembayaran tol yang lebih praktis dan cepat, pengaturan kecepatan di tol, pengaturan rest area, rekayasa arus lalu lintas (dalam dan luar tol), dan lain-lain.
Pengelola tol juga harus punya komitmen, misalnya, biaya tol gratis jika kemacetan lebih dari sekian km di pintu pembayaran tol. Penanganan yang tidak secara sistem dan tidak dalam satu koordinasi hanya memindahkan titik macet. Sangat disayangkan, penyebab kecelakaan mudik juga sering kali dianggap sepele sebagai human error, dengan kambing hitam dibebankan kepada pemudik. Akibat analisis sederhana ini, upaya evaluasi dan perbaikan yang sistemis menjadi terabaikan. Dalam kerangka ergonomi makro, mudik merupakan sistem sosio-teknikal yang saling berkaitan dan dipengaruhi faktor ekstenal seperti kondisi ekonomi. Subsistem teknologi melingkupi regulasi, sarana transportasi, fasilitas dan infrastruktur, rambu-rambu jalan raya, sistem informasi transportasi, dll. Subsistem sosio-organisasi melingkupi individu, tim, organisasi, manajemen, dan budaya yang melekat pada pelaksana jasa transportasi, pihak berwenang pengatur arus mudik, dan masyarakat pemudik. Untuk mendapatkan kinerja yang optimal, diperlukan strategi joint optimization (Hendrick & Kleiner, 2005).
Masih tingginya angka kecelakaan saat ini mengindikasikan belum harmonisnya kedua subsistem tersebut akibat terabaikannya suatu subsistem. Rancangan sistem sosio-teknikal mudik yang fully harmonized akan menciptakan mudik yang nyaman, sehat, dan selamat. Aspek terkait sosio-organisasi, misalnya, manajemen keselamatan perusahaan otobus atau pelaksana jasa transportasi secara umum (maskapai pesawat dan armada kapal) juga harus disentuh. Misalnya, untuk memastikan para pekerja operator transportasi (sopir, pilot, dan nakhoda) terbebas dari kelelahan kerja yang berlebihan, penyebab utama kecelakaan transportasi. Best practice perusahaan tambang dan minyak di dunia menunjukkan bahwa faktor risiko kelelahan ini dapat diminimalisasi dengan mengembangkan fatigue management. Fatigue management merupakan usaha perencanaan dan pengendalian (mitigasi risiko) secara sistem untuk meminimalisasi dampak buruk kelelahan kerja terhadap pengendara dan pemudik.
Komponen fatigue management yang perlu dibangun melingkupi komitmen pimpinan terhadap keselamatan penumpang, pemeriksaan kesiapan kerja pengemudi (fit for work) sebelum bekerja, pengecekan kesehatan secara rutin, pengaturan jadwal dan shift kerja, fatigue check saat pengemudi bekerja, dan teknologi untuk memonitor kemungkinan lelah saat pengemudi bekerja. Subsistem teknologi harus dirancang mampu mendukung efektivitas implementasi fatigue management. Industri jasa transportasi tentu akan berhitung biaya implementasi sistem manajemen keselamatan seperti fatigue management ini yang akan berdampak pada kelangsungan bisnisnya. Disinilah peran pemerintah, yang harus mampu mengeluarkan standar dan pedoman keselamatan transportasi. Pemerintah perlu lebih mengefektifkan pusat penelitian dan pengembangan keselamatan transportasi sehingga mampu mengusulkan prosedur dan teknologi yang bersifat plug and play kepada industri.
Pemerintah perlu lebih mendorong kolaborasi dan sinergi tripartit ABG (academic, business, & government). Berbagai langkah taktis lain juga perlu terus dilakukan untuk meningkatkan budaya dan iklim keselamatan di berbagai perusahaan jasa pelaksana transportasi. Rancangan harmonisasi komponen sosio-teknikal juga harus menyentuh masyarakat pemudik, yang mungkin secara umum masih awam aspek keselamatan transportasi. Salah satu segmen prioritas adalah pemudik sepeda motor. Laporan Kemenhub menunjukkan, sebagian besar kecelakaan melibatkan sepeda motor. Sebagian besar pemudik memiliki persepsi yang rendah terhadap risiko kecelakaan. Masih sering terlihat, pemudik menggunakan telepon genggam saat mengemudikan sepeda motor (dan mobil).
Faktor risiko lain yang dominan adalah kelelahan berlebihan akibat perjalanan jarak jauh menggunakan sepeda motor yang ditopang posisi duduk mengemudi yang tidak ergonomis (duduk membungkuk dan posisi janggal akibat tumpukan barang mudik pada kendaraan bermotor, rendahnya kebiasaan mengambil mini-break, dan lain-lain). Budaya keselamatan transportasi dapat ditingkatkan dengan mengedukasi secara masif melalui berbagai media subsistem teknologi, misalnya, media massa, rambu-rambu lalu lintas, bahkan dimungkinkan mengembangkan sistem komunikasi, edukasi, dan informasi sendiri mengingat hampir semua masyarakat Indonesia sudah memiliki gadget smartphone. Berbagai teknologi harus dirancang berangkat dari kebutuhan riil dan karakteristik psikososial pemudik. Pemudik harus dikenalkan berbagai risiko kecelakaan. Mereka disadarkan bahwa berbagai kejadian hampir celaka yang mereka alami suatu saat akan menjadi kecelakaan yang riil.
Mereka juga harus dipaparkan data lapangan terkait hasil evaluasi mudik yang telah bertahun-tahun dilakukan pemerintah. Namun, sayang data dan akumulasi pengetahuan hasil berbagai lesson learned terserak entah di mana dibawa pergi oleh pejabat atau petugas yang sudah pensiun atau pindah ke instansi lain. Manajemen pengetahuan (knowledge management) belum terbangun dengan baik. Tiap tahun kita hampir cenderung balik lagi ke titik awal dan menemukan masalah serupa. Dalam kerangka ergonomi makro, edukasi dan transformasi budaya akan efektif melalui pendekatan partisipatif. Masyarakat pemudik tidak hanya dipandang sebagai objek, tetapi juga subjek. Pemerintah pusat dan daerah dapat mendorong terbentuknya berbagai komunitas mudik secara lokal atau dalam jaringan dunia maya sebagai sarana berbagi pengetahuan. Edukasi dan kampanye keselamatan dapat dibuat menjadi viral luar biasa. Inilah yang diharapkan sebagai bentuk kolaborasi antara ABCGM (academic, business, community, government, and media).
Kita apresiasi juga gerakan mudik bersama yang dilaksanakan berbagai perusahaan yang juga menekan jumlah pemudik sepeda motor. Mudik adalah khazanah budaya Indonesia yang khas dan akan terus menjadi rutinitas tahunan. Target besar zero accident membutuhkan kerja-kerja besar tahunan secara sistem dan terukur. Semoga hasil evaluasi secara menyeluruh pelaksanaan mudik tahun ini dapat mendorong terwujudnya kolaborasi yang lebih baik dari berbagai stakeholder di masa mendatang. ***
*) Dosen ITB, Ketua Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI), President of Southeast Asian Network of Ergonomics Society (SEANES)